Siang ini cuaca memang cukup terik. Namun tak menyurutkan antusias warga sekitar Pakualaman yang hari itu menyambut Grebeg Maulud. Saya bersama, nenek saya, Mbah Uti, dan simbah-simbah yang lain, siang ini berjalan menuju lokasi yang jaraknya hanya 200-an meter dari kampung kami. Jam menunjukan pukul 10, masih kira-kira 2 jam sebelum arak-arakan gunungan tiba. Simbah-simbah ini meskipun sudah sepuh, tapi terlihat begitu bersemangat. Mereka duduk di spot-spot teduh untuk melihat jalannya acara, sambil ngobrol, entah dengan yang dikenal ataupun baru dikenal. Menyambut hari kelahiran nabi selalu menjadi hal yang menarik bagi masyarakat Jawa. Tidak hanya masyarakat luar Yogyakarta, beberapa wisatawan asing juga terlihat di antara kerumunan warga yang menunggu iring-iringan gunungan.
Di lapangan Swandanan, nama alun-alun depan Kraton Pakualaman, telah ramai dengan orang berjualan. Dari anak kecil hingga lansia pun tumpah ruah di lokasi. Keriuhan seperti itu terjadi juga di Keraton Yogyakarta dalam bentuk yang lebih lengkap. Grebeg Maulud dimulai dari sekaten yang sebelumnya telah dilaksanakan di alun-alun utara selama sebulan. Kemudian acara puncaknya adalah tanggal 12 rabiul awal, tanggal kelahiran Nabi Muhammad Saw, yang jatuh pada tanggal 14 Januari 2014 di tahun ini.
Sebelumnya, saya nggak begitu ngeh dengan keramaian semacam ini, kecuali bila hari besar Islam tiba, maka bakal ada banyak orang berjualan di sekitar alun-alun. Tapi tentu grebeg tidak hanya tentang itu, membuat saya ingin menelusurinya lebih dalam.
1: Grebeg
Grebeg itu sendiri berasal dari kata gumrebeg yang berarti riuh, ribut, dan ramai. Grebeg sebenarnya memiliki makna yang global. Grebeg Sudiro misalnya, merupakan gabungan tradisi Tionghoa-Jawa dan diperingati 7 hari sebelum perayaan Imlek. Grebeg sudiro juga menggunakan gunungan yang disusun dari ribuan kue keranjang–kue khas orang Tionghoa. Ada juga Grebek Suro, yang diadakan di Ponorogo dalam bentuk festival kesenian daerah setiap tanggal 1 Muharram.
Tradisi Grebeg sudah ada sejak kesultanan Islam Demak pada abad 16 masehi. Grebek yang populer di Jawa, khususnya di Yogakarta dan Solo dimaksudkan untuk merayakan hari besar Islam dan diadakan sebanyak 3 kali oleh masyarakat Jawa. Yaitu Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar di Hari Raya Idul Adha, dan Grebeg Maulud yang lebih populer dengan nama Grebeg Sekaten untuk memperingati Hari Lahir Rasulullah Saw.
Dalam acara maulud, salah satu upacara khasnya adalah gamelan Sakati. Ada dua gamelan yang dibunyikan selama 7 hari menjelang acara puncak, yaitu gamelan kyai nagawilaga dan guntur madu.
2: Sekaten
Ini yang lebih familiar di telinga anak-anak sejak zaman lalu. Sekaten Jogja era lampau tentu berbeda dengan yang sekarang meskipun dimaksudkan untuk masyarakat supaya bergembira. Sekaten era modern berarti pasar malam, komidi putar dan sejenisnya, orang-orang berjualan mainan, dan juga telur merah yang menjadi ciri khasnya. Namun rupanya sekaten itu sendiri punya sejarah etimologis. Ada yang menyebut Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad Saw. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan penuh syukur dan bahagia.
Ada pendapat lain yang tidak kalah menarik, yang mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, yaitu syahadat tauhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti “saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah” dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.”
Upacara Sekaten dapat dikatakan merupakan perpaduan antara dakwah Islam dan kegiatan seni.
Agama Islam semula dibawa ke Jawa oleh salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga. Ia mempergunakan kesenian karawitan dengan menggunakan dua alat gamelan tadi untuk menarik masyarakat luas agar datang menikmati pentas karawitannya. Di sela-sela pagelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Alquran. Bagi mereka yang memutuskan untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat sebagai pernyataan taat kepada agama.
Hingga hari ini, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya meyakini bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Tuhan Yang Mahaagung, juga dianugerahi umur panjang. Sesuai aturan tradisi, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, tak heran selalu ditemukan ibu-ibu yang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Di samping itu, tak ketinggalan, kalangan petani pun berdatangan untuk memohon (berdoa) agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat harapannya tersebut, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Dari berbagai sumber yang saya baca pula, Sekaten selalu dipersiapkan dengan matang, meliputi persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, hingga naskah riwayat maulud Nabi Muhammad Saw.
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung.
Lepas waktu salat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan. Dan tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
3: Gunungan
Selalu ada sepaket benda bernama gunungan sebagai syarat upacara Grebeg Maulud. Biasanya acara dimulai jam 8:00 pagi. Para prajurit kraton, yang terdiri dari 10 jenis pasukan mengiringi arak-arakan. Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah, serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka.
Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang oleh masyarakat untuk ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana. Tapi tahun ini terlihat ada pengurangan jumlah gunungan. di Pakualaman hanya satu jenis yang dibawa. Barangkali benar kata sepupu saya, disesuaikan dengan harga BBM.
Di Pakualaman, gunungan dibawa keluar keraton menuju depan mesjid kauman untuk didoakan. Selesai doa diucapkan, tapi terlihat kalau mereka sudah ngrayah duluan sebelum doa benar-benar akan diucapkan. Memang ada kepercayaan bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah dan kelancaran rezeki. Kegiatan ‘ngrayah’ atau berebut mengambarkan filosofi bahwa manusia berani melakukan persaingan dalam mencapai tujuan dan permasalahan hidup harus dihadapai bukan untuk dihindari. Bersyukur tidak berjalan dengan brutal. Malah terlihat beberapa orang yang sempat mengambilkan begitu banyak lalu dibawa agak ke pinggir untuk dibagi-bagikan pada lansia yang tentunya tidak bisa ikut berebut dengan anarkis.
Acara berlangsung cukup aman terkendali. mereka pulang dengan membawa kegembiraan. entah yang dapat atau pun yang tidak. Malah yang dapat sehelai kacang panjang pun ikut sumringah. Katanya mau ditanam di kebun supaya hasil panennya baik. Ya monggo. Apa pun itu. Asal menimbulkan motivasi positif bagi masyarakat, maka tradisi itu baik.
4: Ndok abang
Adapun telur merah yang akrab disebut ‘ndog abang’ yang ditusuk dengan bambu, adalah bentuk permulaan kehidupan, sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut perlambang bahwa semua kehidupan di bumi ini memiliki poros yaitu Gusti Allah. Ndog abang menyimpan filosofi yang menarik. Warna merah artinya keberuntungan, rezeki, berkah, dan keberanian. Warna merah juga memiliki kaitan dengan asal usul manusia dimana manusia berasal dari dua warna yakni merah dan putih.
Selengkapnya dapat dibaca di salah satu situs ini.
Sayang, saya tak menemukan ada yang masih menjualnya di Swandanan.
#Demikianlah. Tiap daerah mempunyai cara dan tradisi sendiri-sendiri dalam menunjukkan rasa cintanya terhadap rasul. Intinya, setiap orang boleh merayakan ataupun tidak. Tapi tradisi dan adat istiadat yang ada di Jawa memang selalu bersifat mbulet dan ribet. Saya sendiri lebih memilih turut merasakan kegembiraan dan maknanya daripada menjadi pelaku. Sebab itu sudah cukup. 🙂
[referensi dari berbagai sumber]
gajah dalam upacara ini adalah sebagai pegawal iring-iringan gunungan
mbah-mbah sedang menunggu kirab 🙂
gamelan yang ditabuh di kraton pakualamanan
Gunungan yang dibawa ke Pakualaman
momen ngrayah 🙂
akhirnya Simbah dapat beberapa helai kacang panjang 😀
salah satu gunungan yang dibawa di alun-alun utara.
ngambil dari web jogja ^^
Swandanan tengah hari
Ndok Abang
-comot dari web antara news
“narsis di tengah kerumunan”
– ponakan, Mbah Uti, Sepupu dan suaminya
*untuk memenuhi tugas Penamerah