Para Perempuan dalam Dunia Alice: Review Novel Karya Alice Pung

Judul: Dunia Alice
Penulis: Alice Pung
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2011
Jumlah Halaman: viii + 310 halaman
ISBN: 978-602-8811-26-2

 

“Waaaahhh …,” nenek menyeletuk takjub saat melihat mobil berhenti dan menaikkan seorang penumpang.

Celetukan semacam itu sangat kerap terlontar dari mulut Alice dan keluarganya. Sebagai pendatang baru, kehidupan di Australia penuh dengan kejutan. Mobil bertebaran di mana-mana, dan mereka tak menolak berhenti hanya untuk seorang nenek tua! Di Kamboja, asal mereka, hal semacam itu jelas tidak mungkin.

Kejutan yang luar biasa mereka temukan justru di supermarket. Di rak, berderet daging kaleng dijual dengan harga sangat murah. Merasa girang, mereka membelinya beberapa.

Hari itu makan malam mereka istimewa, hingga televisi memperlihatkan sebuah iklan daging kalengan. Astaga! Ternyata daging yang mereka beli adalah makanan anjing.

Dunia Alice menuturkan kehidupan sebuah keluarga imigran Kamboja di negeri baru, Australia. Kocak dan menggelitik, novel ini benar-benar menghibur sampai ke sumsum tulang belakang Anda.

Saya selalu percaya setiap manusia memiliki dunia yang menarik untuk diceritakan bila saja mereka bisa berbagi dalam sebuah buku. Seperti halnya Alice Pung yang kali ini berbagai melalui novelnya yang berjudul Unpoliced Gem, yang setelah diterjemahkan versi Indonesia berjudul Dunia Alice. Buku yang tak sengaja dipinjam adik saya dari Perpustakaan Daerah ini rupanya menarik sekali.
Kebetulan saya juga senang membaca sejenis buku autobiografi atau semacam buku harian. Dunia Alice bercerita tentang kisah dirinya dan keluarga yang bermigrasi dari Kamboja pada masa konflik era Pol Pot. Alice baru lahir setelah keluarganya pindah. Ia tumbuh besar di negeri baru tersebut.

Dunia yang ia simak dan alami sejak kecil hingga memasuki masa dewasa adalah dunia yang cukup berwarna. Lewat kehidupan sehari-hari yang dialaminya, Alice kecil bercerita tentang generasi sang nenek yang menyatu dengan tradisi dan kemudian tentang ibunya yang lebih banyak dilatarbelakangi oleh peristiwa konflik. Alice lahir dari etnis Cina dengan keluarga yang selalu berjuang mempertahankan tradisi. Dengan daya kritisnya, ia menggambarkan nuansa culture shock yang dialami keluarganya di tengah kehidupan maju dan bebas seperti di Australia. Ia menuliskan berbagai perbedaan cara hidup keluarganya yang taat adat dan masyarakat negara yang ditempatinya dengan sekilas-sekilas. Dan secara tak langsung pula, Alice seakan membagi sekelumit pandangan seputar pengasuhan orang tua ala Asia, kebiasaan masyarakat, opininya mengenai negara yang ditinggali, beberapa kisah tragis negeri yang ditinggalkan menurut cerita nenek dan ayah meski dengan cara humor, hingga cerita lucu dan romantis ketika jatuh cinta pertama kali dengan seseorang yang berbeda etnis dan asal negara di kemudian hari.

Menurut saya, banyak hal menarik di buku ini yang sayang untuk tidak dibocorkan, beberapa di antaranya adalah:

Pertama,
Alice kecil akrab dengan perseteruan orang-orang dewasa. Di benaknya, orang dewasa adalah manusia-manusia rumit. Seperti iklim umum di keluarga Asia, ibu mertua bahkan jarang sekali dapat sehati dengan menantu perempuan. Alice kecil tentu tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menyampaikan betapa itu tidak menyenangkan, kecuali hanya diam. Baik nenek maupun ibunya tentu dua orang yang sama berharganya. Di samping itu, biasanya figur anak-anak adalah nenek-kakeknya karena mereka cenderung lebih luwes. Demikian juga dengan Alice yang bahkan merasa bahwa semestinya neneknya hidup selamanya untuk dia sebab hanya neneknya yang mengatakan hal-hal baik tentangnya dan membuatkannya telur rebus setiap pagi. Sedangkan orang tuanya, terutama ibu yang telah sibuk bekerja dan mengurus anak-anak, selalu bersikap keras kepadanya dan jarang memiliki waktu untuk sekadar mengobrol.

“Seorang tidak ada yang mengingatkanku untuk bangga menjadi bagian dari kebudayaan yang berumur seribu tahun, tak seorang pun mengatakan bahwa aku ini emas dan bukannya kuning.” (h. 210)

Alice kecil juga merupakan anak-anak biasa yang memiliki bermacam tingkah konyol. Ia pernah punya kutu di rambutnya sehingga dijauhi teman-teman dan sepupunya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah sepupu untuk bermain, namun para sepupu malah bersembunyi dan tak mau menemui Alice. Terbit ide iseng Alice dengan berbaring di karpet sepupunya dan membayangkan kutu-kutu tersebut menyerbu sela-selanya sehingga kelak menulari mereka.

Kedua,
Setelah beranjak remaja (mulai menstruasi), kebanyakan orang tua Asia (tradisi Timur) akan mendoktrin bahwa di luar sana laki-laki adalah penjahat yang sewaktu-waktu dapat memperkosamu di jalan. Bila kamu tidak perawan lagi, maka kamu tidak akan punya suami dan menikah yang layak, atau akan dianggap “benda” yang telah rusak. Seperti halnya orang tua Alice yang selalu mewanti-wanti dengan tegas untuk waspada dan jangan dekat-dekat dengan laki-laki. Dan itu salah satu cara orang tua khas Timur melindungi dan memberikan pendidikan moral pada anak-anaknya.

Suatu ketika Alice remaja menerima telepon dari teman laki-laki untuk pertama kali. Peristiwa itu membuatnya depresi karena seluruh orang berpikir hal terburuk tentang dia. Akhirnya karena peristiwa ditelepon cowok itulah, ia pun dihukum orang tuanya untuk menghabiskan seluruh waktu liburan di dalam kamar. Ditelepon seorang laki-laki adalah aib dan hal besar bagi remaja putri yang akan membuatnya jadi bulan-bulanan seluruh keluarga dan bahan gunjingan para tetangga. Hal ini agak berkebalikan dengan aturan orang tua ketika Alice beranjak dewasa, karena justru ia diharuskan membuka diri untuk mencari calon suami yang tepat.

Yang kauinginkan di usia lima belas tahun adalah memiliki pacar, dan bukan memilih calon ayah anak-anakmu di masa depan. Yang diinginkan pemuda berusia lima belas tahun adalah diterima cintanya oleh si gadis, dan mungkin lebih kalau ia beruntung–bukan memilih calon menantu untuk ibunya. (h. 110)

Alice memang tumbuh jadi remaja yang penakut tatkala dewasa, ragu, tak percaya diri, namun ada sisi kepribadian kuat di dalamnya yang membuatnya mampu bertahan di dalam setiap masalah. Alice Pung seakan menunjukkan bahwa didikan keras ala masyarakat Timur tidak selalu buruk. Ia berhasil menunjukkan dirinya sebagai orang yang memiliki sifat tangguh justru karena didikan itu.

Ketiga,
Alice hadir dari tradisi bernilai patriakhat di mana anak lelaki lebih berharga daripada anak perempuan, hal itu ditunjukkan dalam kisah masa lalu nenek Alice ketika menikah dengan sang kakek. Dalam tradisi ketimuran yang dipaparkan Alice Pung, tak peduli bila seorang perempuan sukses pendidikan ataupun pekerjaan, jika tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, tak punya penghasilan, dan tak bisa punya anak lelaki maka ia adalah perempuan tak berguna sehingga tak layak dinikahi.  Namun kedatangan mereka ke negeri semacam Aussi mengubah sedikit cara berpikir. Di buku ini saya banyak menemukan cerita kocak seputar perjodohan dan pernikahan yang bisa direnungkan sekaligus cukup menghibur.

Ketika dewasa Alice menyadari bahwa semua lelaki tidak sama seperti gambaran orang tuanya ketika remaja, ia menemukan Michael yang mengingatkannya akan karakter santun, romantis, dan sedikit rapuh seperti tokoh-tokoh dalam karya sastra yang sering dibacanya. Pendidikan formal, bahan bacaan, sekaligus lingkungan pergaulan semasa belianya membuat Alice juga begitu sering mengkritisi pria-pria asal budayanya sendiri. Ia tentu menemukan perbedaan mencolok mengenai gambaran lelaki dalam doktrin orang tuanya dengan lelaki dalam buku-buku dan pergaulan di sekolahnya. Tak hanya itu, lewat pengetahuan yang ia simpan dalam sifat introvertnya, ia pun mengkritisi pria model Barat yang baginya bersikap terlalu berlebihan sebagai wujud kesadaran atas keperempuannya yang utuh dan tak terjebak arus. Menunjukkan bahwa ada sisi feminis dalam diri Alice yang menarik untuk dikaji.

Saya juga suka pandangan Alice ketika berbicara perihal kesetaraan gender. Ia selalu mengalami perang batin dan keterasingan yang membuat saya tersenyum geli, merasa pernah di posisi itu. Salah satunya ketika berhadapan dengan kebiasaan wanita Barat mencium teman-teman prianya setiap bertemu. Terutama ketika melihat langsung para wanita berkontak fisik dengan Michael, pacarnya, meski ia bersikap menerima dan tak ingin terlihat mengawasi kekasihnya.

Secara sekilas ia juga mengkritisi sikap Gemma, salah satu teman Michael, yang mewakili para wanita Barat yang mencoba menjadi feminis negara dunia ketiga.

Kalau mereka menghormatimu, mereka akan mengurangi cium-cium, kau tahu, kataku pada diriku sendiri, lagi pula kau pacarnya. (h. 272)

Hal itu menunjukkan karakter Alice yang terbuka dengan hal-hal baru namun tetap menghargai tradisi aslinya sendiri. Ia tipe pendatang dari Timur yang cukup kritis yang tak asal mengikuti cara Barat.

Keempat,
Sejak pindah ke Austarlia, ibunya mengalami culture shock lebih parah daripada anggota keluarga yang lain. Ia pun menyebut masyarakat kaukasoid sebagai hantu putih yang begitu berbeda dunia dengan mereka. Ia juga tak bisa berbahasa Inggris sehingga membuatnya asing di antara orang-orang di sekitarnya, terlebih ketika Alice, Ayah, dan anggota keluarga lain pada akhirnya fasih berbahasa tersebut dan sesekali menggunakananya ketika makan bersama. Membaca Dunia Alice, membuat saya jadi ikut hanyut dalam pergantian suasana yang disuguhkan.

Diceritakan bahwa sang ibu adalah sosok workaholic, ia merasa hidupnya runtuh dan tak berarti setiap kehilangan pekerjaan dan pendapatan, meskipun sebetulanya dengan pekerjaan sang suami yang cukup bagus, ia bisa juga tidak perlu bekerja. Hal itu membuat setiap anggota keluarganya memberikan permakluman yang luas. Dengan kesibukan sang ibu berbisnis atau bekerja di luar rumah itu, Alice pun menggantikan pekerjaan domestik dan mengasuh adik-adiknya. Sosok ibu menurut saya cukup menarik, meskipun memiliki sisi keras dan kaku, ia merepresentasikan perempuan Asia yang gemar bekerja keras dan tak ingin selalu tergantung pada suaminya. Bahkan seolah tak ingin tergantung pada keluarga besarnya. Saya kira, itu salah satu gagasan besar dalam novel ini. Mengingat banyak tokoh perempuan yang lebih banyak dipaparkan dalam novel ini ketimbang tokoh prianya. Sedikit banyak, novel ini yang seperti mengingatkan saya pada ciri khas perempuan feminis.

Secara tidak langsung membaca novel ini membuat saya dapat mengenal akrab, tak hanya seorang Alice, tapi seperti apa kehidupan imigran Kamboja dengan segala keetnisan dan budayanya itu harus tinggal di negeri seperti Melbourne Australia. Dan lebih dari itu, saya menikmati cara berpikir salah satu penulis mudah perempuan ini yang sedikit banyak tidak melepaskan unsur kritik sosial dan tradisi, yang melesat lebih maju daripada nilai-nilai lama ala keluarga asalnya.

Memang tidak mudah bertahan dalam bacaan yang jenis uraiannya panjang-panjang, namun ketika terus membacanya, saya justru banyak menemukan hal-hal yang dapat dipetik, seperti bahwa menjadi warga negara “dunia ketiga” memang cukup menantang. Novel ini dituturkan dalam bahasa yang runut dan meski beberapa kali menemukan hal yang mesti dibaca ulang karena saya tidak terlalu terbiasa membaca kalimat terjemahan yang rumit. Hal lain yang menarik adalah ketika sampai pada bab masa pacaran, Alice Pung menunjukkannya dengan deskripsi dan pembukaan yang tidak langsung sehingga pembaca dapat memahami dengan cara sendiri dan bebas memberikan penilaian.

Dari segala keistimewaan dan isi yang dapat ditemukan di novel ini, tak heran bila Dunia Alice terpilih sebagai Newcomer of The Year Award tahun 2007, kemudian masuk dalam kategori NSW Premier Literary Award dan Booksellers Choice Award.

Rangkaian kisah hidup yang terinspirsai kisah nyata penulis ini rasanya membuat saya beruntung telah membacanya.

Resensi Novel Erau Kota Raja

23657332

Judul: ERAU, Kota Raja
Penulis: Endik Koeswoyo
Penerbit: PING!!!
Jumlah halaman: 203
Tahun terbit: 2015
ISBN: 978-602-296-056-0

Kapal yang berlabuh akan selalu kembali ke dermaga untuk berlabuh. Begitu juga dengan cinta yang selalu tahu ke mana dia harus pulang (halaman 117).

Kirana pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tidak lagi bersama Doni yang telah bersamanya selama 4 tahun. Sekian lama ia menunggu dan berkali-kali menanyakan kepastian, namun Doni masih selalu ragu berkomitmen. Ia tak juga terlihat ingin membawa hubungan mereka ke arah pernikahan. Terlebih Kirana telah berusia 26 tahun, yang bagi wanita itu bukan lagi usia muda. Sementara ia terus berjuang mengatasi patah hatinya sendiri, Pak Joko bosnya yang sebenarnya tahu situasi hubungan Kirana, malah menugaskannya ke Kalimantan Timur untuk meliput upacara adat terpenting di daerah itu. Dengan masih menyimpan galau, ia pun tetap berangkat ke Kalimantan Timur. Tempat yang tak pernah terbanyangkan akan dikunjunginya.

Perjalanan Kirana memang tidak terlalu lancar. Sampai di sana ia menemukan berbagai kendala. Hotel-hotel dan penuh menjelang festival. Belum lagi transportasi sulit didapat. Padahal ia tidak familiar dengan daerah Kutai dan sekitarnya. Ia juga mesti berhadapan dengan Ridho yang sok kenal dan agak menyebalkan begitu datang di area souvenir. Namun untunglah ia bertemu dengan Pak Camat yang menolongnya menyediakan tempat tinggal di rumahnya, selain itu, ia juga bertemu dengan Reza. Kirana tak lantas akrab dengan Reza, namun pada akhirnya, Reza banyak membantu liputannya. Melalui perkenalannya itu, sedikit banyak kepribadian Reza yang unik mampu membuat Kirana kagum.

Tugas meliput Erau mampu sejenak mengalihkannya dari patah hati. Ia merasa beruntung berkesempatan melihat kebudayaan yang begitu kaya di Kaltim. Terlebih selama di sana, Kirana tinggal dengan Pak Camat dan istrinya yang ramah dan begitu perhatian seperti keluarganya sendiri. Liputannya pun terbantu karena ada Reza yang mau mengantarnya ke mana-mana dan hafal dengan perihal kebudayaan dan festival Erau. Kirana yang baru saja menjomblo dan tiba-tiba kagum dengan sosok Reza yang penuh kejutan, begitu pula dengan Reza yang tak pernah melihat gadis seperti Kirana sebelumnya tentu dapat memunculkan benih perasaan di antara keduanya.

Namun kedekatan mereka diiringi berbagai kendala. Kirana harus menghadapi Bu Tati, ibunda Reza yang protektif dan menganggapnya adalah pengganggu masa depan Reza. Bu Tati tiba-tiba merasa tak suka dengan Kirana sebab ia memiliki calon istri pilihan yang lebih pantas mendampingi Reza.
Masalahnya Reza terlanjut jatuh cinta dengan Kirana, pun juga gadis itu. Meski demikian mereka masing-masing menyadari kenyataan yang terjadi ketimbang mengutamakan keinginan pribadi. Kirana yang gesit, mandiri, dan berprinsip itu memahami situasi yang terjadi. Ia menjadi pembuka jalan untuk Reza dan ibunya berdamai hingga keinginan keduanya terjembatani. Meski tidak mudah dijalani baik Kirana maupun Reza.

Saya barangkali terkesan dengan sifat Alia yang teguh dan penyabar. Barangkali perempuan seperti Kirana dapat menyerah begitu saja ketika penantiannya tak kunjung menemukan jawab, sementara Alia mampu bertahan menunggu sekian lama meski Reza tak juga membuka hati untuknya. Saya tak terlalu suka dengan karakter Doni yang tak bernyali untuk serius menikahi Kirana, meski demikian akhirnya ia pun mendapat konsekuensi logis, yaitu kehilangan kepercayaan Kirana. Sedangkan tokoh Reza, di balik sifat keras kepala dan cueknya, tetap memiliki karakter positif, yaitu memiliki kepedulian dengan masyarakat di daerahnya dan keukeuh mempertahankan pilihan hidupnya, hingga pada akhirnya mampu membuktikan bahwa dirinya memang ingin berbakti pada sang ibu.

Erau, Kota Raja merupakan versi novel yang sebelumnya diadaptasi dari film yang judulnya sama. Terlihat dari pemilihan gambar di covernya yang diambil dari tokoh-tokoh filmnya. Meski setting yang diambil dari novel ini adalah Kalimantan Timur dengan festival Erau-nya yang megah dan meriah itu, tema besar ini lebih pada seputar permasalahan yang dialami oleh umumnya perempuan usia 26 tahun. Terutama tentang apakah itu jodoh, bila jodoh itu ada siapakah ia. Selain itu, melalui cerita hidup Reza dan Kirana, novel ini juga sedikit mengingatkan pada kita apakah pekerjaan yang dijalani selama ini sudah sesuai dengan hati.

Kita akan mengikuti cara khas Kirana yang cukup bijak ketika menyelesaikan permasalahannya, Reza, hingga ibunya. Pun ketika akhirnya memutuskan langkah hidupnya selanjutnya. Juga akhir yang menarik tentang rahasia jodoh yang selalu ia pertanyakan.

Namun sayang, interaksi dan dialog antara Kirana dan Reza agak kurang menggigit. Saya sendiri tak terlalu terhanyut suasana yang mestinya terbangun romantis karena barangkali selain pertemuan mereka singkat, obrolan terkesan datar. Proses move on Kirana juga terkesan cepat untuk pasca berakhirnya hubungan yang telah 4 tahunan dijalani. Untungnya interaksi dengan tokoh lain cukup menarik untuk diikuti, terlebih ketika Kirana harus menghadapi Ibu Tati yang semula membencinya dan Alia yang cemburu dengannya.

Melalui novel ini, kita sedikit banyak membaca perjalanan Kirana yang dapat menjadikan pelajaran hidup bagi pembaca, juga memberikan motivasi untuk tetap berusaha bangkit dari masalah. Novel yang memiliki 204 halaman ini dituliskan dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Sisi menarik novel ini juga terletak pada penggambaran suasana yang membuat kita seolah ikut jalan-jalan menonton keriuhan festival Erau. Selain itu, plot dan penyelesaian konflik tidak terkesan berlebihan.

Novel ini reccomended untuk ditambahkan di daftar koleksi.

Resensi Novel Haseki Sultan

novel Haseki Sultan

novel Haseki Sultan

Judul: Haseki Sultan
Penulis: Zhaenal Fanani
Editor: Addin Negara
Penerbit: Divapress
Tahun Terbit: Oktober 2014
Tebal: 480 halaman
ISBN: 978-602-296-036-2

Sebelum membaca buku ini, saya hanya tahu sedikit sejarah Turki Ottoman dan sekelumit cerita Harem melalui film serial yang sedang berlangsung di salah satu stasiun TV. Dapat dikatakan Sulayman adalah raja tersukses dalam sejarah Islam dan merupakan terbesar di Eropa pada abad ke-16. Di bawah kekuasaannya, armada Turki Utsmani bahkan menguasai laut Tengah hingga teluk Persia.

Banyak hal yang terjadi di istana Ottoman tak lepas dari pengaruh yang datang dari area Harem. Harem adalah istana khusus para selir. Di dalam Harem, ada ratusan wanita menunggu panggilan untuk melayani sang raja. Penggilan tersebut dianggap penting bagi setiap gadelki (calon selir) yang dapat mengubah nasib untuk selamanya. Ratusan wanita tersebut harus menunggu sampai raja menginginkannya. Banyak di antara mereka yang tidak terpilih akan dilempar ke medan perang untuk menjadi pelayan prajurit. Upaya ini tidak lepas dari pengaruh para kasim dan orang-orang yang cukup penting di sana. Mereka tidak akan terpilih bila tidak ada kasim yang “mempromosikan” kepada Sultan. Dari sanalah nuansa yang mirip persaingan dagang terjadi selayak yang terjadi kompleks remang-remang. Terlebih seorang kasim yang berhasil meluluskan selir untuk menjadi istimewa, derajatnya pun ikut terbawa.

Sedangkan Haseki adalah istilah untuk merujuk pada selir kesayangan sultan. Apakah syarat untuk menjadi selir terpilih Sultan? Selain ia lolos dari seleksi awal, ia harus cantik dan mampu menarik hati sang raja, beragama Islam, dan diharapkan kelak dapat mengandung anak berjenis kelamin laki-laki. Namun nasib menjadi selir kerajaan bukan serta merta jadi hal yang diimpikan para perempuan.

Seperti yang dialami oleh Alexa, sebelumnya ia mengalami nasib yang cukup tragis. Alexa lahir dari keluarga Kristen Ortodoks. Ia mempunyai pembawaan keras kepala, cukup cerdas, dan memiliki fisik yang cantik jelita. Alexa yang di kemudian hari bernama Roxelana semula bermimpi jadi seperti Cleopatra. Ia cukup keras kepala hingga mengabaikan pesan ayahnya untuk tinggal di asrama dan memperdalam agama. Ketika dewasa, saat ia telah yatim piatu, ia diculik dan disekap oleh pria-pria brutal tak dikenal sebelum dijual di pasar budak. Roxelana adalah satu dari sekian banyak wanita di zaman itu yang mengalami nasib serupa. Hanya keberuntunganlah yang membawanya ke istana dan kemudian menjadi gedikli karena kecantikannya.

Istana Harem dipenuhi politik kotor yang dikendalikan oleh selir-selir senior, para kasim, dan juga beberapa pejabat istana yang korup. Para selir harus pandai bersaing demi mendapat kesempatan menghangatkan peraduan sultan, mereka juga berlomba untuk bisa punya anak laki-laki. Para selir bahkan ada yang menjual dirinya pada kasim, prajurit yang mengurusi istana harem, supaya mendapat kesempatan melayani sultan. Kasim meski rata-rata dikebiri, tapi tetap saja memiliki fungsi sebagai laki-laki normal. Tak jarang pula yang berbuat curang dengan membunuh atau berkonspirasi untuk menjatuhkan saingan. Toh satu dua selir atau kasim yang tiba-tiba hilang, bukan menjadi hal besar. Akan menjadi gawat bila itu terjadi pada selir yang paling dicintai sultan.

Roxelana harus menghadapi segala kesulitan dan ancaman ketika akan sampai pada cita-citanya. Terlebih berbagai ancaaman datang, terutama dari Selir Mahidevran dan kasim-kasim seperti Kiral Berk dan Ugur Yildrim. Semakin dekat dengan cita-cita itu, semakin banyak penghalang yang menghadang. Bahkan bahaya itu pun melibatkan pelayan kesayangannya.

Novel ini banyak mengulas politik yang terjadi di istana harem sebab di istana itulah yang menentukan kelak putra siapa yang berhak menggantikan tahta raja. Kelebihan novel Haseki Sultan adalah pada detail dan suasana istana harem yang cukup menegangkan dan alur cerita yang berkembang sehingga menarik untuk terus diikuti. Dilihat dari istilah hingga penggarambaran istana, tampaknya penulis cukup mengusai sejarah Turki. Novel ini menggunakan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Membaca novel ini seperti menyimak sebuah film sejarah. Terlebih novel ini juga dilengkapi dengan catatan kaki sehingga memudahkan pembaca.

Hanya saja tidak seperti gambaran awal saya ketika membaca judulnya “kehidupan sesungguhnya” para wanita di istana masih kurang tereksplore, termasuk ciri khas karakter, pemikiran, pandangan politik, dunia batin, atau tentang bentuk pemberontakannya. Namun ternyata para selir lebih bayak berkutat pada usaha untuk menarik perhatian Sultan dengan berbagai cara yang ditopang oleh cara-cara ala kasim.

Saya merasa baik konflik maupun penyelesaian masih banyak diambil oleh tokoh-tokoh lelaki, dapat dikatakan sebagian besar politik yang digambarkan dalam novel ini dimainkan oleh para pria. Tokoh perempuan jarang diposisikan sebagai subjek yang menggerakkan cerita. Seperti ketika cerita beralih pada Mahidevran, pengaruh lebih banyak datang dari Kiral Berk. Penggambaran karakternya berputar pada kecantikan dan sisi kelicikan yang tidak terlalu mengubah keadaan. Demikian pula dengan tokoh Roxelana yang tidak begitu memiliki karakter yang berdiri sendiri, kecuali kecantikan yang dijelaskan secara subjektif dan tergantung oleh tokoh ayah di awal cerita, dan ia seolah kena batunya dengan mengalami nasib tragis karena memberontak sang ayah.

Salah satu selir seperti Sofia misalnya, malah akhirnya hanya menjadi selingan Kiral Berk karena bentuk fisiknya mirip Mahidevran. Ia ditinggalkan oleh Kiral Berk begitu saja setelah jatuh cinta. Pada bagian ini saya memang sedikit agak kecewa karena Sofia diposisikan sebagai perempuan lemah meski ia semula cukup memenuhi kriteria untuk jadi selir Sultan. Karena lemah, ia jadi pihak yang dipermainkan dan dijadikan alat.

Memang di balik keputusan seorang raja, ada seorang wanita yang berperan di belakangnya. Semua itu tetap saja ditentukan oleh kecantikan fisik, kelembutan, keberuntungan, dan sedikti kecerdikan untuk mampu meluluhkan hati raja dan memengaruhi jalannya kekaisaran. Selebihnya, novel ini meski menggambarkan keadaan di istana Harem dengan cara fiktif, namun dapat sedikit membuka wawasan dan mengingatkan kembali tentang kejayaan Zaman Turki Ottoman. Setelah saya iseng searching ternyata nama Selir Roxelana memang ada dalam sejarah Turki.

Selamat membaca.

Resensi Novel: Separuh Kaku

DSCN4037

Judul: Separuh Kaku
Penulis: Setiyo Bardono
Penerbit: Senja
Tahun terbit: 2014
Jumlah Halaman: 248
Genre: Humor
ISBN: 9786027968974

Blurb

Kepindahan orang tua dari Depok ke Cilebut membuat Panji akrab dengan kereta rel listrik (KRL). Melalui tragedi ingus, Panji berkenalan dengan Eka Naomi Keretawati hingga berujung pada peristiwa Salah Wati. Entah mengapa sejak menjadi TRAINer, istilah keren untuk penumpang kereta, Panji dekat dengan gadis-gadis yang namanya berhubungan dengan kereta. Sebelumnya Eka Naomi Keretawati, sekarang Eva Peron. Eva sendiri sering dipakai roker untuk mengistilahkan kereta ekonomi. Eva, ekonomi vanas. Hingga kekecewaan cinta membuat Panji menjalani jalur salah dengan naik di atap kereta.
Ikuti kisah Panji, seorang TRAINer, dalam kesehariannya di ular besi.

Sepanjang pengalaman membaca saya, ide bertema stasiun dan kereta yang saya temukan dari bacaan lebih banyak diambil oleh genre sastra, romance, atau lagu-lagu bernafaskan romantisme dan drama. Namun kali ini Setiyo Bardono memformulasikan stasiun dan kereta dengan genre humor. Saya pun menemukan banyak hal unik di dalamnya.

Panji dalam novel ini digambarkan sebagai pemuda Kampung Cilebut yang mencari jati diri. Ia rela prihatin dengan berdesakan di kereta demi meraih cita-citanya untuk bisa kuliah selepas SMA. Sejak pindah rumah ia tak punya pilihan efektif lain selain naik kereta ke sekolahnya di daerah Depok. Menjadi langganan kereta ekonomi, tentunya ia pun jadi akrab dengan berbagai suasana di KRL. Mulai dari bertemu Naomi (Wati) yang berujung pada salah Wati, hingga tragedi kecelakaan penumpang atap yang menimpa salah satu sahabatnya.

Di samping mengamati, ia juga punya sudut pandang konyol mengenai hal-hal di sekitarnya. Sebagai penumpang rutin, ia bahkan punya ikatan kekeluargaan dengan penumpang lain yang setiap hari ditemuinya di gerbong tiga karena perasaan senasib seberdesakan. Selain itu ia juga menemukan belahan hatinya walaupun tidak berujung baik. Guyon khas yang mengalir natural dan ringan dalam novel ini berhasil membuat saya jadi senyum-senyum sendiri sampai ngakak selama membacanya.

Berbicara tentang genre humur, memang tidak mudah menampilkan komedi karena selain itu berhubungan dengan keterampilan dan pengalaman, juga berkaitan dengan selera audience. Tapi menurut saya, justru karena berangkat dari masyarakat menengah ke bawah, membuat buku ini dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga terasa akrab. Selama ini saya jarang menemukan buku bergenre humor yang betulan bikin tertawa. Mungkin karena saya punya selera humor yang gampang-gampang sulit, hehe.

Kelebihan novel ini juga terletak pada kritik sosial. Penulis seperti mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat kondisi kereta ekonomi dan melihat masyarakat dari segi transportasi umum dari sudut pandang remaja bernama Panji dan berbagai peristiwa kocak yang dialaminya. Menyorot masyarakat KRL gerbong ekonomi itulah yang membuat novelnya terasa membumi dan akrab. Panji berbicara dari banyak hal, mulai dari kondisi KRL yang selalu berdesakan, tips naik kereta, hingga informasi jajananan khas sekitar stasiun seperti lontong dan gorengan yang dipotong menggunakan gunting hingga tahu sumedang.

Di samping menghadirkan hiburan, novel ini juga mengajak kita sedikit banyak merenungi perihal seputar fasilitas umum yang dekat dengan kita sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan KRL Ekonomi. Novel ini juga diselingi puisi-puisi ringan dan lirik lagu gubahan ala Panji yang kadang konyol yang sepertinya merupakan keahlian penulis. Dilihat dari diksinya, penulis konsisten mengangkat tema KRL dan stasiun. Bahkan termasuk nama tokoh-tokohnya. Setiyo B. juga menyelipkan ramalan bintang edisi KRL Ekonomi yang bikin ‘mules’ saat membacanya. Misalnya seperti ramalan zodiac Panji berikut ini.

halaman 172

halaman 172

Dalam segi teknis, cover menggunakan gambar yang lucu dengan jenis font yang nyaman dibaca dan tidak mengikuti buku-buku yang lainnya. Seperti memang ditujukan untuk bacaan super santai.
Membaca profil penulsi di halaman belakang, Setiyo B rupanya pernah menerbitkan buku dengan tema serupa yaitu, Mimpi Kereta di Pucuk Cemara dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta. Sudah dapat ditebak si penulis jelas melahirkan ide-ide kreatif ini dari pengalamannya ber-KRL ria 🙂

Ada beberapa salah ejaan dan typo yang tidak terlalu berpengaruh dan dapat disempurnakan lagi di cetakan berikutnya.
Overall, membuat saya beruntung menemukan buku ini. Berharap dapat membaca buku Setiyo B. selanjutnya. Novel “Separuh Kaku” ini rocommended untuk dibaca sebagai hiburan di kala senggang.:)

Resensi Novel: Hujanlah Lain Hari

Sumber: goodreads.com

Sumber: goodreads.com

Judul: Hujanlah Lain Hari
Penulis: Lindaisy
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: November 2014
Genre: Fanfiction
Jumlah halaman: 356

Cerita diawali oleh masa kecil Shim Jangwoo yang cukup keras. Meski ia dari keluarga yang tidak mampu, namun menjujung tinggi kejujuran. Jangwoo kecil tak melupakan segala peristiwa yang ia alami. Termasuk juga seorang gadis kecil, anak sahabat ayahnya, yang mengikutinya di tengah hujan kala itu. Namun peristiwa nahas terjadi dan menewaskan kedua orang tuanya. Sejak itu, Jangwoo membenci hujan.

Lalu bertahun kemudian, Jangwoo pun tumbuh dewasa. Ia bertemu Geum Janhwa di sebuah kedai ramyun. Geum Janhwa adalah si pemilik Kedai yang tekun namun sedikit dingin dan tertutup. Ketertarikannya terhadap Janhwa dan kondisi keuangannya yang nyaris ambruk membuatnya mau melamar pekerjaan sebagai tukang masak di kadainya. Ia bahkan rela meninggalkan profesi musiknya, memotong rambut gondrongnya, dan belajar membuat ramyun terbaik. Janhwa dan Jangwoo pun menjadi rekan kerja yang cocok.

Hubungan mereka pun berkembang. Jangwoo semakin masuk dalam kehidupan Janhwa. Sedikit demi sedikit ia pun mulai mengenali gadis itu. Ia anak yatim piatu dan hanya memiliki seorang adik yang dirawat di rumah sakit karena hepatitis B. Menjadi koki dan menjalankan kedai bukan impian sejatinya, namun kedua orang tua dan kondisi membuatnya demikian. Di samping kuliah, Janhwa bekerja keras menjalankan kedai. Jangwoo tahu, ia seperti mengenali Janhwa karena mirip dengan seseorang. Kebiasaan Janwa yang suka menutupi masalahnya itu justru membuat Jangwoo ingin selalu berada di dekatnya dan membantunya. Terlebih ketika tahu bahwa adiknya harus dioperasi dan membutuhkan biaya yang besar. Jangwoo mencoba membantu. Ia bahkan menjual satu-satunya gitar kesayangannya.

Tiba-tiba Park Woohyun datang di antara mereka dan mengacaukan segalanya. Woohyun adalah teman Janhwa sejak kecil yang belakangan mencintai Janhwa. Sementara itu, atas semua bukti yang ditemukannya, Jangwoo semakin yakin bahwa Geum Janwa adalah seseorang yang terkait erat dengan masa lalunya. Gadis yang pernah mengejarnya di tengah hujan di masa kecilnya. Gadis yang selama ini dicarinya. Namun sepertinya tidak mudah bagi Jangwoo memberi pesan pada Janhwa bahwa ia adalah gadis kecil di masa lalunya.

Terlebih segalanya tambah berantakan sejak peristiwa perampokan yang mengganggu kelangsungan kedai ramyun milik Janhwa. Lagi-lagi pelakunya adalah orang yang Jangwoo kenal di masa kecilnya, yang tak lain adalah musuhnya. Kembali Jangwoo difitnah seolah Jangwoo-lah otak dari pencurian dokumen itu. Sayang Janhwa percaya dan lantas membencinya.

Belum lagi menemukan penyelesaian, Woohyun mengambil kesempatan di tengah kesulitan Jangwoo. Ia membantu Jangwoo dengan membayarkan sejumlah uang untuk menyelesaikan kasus, namun semua itu tidak gratis, dengan syarat bahwa Jangwoo harus menjauhi Janhwa, sebab ia tak ingin Janwoo merebutnya. Demi kebahagiaan Janhwa, Jangwoo bersedia pergi.

Tapi uang memang bukan segalanya. Semua hal yang dimiliki Woohyun tak lantas membuatnya mendapatkan cinta Jahnwa, seperti semudah saat ia meminta mainan kepada orang tuanya.

Membaca novel ini seperti menyimak drama Korea dalam bentuk buku. Pergerakan alur maju dan flashback yang dramatis, tokoh-tokohnya yang digambarkan cantik dan tampan, hingga setting yang berada di Korea di musim hujan. Novel dengan tebal 356 halaman ini dituturkan dengan dialog dan narasi dan seimbang. Setiap narasi bahkan dituliskan dengan cukup detail ala drama Korea. Novel ini memiliki ending yang manis yang menguraikan segala jawaban tentang masa lalu mereka, meski kita tak akan menemukan hal-hal yang mengejutkan di sana.

Karakter tokoh-tokohnya sekalipun secara fisik semuanya cantik dan ganteng, namun memiliki ciri khas sendiri sehingga dapat melengkapi komposisi cerita dengan menarik. Tak hanya itu, penulis sudah cukup baik menyesuaikan karakter tokoh dengan latar belakang kehidupan masing-masing. Keunggulan lain dari novel ini adalah pesan moral yang terselip di dalamnya, seperti tentang kejujuran, kerja keras, dan juga beberapa kutipan bagus yang saya temukan:

Punya segalanya bukan jaminan kebahagiaan (halaman 29)

Punya pengalaman buruk lebih banyak daripada pengalaman baik bukan berarti kau bisa membencinya. (halaman 206)

Sebetulnya sih membaca bagian pertengahan novel ini seperti melawan rasa bosan. Ada banyak narasi yang isinya terkesan berbelit dan kurang penting, membuat saya kadang berhenti sejenak dan beberapa kali membacanya dengan cara skip, itu pun tidak membuat saya ketinggalan mengikuti plotnya. Rasa antusias untuk melanjutkan hingga selesai baru datang kembali setelah ada di seperempat bagian akhir. Meskipun ada beberapa adegan yang terkesan kebetulan, terutama yang berkaitan dengan setting, namun lumayan tertutupi oleh penyelesaian cerita yang cenderung tidak terburu-buru.

Meski latar tempatnya di Korea, namun sayang kurang tereksplore dengan baik. Di samping itu, setting waktu, seperti tahun dan bulan tidak disertakan dengan jelas. Hanya beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu di Korea, seperti kedai ramyun, orang-orang bernama khas Korea, dan sedikit saja nama tempat seperti Seoul. Di samping itu ada salah satu dialog yang sedikit kurang logis di halaman 268-269, tentang mengapa Jangwoo heran bahwa Woojin mengenal Janhwa? Bukankah Woohyun si adik laki-lakinya, sudah berteman dengan Janhwa sejak kecil? Bukankah sudah wajar bila kedua keluarga otomatis juga sudah saling kenal? Apalagi Jangwoo sudah tahu bahwa Woohyun memang dekat dengan Janhwa sejak kecil. Tapi tidak mengapa, barangkali ini hanya karena penulis lebih bersemangat di poin yang lain.

Selebihnya deskripsi lokasi bisa disempurnakan dengan menceritakan dengan detail hingga tradisi masyarakat atau kondisi alam. Namun tidak masalah karena sepertinya novel ini memang disajikan sebagai bacaan yang menghibur, sehingga bagi penyuka fanfiction atau drama Korea, novel ini dapat menjadi pilihan di kala senggang.

Parade Manusia dalam Novel Jatisaba: Sebuah Review

novel Jatisaba

Judul: Jatisaba
Penulis: Ramayda Akmal
Penerbit: Era Baru Pressindo
Genre: sastra
Jumlah halaman: 254
Tahun terbit: 2012
ISBN: 9786029967036

Aku pulang, walau tidak punya rumah. Walau hasrat untuk pulang sama kuat dengan hasrat untuk mencegahnya. Aku sempat berjanji tidak akan kembali. Tetapi kenangan akannya begitu mengutukku. Kutukan yang mendatangkan kerinduan. Kerinduan yang mengalahkan segalanya; rasa malu, keangkuhan, dan dendam. Sepanjang jalan aku gemetar, menyadari yang aku rindukan adalah masa lalu. Namun aku sedang menuju ke sana dan tak mungkin akan menghancurkannya, juga diriku. Aku tak bisa mengelak. (Halaman 7)

Pulang ke Jatisaba membawa Mae pada serangkaian peristiwa yang melemparkannya pada kenangan, sekalipun tak ada lagi keluarga dan rumah sebagai tempat tujuan. Jatisaba tak hanya sebuah kampung bagi Mae, tapi juga sebagian dari dirinya, nuansa kehidupan desa kelahirannya yang masih seperti dulu, cinta masa lalu yang tak tergapai, politik lokal yang rumit dan kotor, juga banyak hal yang menguras hati. Tak jarang kelebat kenangan masa kecil datang dalam ingatannya dan sering kali mengusik nuraninya. Seiring dengan trauma-trauma yang pernah dialaminya.

Ia dilahirkan dan mengalami masa kecil di desa tersebut meski masyarakat pada akhirnya menolaknya. Mae yang bernama asli Mainah adalah mantan korban TKW ilegal yang mengalami nasib tragis. Lepas dari berbagai siksaan, ia pun terpaksa menjalani hal yang tak diinginkannya: menjadi makelar perdagangan manusia bertaraf internasional. Mae harus mencari calon-calon korban di kampung halamannya itu demi kebebasannya sendiri. Sebelumnya sudah hal yang biasa penduduk di Jatisaba menjadi TKI ketika dewasa meski bukan pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Itulah sebabnya sebagian masyarakat memandang sinis Mae.

Membaca novel ini, saya melihat Mae sebagai korban juga sekaligus pelaku tindak kejahatan. Ada beberapa sisi menarik yang saya temukan dari Mae. Misalnya, sekalipun perempuan, ia mampu menghadapi dunianya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Mae merepresentasikan manusia yang memiliki semangat untuk terus dapat mengubah keadaan meski di sisi lain ia juga berjuang untuk berdamai dengan rasa bersalah. Novel ini membuat kita memaafkan sisi “manusia”.

Tidak mudah bagi Mae meraih kepercayaan masyarakat Jatisaba. Demi misinya itu, Mae pun mendompleng kampanye salah satu kelompok pendukung calon kades di untuk mendapatkan calon korban. Dalam perang batin yang berat, ia terus membujuk masyarakat tempat kelahirannya untuk mau berangkat bersamanya, termasuk sahabat-sahabat masa kecilnya. Selain tak bisa lepas dari teror Mayor Tua, bos besar dari sindikat tersebut, Mae juga tengah menjadi buron kepolisian. Dunia yang dihadapinya memang nyaris tak pernah aman, bahkan pada akhirnya ia dikhianati oleh salah satu orang yang dipercayaianya.

Novel Jaisaba tak hanya bercerita tentang human trafficking, tapi juga kehidupan manusia dari sisi lain. Hal menarik dari novel ini adalah kemampuan mendekat pada nuansa kehidupan masyarakat asli Kampung Jatisaba dengan cara lugas, kadang vulgar, jujur, dan menyindir. Tidak jarang saya menemukan karakter-karakter manusia di sekitar kita yang sedikit mirip dengan tokoh-tokoh dalam novel Jatisaba. Barangkali terhadap tipikal manusia ini kita dibuat gemas sekaligus memakluminya. Seperti juga Mae yang merasa menjadi bagian dan sekaligus mencela berbagai masyarakat yang munafik dan primitif. Meski bergenre sastra, novel ini juga dituturkan dengan gaya bahasa yang tidak terlalu berat untuk dicerna. Tidak banyak ditemukan bahasa kiasan, namun memiliki gaya penuturan yang menyentuh.

Fenomena pemilihan calon kepala desa, misalnya, diwarnai dengan perseteruan politik ala masyarakat pedesaan yang seolah menjadi replika iklim politik di negeri kita ini. Kampung Jatisaba pun akrab dengan konflik dan kampanye hitam. Konflik yang sudah lama ada di masyarakat yang berkelompok itu semakin memanas ketika pemilihan kepala desa. Dengan segala intrik, mereka saling menjatuhkan hingga saling memfintah dan memata-matai demi memenangkan calon. Mereka bahkan bersemangat menjagokan calonnya meskipun hanya disogok dengan beras berkutu. Fenomena kampanye yang kadang lucu, kadang membuat geleng-geleng kepala ini membuat saya menemukan kesamaan dengan fenomena yang terjadi di nusantara atau di sekitar kita namun dalam bentuk yang lebih ‘lugu’.

Penggarapan lakon yang kuat, plot, setting, dan twist-twist yang mengejutkan, membuatnya seperti menyimak sebuah dongeng tentang kaum terpinggir. Berbeda dengan novel kebanyakana, Mae merupakan tokoh utama yang tidak luput dari sisi keantogonisan. Mae mencintai jatisaba sepeti halnya kita mencintai kampung halaman. Ia juga cinta masa kecilnya, Gao, meskipun Gao telah berkeluarga. Ia menyayangi sahabat-sahabatnya di masa kecil, ia tahu apa yang bakal mereka alami setelah berada di tangan Mayor Tua, tapi ia sadar ia sedang terlibat dalam misinya sendiri sehingga harus menjaga jarak.

Dengan sangat akrab, Jatisaba bercerita lebih dekat tentang masyarakat tradisional yang cenderung marginal itu. Seperti tokoh Sitas yang pernah mengalami masa lalu kelam sebagai TKW dan hobi sebagai simbol kemiskinan dan kemunafikan. Ia cenderung menyukai hal-hal yang materi hingga segala cara ditempuhnya, ia bahkan lebih berantusias menghitung uang sumbangan sesaat setelah suaminya dimakamkan. Lalu Gao yang dianggap dukun sakti yang kontroversial. Ada juga Malim yang selalu berada di samping Mae tapi tetap memiliki tujuan memanfaatkannya. Ada pula Musri, Kusi, dan Sanis, sahabat Mae yang polos dan naif yang merepresenstasikan ibu rumah tangga yang menjalani takdirnya mengurus rumah dan anak-anak. Sedangkan para pria dalam novel itu dikenal doyan kawin, mabuk, berjudi. Sementara sekolompok ibu-ibu karib dengan gosip. Tak lupa Jompro, Mardi, dan Joko, 3 orang yang memiliki cara-caranya sendiri untuk meraih kemenangan menjadi kepala desa iktu mewarnai situasi politik di Jatisaba. Dan tokoh-tokoh lain yang memiliki karakter yang berdiri sendiri-sendiri.

Dalam novel ini saya seperti melihat kondisi masyarakat marginal yang ditelantarkan oleh negara dan jauh dari kemajuan. Salah satu biang dari semua penyakit masyarakat itu adalah kemiskinan. Kemiskinan seolah merupakan jalan buntu bagi masyarakat itu sendiri. Novel yang beralur maju ini sekaligus diselingi kilas balik tentang masa lalu Mae yang memilukan ketika menjadi korban trafficking. Di sisi lain, kehidupan desa digambarkan begitu detail dan tentunya Ramayda Akmal telah melakukan riset yang panjang. Termasuk juga ketika menyorot situasi politiknya.

Setting dan juga kebudayaan yang digarap detail membuat saya seperti menyimak langsung. Dari perayaan ebeg sampai jenis makanan khas yang menjadi favorit masyarakat meski tidak layak untuk dimakan.

Aku rindu sekali memakan ciwel. makanan dari singkong yang dicampur abu. Tidak ada yang menyediakan makanan itu selain di Jatisaba…”

Ada gorengan gadung yang semua orang tahu dibuat dari tumbuhan jalar yang beracun. Ada juga becek lumbu. Lumbu adalah tanaman yang tumbuh subur di genangan air limbah… (halaman 150)

Novel Jatisaba sedikit mengingatkan saya pada novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk yang sama-sama berangkat dari kisah masyarakat desa yang tengah menghadapi perubahan sosial akibat komedernan. Namun cerita menganai kehidupan pekerja migran ilegal seperti mengingatkan kembali novel Mimi lan Mintuna karya Remy Sylado dan Galaksi Kinanti karya Tasaro GK. Membuat kembali menyadarkan bahwa Indonesia, kasus trafficking masih menjadi fenomena yang dekat dengan kita namun seperti jauh dari penyelesaian yang menuntut kita untuk peduli dan terus berupaya mencari solusi.

Membaca novel Jatisaba seperti membaca parade manusia. Kita takkan menemukan tokoh-tokoh ideal dalam bayangan kita ataupun produk ala televisi. Mengikuti perjalanan Mae, saya seprti ikut memaklumi manusia, sehingga rasanya bukan yang bodoh dan terbelakang yang lebih jahat. Orang-orang yang merasa lebih maju dan terlihat bersihlah yang barangkali lebih mengancam. Atau barangkali kita yang lebih banyak tahu yang lebih jahat dari mereka yang tak tahu. Bukankah sering kali pengetahuan yang kita miliki menyakiti mereka yang tidak pernah tahu? Bukankah pengetahuan-pengetahuan itu membuat kita tak jarang merasa terasing?

Kekurangan dalam novel ini menurut saya lebih pada teknis. Sayang di novel ini masih banyak ditemukan typo dan kesalahan ejaan yang mestinya dapat diperbaiki lagi. Di samping itu, ada beberapa halaman yang penataan marginnya terlihat agak miring. Namun tak mengapa, penggambaran karakter melalui narasi dan dialog dengan porsi yang pas membuat saya terkesan. Pantas bila novel ini masuk sebagai novel unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010 lalu.

Mae merupakan tokoh kontroversi yang mengajari kita untuk mampu mengenal manusia dari dekat dan dengan cara berbeda. Selain ide cerita dan beberapa kelebihan yang coba saya urai di atas, novel Jatisaba karya Ramayda Akmal ini saya rasa memiliki muatan etnografis dan nilai-nilai yang mampu memberikan terobosan baru dalam dunia sastra. Novel ini kaya dengan makna dan pelajaran hidup. Kita juga dapat mengkajinya dari sudut pandang ilmu sosial dan budaya. Ini novel sastra yang recommended 🙂

Resensi Novel: Queen, Demi Menghapus Bayangmu

IMG_20141228_185751

Judul: Queen, Demi Menghapus Bayangmu
Penulis: Niena Sarowati
Penerbit: Senja
Tahun terbit: 2014
Tebal: 300 Halaman
ISBN: 978-602-296-026-3

Alfira Queenza memutuskan “lari” dari Jakarta ke Bandung setelah mendapati Milly, sahabatnya sendiri berselingkuh dengan Davin, pacar yang sudah bersamanya selama 3 tahun. Setelah mendapat izin kedua orang tuanya, ia pun mengambil cuti kuliah untuk menata hidupnya kembali setelah patah hati. Tak seorang pun tahu kepergiaan Queen ke Bandung kecuali kedua orang tuanya.

Di Bandung ia tinggal di Kos Cemara yang rata-rata penghuninya lelaki. Salah satu teman kosnya yang paling dekat adalah Obit. Selama di Bandung Obit-lah yang sering berada di sisi Queen. Queen merasa betah. Terlebih nuansa yang ia temui di Kos Cemara seperti keluarga, Abah, pemilik kos yang ramah, Cilla cucunya yang lucu membuat hidupnya terisi, juga para penghuni kos dan pacar-pacarnya yang selalu menemani dan mendukungnya.

Ia menjalani hari-harinya yang menarik selama di Bandung. Pada suatu ketika ia menolong seorang anak kecil yatim piatu di jalan, tak disangka pertemuan itu membawanya berkunjung ke panti asuhan. Dari kunjungan itu, ia merasa tergerak untuk terus membagi kebahagiaan, dan panti itulah menjadi tempat berkegiatannya selama di Bandung. Tak hanya itu, ia juga bergabung dengan komunitas anak jalanan melalui salah satu teman kosnya, Alan.

Kesibukannya di panti dan komunitas anak jalanan mampu mengalihkannya dari rasa galau. Namun ketenangan hidupnya nyaris ambruk ketika Davin menyusulnya dan membuat kekacauan. Menyusul kekacauan lain ketika Milly juga datang mencarinya, hingga akhirnya teman-temannya pun tahu apa alasan Queen ke Bandung dan menjalani kesibukan-kesibukan itu. Queen tahu keputusannya untuk tetap bangkit tidak boleh rusak begitu saja.

Setiap manusia pasti punya masalah. Dan, masalah itu ada untuk kita hadapi. Kita cari jalan keluarnya, bukan kita hindari. Jika satu masalah kamu hindari, maka akan muncul masalah baru. (halaman 176)

Sementara kedekatannya dengan Obit seperti memunculkan semacam chemistry. Obit yang baik, perhatian, dan selalu ada membuat Queen merasa tenteram. Namun tak dipungkiri Davin masih mengusik hidupnya. Kenangan bersamanya tak mudah dilupakan. Namun semua itu membuatnya harus menentukan langkah.

Novel Queen diceritakan dengan alur maju, kadang-kadang diselipi dengan flash back tentang masa lalu Queen bersama Davin. Sisi menarik dari novel ini adalah tentang semangat tokoh Queen untuk survive dari kondisi terburuknya dan memilih bangkit. Seperti menyiratkan pesan bahwa ketika satu duniamu runtuh, bukan berarti hidupmu berakhir. Memang tidak mudah menerima kenyataan bahwa dua orang yang sangat dipercayai malah mengkhianati di belakang kita. Namun Queen tidak lantas terjebak dalam hal-hal negatif meskipun bagi siapa pun itu mungkin saja jadi pilihan.

Karakter, tokoh Queen dalam novel ini digambarkan sebagai gadis yang tidak terlalu istimewa namun memiliki proses perubahan karakter yang cukuo bagus, baik dalam hal penampilan maupun cara berpikir. Tokoh lain yang sering muncul adalah Obit. Namun sayang tokoh lain terlihat tidak terlalu memiliki peran dan kurang tereksplore sehingga terkesan hanya sampingan. Bahkan bila boleh berpendapat, nama tokoh-tokohnya masih bisa ditukar nama karena nyaris tidak memiliki ciri karakter khusus. Tapi tidak mengapa, sebab dari awal, tokoh-tokoh ini sudah cukup dijelaskan berurutan di bagian awal ketika Queen sudah pindah.

Sayangnya meski jalinan ceritanya cukup menarik, namun terdapat beberapa adegan yang temponya terlalu cepat dan ada yang diuraikan terlalu panjang di bagian yang sebetulnya tidak terlalu penting sehingga terkesan agak membosankan. Di samping itu ada beberapa yang menyangkut unsur kelogisan cerita yang mestinya dapat diperbaiki.

Salah satunya adalah, sepertinya agak kurang logis bila kedua orang tua Queen percaya begitu saja cerita Davin bahwa Queen melahirkan seorang anak di Bandung, apalagi hanya dengan melihat foto Queen menggendong bayi (halaman 195-196). Dalam novel ini diceritakan Queen sudah di Bandung selama 5 bulan, dan bayi yang digendongnya sudah beberapa bulan. Sementara wanita hamil kan butuh 9 bulanan sampai melahirkan, padahal mereka sebelumnya sudah tahu bahwa Queen aktif di panti asuhan.

Selain itu rasanya kok agak gimana ya anak usia playgroup berperilaku seperti Cilla? Semula saya kira Cilla sudah di atas kelas 3 SD an ketika membaca bagian ketika ia mengajak Queen berkenalan (halaman 24), ketika Cilla menengahi pertengkaran Via dengan Obit (halaman 56), hingga saat menceritakan masakan Queen (halaman 216-217). Kegemarannya makan dengan porsi yang begitu banyak (halaman 51), dan beberapa hal lain juga agak mengganjal. Tapi tidak mengapa karena mungkin hanya faktor kurang detail karena penulis terlalu antusias menceritakan anak kecil lucu yang membuat hidup tokoh Queen berwarna.

Mengenai konsep cerita, agaknya novel Queen kurang mengeksplore kondisi sosial masyarakat padahal ia menjadi bagian dari perjalanan Queen. Ketika di pantu asuhan, lebih banyak diceritakan saat Queen ikut mengasuh para bayi dan anak ketimbang aktivis panti. Ditambah lagi kebiasaan tokoh-tokohnya yang nongkrong di tempat-tempat agak mewah seperti plaza, kafe, salon, dan lain-lain agaknya kurang seimbang, hingga nyaris tidak ada penggambaran masyarakat yang melatarbelakangi komunitas anak jalanan yang mengarah pada masyarakat marginal. Bahkan di sela kegiatan itu, sering ditemukan jenis kuliner yang dikonsumsi Queen dan teman-temannya bernama asing seperti big ice tea hingga coupe la braga. akan lebih sesuai bila sesekali mereka nongkrong di warung bakso dan minum es teh warung pojok misalnya. Namun tak mengapa, karena mungkin fokus utama dan misi dari cerita novel Queen bukan ke arah sana.

Novel ini terbilang menarik dengan meskipun sedikit datar dan ending-nya mudah ditebak. Barangkali tidak jarang kita temui mereka atau mungkin termasuk juga kita yang pernah melarikan patah hati ke hal-hal positif seperti kegiatan sosial, sibuk bekerja siang malam, melanjutkan pendidikan, travelling, atau memulai bisnis. Tapi jarang yang menuliskannya menjadi novel sehingga dapat dijadikan insiprasi pembaca. Menurut saya novel ini tetap mempunyai muatan positif dan menceritakan dengan cara menarik tentang cara lain keluar dari keadaan terpuruk. Dengan gaya bahasa ringan dan mudah dimengerti, novel ini cocok untuk dibaca oleh remaja.

Resensi Novel: Violetta, Yang Melupakan Kenangan

Novel Violetta

Judul: Violetta, Yang Melupakan Kenangan
Penulis: Rosgadini
Penerbit: PING!!!
Editor: Vita Brevis
Tahun Terbit: 2014
ISBN: 139786022556879
Jumlah halaman 223

Blurb

“Bia! Bia juga jangan lupa, ya, kalo Bia besar nanti, harus punya toko es krim sendiri. Jadi, Vio bisa makan semua es krimnya. Janji?”

Bia. Laki-laki yang tak suka makan es krim ini mendirikan First Scoop, demi memenuhi janji masa kecilnya pada sang cinta pertama, Vio.
Bia yang tak bisa lepas dari sosok cinta pertamanya seakan menemukan sosok Vio dalam diri Etta.
Namun Etta tak mau hidup dalam bayang-bayang Vio.

Pilihan. Di dalam hidup setiap manusia pasti akan dihadapkan pada pilihan, termasuk untuk terus mencintai atau justru melupakannya…

Di masa kecil Bia, ia sudah kehilangan Vio, sahabat sekaligus cinta pertamanya karena kecalakaan telah merenggutnya. Hal itu yang membuat Bia terpukul dan tak dapat melupakan Vio. Kenangan Vio rupanya begitu membekas. Hingga ketika dewasa, ia memutuskan keluar dari pekerjaan tetapnya dan membangun toko es krim, tidak lain adalah demi janjinya kepada Vio, meskipun Bia sendiri tak suka makan es krim. Toko es krim itu pun diberi nama First Scoop.

Dibantu sepupunya, Addin, ia berhasil membangun First Scoop dari nol. Baru sebentar kedai itu berdiri, Bia bertemu Maira. Maira adalah gadis cantik yang merupakan mantan Bia yang pernah berselingkuh dengan Addin. Melihat kenyataan bahwa Maira datang kembali ke kehidupan Bia, Addin sangat sedih, pasalnya sejak dulu ia menyukai Maira dengan serius. Namun demi menjaga perasaan Bia, ia pun menjaga jarak dengan Maira. Dan lebih kacau lagi, Maira ikut-ikutan melamar pekerjaan di kedai es krim Bia demi dekat kembali dengan Bia.

Sementara itu, pertemuan dengan Etta berawal dari Addin yang merekomendasikan Etta, sahabatnya sejak SMA untuk melamar kerja di kedai es krim Bia. Perkenalan Etta dan Bia tak berlangsung baik. Konyolnya Etta datang terlambat di sesi interview dan itu membuat Bia tak suka.

Interaksi Bia dan Etta yang kadang manis kadang saling menjauh karena saling sebal rupanya memunculkan benih cinta. Etta yang tersentuh karena sisi Bia yang baik dan romantis, dan Bia yang menyukainya karena menemukan banyak hal yang mirip Vio. Kepolosan, kesukaannya pada es krim di musim apa pun, hingga caranya menangis mengingatkannya pada cinta pertamanya itu. Namun Etta yang tahu hal itu tidak dapat menerima kenyaaan, meskipun ia juga diam-diam menyukai Bia. Etta ingin disayangi sebagaimana ia, bukan Vio atau gadis lain. Tapi sulit bagi Bia melakukannnya. Etta memberi syarat bahwa Bia harus melupakan Vio bila tetap ingin bersamanya.

Hingga suatu peristiwa terjadi dan satu per satu rahasia terpendam Etta terbongkar dan menjadikan segalanya tak lagi sama.

Berbicara penokohan, Bia dan Addin memiliki kelebihan yang menguatkan cerita dalam novel. Bia yang romantis dan setia pada masa lalunya, juga kesabaran Addin ketika harus sekantor dengan orang yang dicintai namun sulit tergapai.

Kelebihan novel teenlit ini juga ada pada keseimbangan dialog antartokoh dan narasi, dan alur yang mengalir dan kadang dramatis. Sesuai dengan temanya, pengetahuan tentang es krim pun dijabarkan dengan cukup baik. Nyaris tidak dilengkapi dengan proses bagaimana kedai es krim itu berkembang, membuat saya paham barangkali fokus utama cerita ini memang bukan pada usaha kedai es krim. Tapi lebih banyak berceria tentang hubungan Bia-Vio, Bia-Maira, Addin Maira, hingga Bia dan Etta yang dianalogikan oleh penulis mirip dengan es krim.

Namun perihal penokohan ini, rasanya hanya tokoh Addin yang terbangun lumayan kuat. Entah kenapa karakter Etta dan Maira masih bisa bisa bertukar satu sama lain. Terlebih Maira yang sejak awal hingga akhir cerita digambarkan sebagai tokoh yang labil. Yang semula terobsesi dengan Bia malah bertoleransi dengan kedekatannya dengan Etta. Menurutku sama labilnya dengan Bia ketika dihadapkan oleh Etta maupun Maira. Belum lagi persoalan dialog dan interaksi antartokoh. Bisanya saya iseng membuat penggalan dialog ketika mencari segi keberhasilan suasana. Meski Addin dan Etta bersahabat, tapi banyak bagian obrolan yang mungkin lebih mirip adegan pacaran. Entah itu sentuhan tangan, pelukan, hingga ketika Addin menunggui Etta di kontrakannya ketika ia sakit hingga pagi harinya, padahal Etta tinggal sendirian. Baiklah, katakanlah saya memang tergolong agak kolot ketika memandang pola hubungan laki-laki dan perempuan, tapi berhubung settingnya di Indonesia, mungkin lebih baik dikondisikan dengan nilai masyarakat setempat. Menurut saya ada banyak cara kok mendeskripsikan suasana persahabatan antartokoh. Terlebih adegan ciuman Bia dan Maira, atau Addin dan Maira, atau Bia dan Maira yang bisa dikatakan terlalu sering dan kurang pas untuk jenis novel remaja.

Sisi logika dalam cerita juga penting dalam Belum lagi banyak sisi kebetulan yang terlalu dipaksakan membuatku merasa seperti ada hal-hal yang aneh yang bertebaran di sana. Namun tidak mengapa karena barangkali serba kebetulan yang sering ditemukan di novel ini sengaja dipertahankan demi keterjalinan cerita.

Kelebihan lain novel ini pada sisi penampilan adalah cover yang sesuai tema meski terlalu remaja untuk tokoh-tokohnya yang dewasa, juga penataan layout yang tidak membosankan, juga ukuran font yang cukup nyaman untuk dibaca.

Baiklah, meski saya tidak terlalu terkesan dengan novel ini, setidaknya novel lumayan cocok dijadikan bacaan ringan di kala senggang. Mungkin kalau remaja yang baca perlu didampingi orang dewasa kali ya 😁.

Resensi Novel: Immortality of Shadow

immortality of shadow

Judul Buku: Immortality of Shadow
Penulis: E. Rows
Tebal : 264 halaman
Penerbit: Divapress
Genre: Horor
Terbit: September 2014
ISBN: 978-602-255-683-1
Harga: Rp 40.000,00

Blurb

An Hammer. Sebuah rumah bergaya Victoria klasik. Atapnya menjulang tinggi dengan jendela-jendela transparan di setiap sisi rumah. Rumah itu juga memiliki balkon serta beranda. Dan, ada danau kecil di belakangnya.
Sebuah rumah yang indah.
An Hammer seharusnya menjadi hunian yang nyaman bagi Corey dan keluarganya. Sayang, Corey justru dihadapkan pada kenyataan aneh dan mengerikan di rumah barunya itu.
Janet, anak bungsu Corey, mengaku berteman dengan anak laki-laki bernama Dalal. Teman yang tidak bisa dilihat siapa pun, kecuali Janet.
Barry, kembaran Rose, anak kedua Corey, dapat melihat kejadian di masa depan dalam mimpinya. Dan, ia selalu memimpikan hal buruk menimpa Rose.
Kisah-kisah masa lalu tentang An Hammer pun pelan-pelan terkuak.
An Hammer memang menyimpan sesuatu…

Berawal dari keputusan Corey membeli rumah diam-diam sebagai wujud keinginan memperbaiki hidup, masalah justru semakin pelik. James, sebagai suaminya tidak setuju mereka meninggalkan rumah keluarga besar yang penuh dengan penghuni itu, lebih-lebih ia baru saja kehilangan pekerjaan. Namun, keempat anak mereka justru menyambut dengan bahagia ide pindah rumah baru, hingga membuat ia pun terpaksa menerima. Rumah yang dibeli Corey melalui sepupu sahabatnya terletak di Boonville. Kawasan yang cukup nyaman meski jauh dari pusat keramaian.

Rumah itu rupanya memang menyimpan sesuatu hingga membuatnya berharga murah, belum lagi ekspresi aneh orang-orang di sekitar sana ketika mendengar An Hammer. Seorang cenayang bahkan sempat memiliki firasat yang aneh tentang rumah tersebut. Belum lagi letaknya yang terpencil dan lama tak ditinggali, An Hammer seolah menyimpan banyak misteri. Namun semua itu tak menghentikan niat Corey memboyong semua keluarganya ke sana. Terlebih rumah itu rupanya sangat indah dengan gaya Victoria dan ada sebuah danau di belakangnya.  Hanya James yang tak terlalu suka tinggal di sana. Ia pun mencari pekerjaan jauh dari tempat itu dan jarang berada di rumah. Sementara itu, Corey menghadapi segalanya sendiri.

Konon anak kembar selalu punya bahasa sendiri yang hanya mereka yang mengerti. Selain menghadapi Janet yang sering kambuh penyakit, ia juga harus mengatasi Rose yang berperilaku semakin aneh dari hari ke hari pascakecelakaan dan dibully teman-temannya. Terutama Barry masih bermimpi hal-hal buruk tentang Rose, saudara kembarnya yang membuat semua orang jadi khawatir. Tidak ketinggalah, Eliana, yang sejak berkenalan dengan Dave, penduduk sekitar Hammer yang mengetahui sedikit rahasia rumah tersebut, sering dibayangi kekhawatiran dan kejadian aneh.

“Apa benar yang dikatakan oleh Dave tentang semua itu? Anaknya yang meninggal di sana, lalu….”

Dug.

Eliana menoleh. Terdengar suara yang berasal dari balik pintu kamarnya. Seperti barang terjatuh….

Belum lagi peristiwa ganjil lain yang muncul satu dan mereka seperti tinggal bersama di rumah tua tersebut. Janet yang memiliki teman yang tak terlihat dan tampak seperti berbicara sendiri. Sejak Janet berbicara pada Dalal, teman tak terlihatnya, Eliana menyemangati si kembar Barry dan Rose memanggil arwah dengan papan ouija. Keadaan Rose justru semakin parah sejak papan ouija itu dimainkan. Hingga akhirnya konflik meruncing dengan pertengkaran Corey dan James di samping terungkapnya sebagian rahasia masa lalu.

seorang wanita muda yang bunuh diri di danau

seorang istri yang dipanggang oleh suaminya ketika terjadi pertengkaran hebat

anak kecil yang dibunuh dengan dibakar oleh sang ayah

Sebagai seorang ayah, James memang tipe yang akan melalukan apa pun untuk keluarganya, bahkan bila harus melakukan pembunuhan terhadap Rose untuk menyelamatkannya dari lingkaran penderitaan.

Akankah keluarga Golik mengalami peristiwa yang sama yang terjadi pada penghuni sebelumnya?

Novel ini menggunakan POV 3. Dibuka dengan perkenalan tokoh-tokoh dalam novel yang memudahkan pembaca. Kelebihan novel horor ini adalah penjabaran setting yang detail, suasana yang berhasil membuat bulu kuduk merinding dengan twist-twist tak terduga membuat kita jadi mencurigai apa pun dan menebak-nebak apa yang barangkali menunggu di balik pintu kamar. Membaca bagian mengerikan dalam novel ini membuat antara ingin pindah bacaan atau terus mengikuti rasa penasaran terhadap alur cerita.

Baca buku horor satu ini membuat saya ingat kata seorang teman, “Bila galau, nontonlah film horor”. Efek adegan horor yang sering bikin kaget itulah yang mengalihkan sejenak kepenatan dan masalah hidup sehari-hari. Tapi baca buku ini apalagi sendirian, galaunya jadi berganti :D. Selain itu, ada beberapa adegan yang membuat saya ingat film horor populer Conjuring, The Exorcism of Emily, dan Insidious. Seperti agak mirip situasinya.

Tapi ada beberapa poin yang sepertinya agak mengganjal. Pertama, seperti kejadian-kejadian aneh di rumah pertama yang tak terjelaskan hingga akhir cerita. Kedua cenayang yang hanya muncul sekali dan sebetulnya tak terlalu perlu ditambahkan dalam cerita. Ketiga, masa lalu penghuni rumah an Hammer yang hanya muncul bagian proses pembunuhannya. Keempat, James yang mengigaukan nama seorang wanita yang berhubungan dengan masa lalu yang tidak terlalu dieksplore apa korelasinya. Di samping itu, novel ini terasa agak berjalan lambat dan membosankan di bagian tengah dan seperti hanya fokus pada kesibukan keluarga sehari-hari ketika menyambut musim panas, juga ada pula prolog yang rupanya tidak ditemukan di tengah cerita. Tapi tak mengapa, visi misi novel ini sudah cukup tersampaikan dengan baik.

Sudah lama sekali saya tidak membaca buku bergenre horor. Terakhir mungkin SMA. Waktu masih anak-anak,  juga rutin baca rubrik Jagading Lelembut di majalah Djoko Lodang langganan simbah tanpa kapok, haha. Berlanjut setelah remaja buku apa pun cerita petualangan dan misteri selalu bikin penasaran. Termasuk yang berjenis horor. dari karya-karyanya RL Stine hingga yang berasal dari negeri Jepang. Kini semuanya tidak lagi sama. Mungkin saja semakin dewasa, orang semakin penakut. Bila nonton film horor Suzana saja sendirian ketika masih SD pun nggak jarang dilakukan, sekarang bila memang harus nonton film horor, itu pun mesti banyak orang, banyak temen, dan efek teriak bareng orang-orang itu lebih menyehatkan bagi fisik dan kejiawaan daripada nonton sendirian di kamar.

Kembali ke topik. Meskipun endingnya tidak terlalu “rame”, novel ini layak mengalihkan perasaan galau Anda sejenak berpindah ke perasaan parno. Sebagai novel bergenre horor pertama E.Rows, Immortality of Shadow menurut saya sudah dituliskan dengan baik dan cukup berkesan. Novel ini cocok untuk young adult.

 Tapi disarankan untuk tidak membacanya sendirian:)

Kopiss, dan Tentang Perjalanan 3 Perempuan: Resensi Novel

DSCN3957

Judul : Kopiss
Penulis : Miko Santoso
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : 2014
Cetakan : Pertama
Editor : Aya Sophia
ISBN: 139786022960010
Jumlah halaman: 280

Sempatkah terbesit dalam benakmu, apa hal besar yang ingin sekali kamu lakukan dalam hidupmu, sebelum usiamu berhenti?

Barangkali itulah tema yang tersirat dalam novel berjudul Kopiss yang baru selesai saya baca ini. Kopiss, karya Miko Santoso, bercerita tentang perjalanan hidup 3 wanita dari latar belakang yang berbeda. Qiana, Gili, dan Onne. Ketiganya bertemu dan tinggal bersama di rumah milik Qiana.

Qiana Sitta adalah gadis asal dari Jakarta dan hanya memiliki kakak bernama Mbak Aya. Sepeninggal ayahnya, ia diserahi rumah di Bintaro Jaya. Tak mau jadi beban kakaknya, akhirnya ia mengatasi hidupnya sendiri dengan menyewakan sebagian rumah tersebut untuk kost-kostan. Dari sanalah, ia bertemu Gili dan Onne. Di balik penampilannya yang tomboy, Qiana sebetulnya mengalami ketidakpercayaan diri, terlebih di hadapan Zydna, teman masa kecil yang disukainya. Sebelum itu Zydna lebih menyukai Mbak Aya. Karena Mbak Aya menolak karena ingin menikah dengan pria lain, Zydna tampak mendekati Qiana. Namun belum sempat mengutarakan perasaan, Zydna keburu menikah dengan seorang janda karena permintaan ibunya. Hal itu membuat Qiana patah hati dan sulit move on.

Gili Virani, adalah gadis rajin beretnis Sunda. Ia bersekolah di STAN, yang tidak jauh dari tempat kostnya. Karena suatu masalah, akhirnya ia di-DO. Namun cita-citanya yang sesungguhnya memang bukan di sana. Dengan segala obsesinya tentang kopi dan bermimpi untuk sukses menjadi barista. Ia juga bekerja di sebuah kafe bernama Kafe Liwa yang memberikannya banyak pengalaman mengenai kafe dan kopi. Namun hidup rupanya tidak berjalan mulus. Ia jatuh cinta dengan Shilo, seorang duda keren pemilik kafe tersebut di tengah proses perceraiannya. Sialnya, pascaperceraian Shilo, Kafe Liwa justru jatuh ke tangan mantan istrinya. Gili bimbang karena dengan begitu berarti masa depan mereka pun buram. Tidak hanya itu, orang tua Gili pun tidak setuju karena mereka berbeda keyakinan.

Sementara Onne Narindra, gadis asal Malang-Jatim yang mengejar impian menjadi penulis. Ia datang dari keluarga yang kurang harmonis. Ibunya sudah lama meninggal, ayahnya tidak care, sedangkan kakak-kakaknya egois. Terbukti ketika mereka menyabotase hak warisan Onne demi kepentingan pribadi setelah ayah mereka meninggal. Onne pun harus memikirkan hidupnya sendiri secara mandiri dengan bekerja sebagai PNS di samping harus terus mencari identitas, namun senyatanya ia tak bisa meneruskan ketika suatu hal membuatnya berhenti dari pekerjaannya, dengan imbas pada masalah membayar denda dengan jumlah yang tidak sedikit.

Menghadapi berbagai masalah itu, ketiganya selalu saling ada dan menjadi sahabat karib yang selalu saling menguatkan. Kebersamaan dan perasaan senasib terlihat ketika mengunjungi makam ayah Onne, mereka tersadar, hingga terbesit dalam benak mereka untuk meraih yang paling diinginkan selama masih berkesempatan hidup.

Being happy with enough money is not the way I want to die. There’s more to life.” –Onne, halaman 193

Lalu bagaimana akhir kisah Qiana setelah Hanum, istri Zydna, malah menawarinya menjadi istri kedua? Ending cerita Gili setelah di-DO dan ceritanya dengan Shilo, juga akhir kisah Onne yang harus memikirkan bagaimana caranya mengembalikan kondisi keuangannya setelah membayar denda pasca dikeluarkan dari lembaga pemerintahan? Setiap kesulitan memang selalu dilengkapi jalan keluar. Roda Kopiss pun dikendalikan oleh mereka, Gili dalam hal meracik kopi, Qiana yang gigih, juga Onne yang tak menyerah, dan juga Syam, adik Zydna yang rela membantu mereka dari nol, serta Sherafina, barista berbakat yang semula saingan Gili di hadapan Shilo, mau berusaha menyelamatkan bisnis Kafe Kopiss.

Kopiss sendiri adalah nama sebuah kafe milik ketiga gadis tersebut, yang ada karena dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi sekaligus mimpi-mimpi ketiga gadis itu yang ingin diraih. Ketiganya berkolaborasi mendirikan dan mempertahankan Kopiss yang sering mengalami kembang kempis. Namun bagi mereka mengenal kopi seperti mengenal hidup. Ada pahit, manis, asam, hambar, dan kadang penuh kejutan. Juga hal-hal yang tidak bisa dinominalkan dengan rupiah.

Novel ini menggunakan sudut pandang Qiana, meski demikian ia tidak menjadi satu-satunya tokoh utama. Sisi menarik dari novel ini menurut saya penggambaran keseharian tiga wanita dengan cara sederhana, menggunakan bahasa yang ringan, kadang menggunakan perumpamaan, dan diselipi humor. Begitu juga dengan cover buku yang juga dibuat simpel dari bentuk dan warnanya tapi tetap menarik. Novel ini dari awal seperti bercerita tentang kehidupan sehari-hari dengan alur campuran tidak terkesan datar. Kopiss menceritakan dengan apik mengenai awal berdirinya kafe dan jatuh bangun sebuah kafe, tentang proses menjalankan bisnis kafe, juga tentang kopi itu sendiri yang ternyata punya karakter masing-masing sehingga membutuhkan cara pengolahan dan peracikan yang beragam pula. Penjelasan tentang kopi dalam novel Kopiss cukup lengkap yang tentunya telah melewati masa riset.

Karakter tokoh-tokohnya digambarkan dengan cukup baik, dengan 3 wanita memiliki kekhasan sendiri-sendiri, hanya sedikit kurang wanita:D, dilihat dari obrolan, candaan, dan interaksi dengan perempuan lain yang terkesan agak maskulin. Tapi tak mengapa, karena barangkali penulis sengaja menggambarkan karakter perempuan tangguh dan sedikit tomboy, meski ada beberapa yang kurang sesuai dalam hal penggambaran emosi, misalnya seperti ketika Gili menceritakan temannya yang meninggal karena dicampur nuansa humor yang sepertinya kurang pas untuk menggambarkan kesedihan Gili.

Namun, ada beberapa kekurangan dalam novel ini yang masih bisa disempurnakan lagi. Misalnya pada margin yang sepertinya kurang rapi dan terlalu mepet ke pinggir. Juga beberapa typo dan kesalahan eja. Meski demikian, tak mengapa karena memang tidak ada karya yang sempurna dan kesalahan yang sedikit itu tak terlalu mempengaruhi jalan cerita. Terlebih penjabaran setting tempat yang diceritakan oleh penulis cukup baik. Meski di awal-awal tampak seperti monoton namun endingnya menarik dan membuat pembaca bebas mengimajikan sendiri akhir kisah Qiana. Juga quote-quote di dalamnya dapat dijadikan motivasi.

Selamat membaca.

“Hidup itu memang seperti meniti tangga masalah. Setiap pendakian baru berarti masalah baru. Kita tidak bisa benar-benar lepas dari tangga itu.” halaman 243

Resensi Novel Angela

DSCN3952

Judul : Angela, Semoga Waktu Tak Hapuskan Ingatanku Tentangmu
Penulis : Hardy Zhu
Penerbit : deTeens
Tahun Terbit : September 2014
Cetakan : Pertama
Editor : ItaNov_
ISBN: 9786022790594
hlm: 173

 

Seperti judulnya, novel ini bercerita tentang Angela, mahasiswi semester awal di sebuah universitas ternama di Unida. Acara reuni SMP yang ia datanginya bersama Gifty, sahabat kentalnya, mampu mengubah hidupnya. Ia bertemu dengan Sandy di acara tersebut. Yang membuatnya terkejut adalah penampilan Sandy sekarang yang sudah berbeda dari ketika masih SMP. Bila dulu ia tipis dan hitam seperti tripleks (halaman 19) :D, kini menjelma jadi cowok tampan yang membuat para cewek meliriknya. Terlebih ia telah sukses dengan bisnisnya.  Sandy begitu baik dan perhatian, bahkan sejak masih sama-sama di bangku SMP sikapnya tak berubah, alias selalu “tersedia” untuk Angela. Apalagi Gifty, salah satu orang yang tahu bahwa Sandy menyukainya, selalu mendukung mereka supaya jadian.

Di sisi lain, Angela malah sedang terpesona akut dengan penulis teenlit favoritnya, Azka. Berawal dari tak sengaja ia mengambil novel tersebut dari rak buku karena buru-buru ke kampus, tahunya ia jadi ngefans. Berkali-kali ia mencoba berinteraksi dan menarik perhatian si penulis dengan mention-mentionan di Twitter. Tentu saja berkah baginya ketika berhasil bertemu dengan si penulis, bahkan sempat diminta untuk menemaninya riset novel berikutnya ketika si penulis datang ke kotanya. Namun sial karena Sandy selalu punya alasan untuk menggagalkan pertemuan mereka. Baik dengan cara paling sederhana sampai paling ekstreem. Namun pada akhirnya terungkap alasan mengapa semua hal ini terjadi.

Belum sempat novel ini didaftarkan di currently-reading atau to read di akun Goodreads saya, ia sudah selesai terbaca karena saking asyiknya menikmati jalan cerita aja. Saya memang bukan penggemar teelit selama 8 tahunan ini. Tepatnya sejak tahu semakin lama teenlit, terutama yang bernuansa romansemakin tidak jelas bentuk dan arahnya, telebih setelah kecampuran film sinteron dan film televisi dengan persoalan yang cenderung kurang dekat dengan remaja bahkan jarang mengandung bobot untuk dibaca semua kalangan dan menghibur meski tetap santun. Tapi sekian lama saya menghindari jenis teenlit, kecuali demi pekerjaan, saya kok merasa seperti menemukan teenlit yang kembali menemukan celah seperti semula ketika membaca novel Angela ini. Memang idenya sederhana dan bukan tidak pernah diangkat. Hanya saja unsur meremaja, kepolosan, kelucuan, diksi, kelogisan cerita hingga gaya bahasa dan alur yang lincah terbaca dari novel ini, yang membuatnya berbeda dengan teenlit era kini. Terlebih banyak teenlit yang isinya seperti mengampanyekan kehidupan hedonis yang justru mengkhawatirkan ketimbang menginspirasi. Tapi denger-denger kondisi itu tak berlangsung lama dengan maraknya renovasi teenlit, yang menghadirkan kisah remaja yang tidak klise dan pesan moral yang baik dari sana serta sudah digarap lebih serius, sehingga bila ke toko buku untuk membelinya, kita mesti selektif menemukan jenis yang ‘serius’ itu.

Teenlit memang tidak melulu mengeksplore gaya hidup remaja yang sarat pacaran dan hura-hura. Justru bila dikemas dengan tepat, teenleit sebagai jembatan mereka, khususnya remaja, yang tidak suka baca menuju terbuka dengan bacaan.

Seperti pada konsep novel Angela, yang meskipun tema adalah cinta dan persahabatan. Pembaca akan menemukan sendiri bagaimana kedua hal itu hadir dengan caranya sendiri di kehidupan remaja juga tentang bagaimana menyesaikan konflik-konflik ala remaja. Sejak saya membaca serial Lupus, Olga, Princes Diary, Dialova, More Than Love (yang malah nggak bisa dibilang teenlit meski tokohnya remaja SMA), kemudian fakum selama 8 tahunan, dan mesti baca lagi sejak 2012 untuk berbagai alasan. Meskipun sudah terlalu dewasa untuk membaca teenlit, saya nggak nyesel baca Angela.

Kelebihan lain dari novel ini adalah tidak ada unsur pergaulan bebas di mana ciuman, pelukan, dan sebagainya menjadi kewajaran seperti teenlit kebanyakan. Gaya bahasanya sederhana dan mudah dimengerti, juga menggunakan aku-kamu yang sesuai setting lokasi, sebagai sikap menentang kebiasaan teenlit harus “lo-gue”, yang semestinya lebih cocok dengan pergaulan ala Jakarta-Betawi. Novel ini juga lebih banyak menggambarkan hubungan persahabatan, kegelisahan ala remaja ketika masuk pada level ngefans terhadap sesuatu, juga tentang pekerjaan partime beserta segala persoalan yang dekat dengan remaja.

Settingnya dijabarkan cukup baik, dengan gambaran suasana dan juga detail melalui sudut pandang Angel terhadap hal-hal yang dihadapnya.

Kekurangannya? Tentu ada. Namun hanya sedikti saja, misal tokoh Angel sebagai sentral lengkap dengan ciri khas fisik, cara berpikir, hingga kesukannya, membuat jalan ceritanya hanya tentang sisi Angela. Sehingga tokoh-tokoh lain seperti Gifty agak terpinggir, Sandy, dan juga Azka (si penulis) kurang tereksplore. Selain itu endingnya juga terlalu cepat juga agak bisa ditebak ^^, mestinya novel ini dapat digarap lebih baik lagi tanpa dibatasi jumlah halamannya. Tapi tak mengapa, menurut saya Angela sudah tampil dengan oke. Juga cover yang cukup mudah menarik perhatian dengan warna pink tua serta memiliki ukuran font yang nyaman dibaca. Tapi sepertinya mesti hati-hati dengan bagian buku yang dijilid, sebab dua lembar terakhir buku ini tiba-tiba lepas, hehe. Tapi tenang saja, sudah saya lem lagi:p

Teenlit yang memang disajikan sebagai cermin kehidupan perkotaan ini memang tentang remaja, tapi bisa dibaca kalangan dewasa muda kok. Untuk para remaja, ini recommended deh;)

Perempuan di tengah Perang: Silent Honor, Putri dari Timur

DSCN3911

Judul: Silent Honor, Putri dari Timur
Penulis: Danielle Steel
Genre: Romance, Historical Fiction
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2004  (catakan kedua)
Jumlah halaman: 333

Shikata ga nai, yang terjadi terjadilah–168

Sudah kali kedua saya baca sejak novel ini dipinjami seorang sahabat tahun 2010 lalu. Pertama hanya saya baca sebagai selingan. Yang kedua ketika benar saya selami, rupanya ada banyak hal menarik di novel ini dan rasanya perlu dibuat review.

Novel ini bercerita tentang dua generasi. Cerita dibuka dengan pertemuan Masao dan Hademi yang dijodohkan seperti tradisi Jepang kuno pada tahun 20-an akhir. Masao berpikiran moderat, sedangkan Hademi seperti halnya wanita Jepang kebanyakan di zaman itu, konservatif, patuh dan santun. Ia bahkan tak berani menatap mata Masao sebelum menikah. Ada begitu banyak perbedaan di antaranya, namun itu tak menghalangi perasaan keduanya yang saling jatuh cinta. Meski sulit bagi Masao mengajarkan kemodernan dan kesetaraan kepada istrinya, namun Hademi tetap menghormati dan mengagumi suaminya. Meski senantiasa menyimak pemikiran Masao, ia tak  terlalu setuju dengan ide-ide itu. Konflik perbedaan itu terlihat seperti ketika Hademi merahasiakan seraya membebat perut hamilnya sampai benar-benar kelihatan pada waktunya. Di samping itu ia juga ingin melahirkan di rumah ditemani ibu dan saudaranya dan berharap melahirkan anak laki-laki, sedangkan Masao bersikeras membawanya ke rumah sakit karena ia begitu takut kehilangan Hademi dan anak mereka. Sebagai pria modern, beberapa tindakan Masao mengejutkan Hademi, seperti membantu pekerjaan domestik, menemaninya melahirkan, dan menginginkan anak perempuan.

Dan ambisi itulah yang membawa kisah mengarah pada Hiroko, tokoh utama dalam novel ini.

Tidak seperti bayangan Masao, Hiroko rupanya tumbuh seperti replika ibunya, bahkan lebih pemalu dan rapuh. Tidak seperti Yuri adik lelakinya yang mirip Masao. Hiroko terdidik dengan cara tradisonal dan selama 7 tahun, Masao dan Hidemi terus bertengkar tentang pendidikan anak-anaknya. Kedua pandangan yang berseberangan itu membuat jarak yang aneh. Sang ayah yang keukeuh, dan pada akhirnya ibunya yang demi tradisi tetap tunduk pada keputusan suami, lalu melepaskan Hiroko pergi. Hiroko pun patuh dan pergi demi menghormati sag ayah yang bahkan sudah menabung untuk mengirimnya ke Amerika, meskipun itu membuatnya merasa tercerabut dari kehidupannya yang sesunguhnya. Ia telah mencintai Jepang seperti bagian jiwanya. Tapi ia juga menghormati ayahnya.

Di sana, ia dititipkan oleh keluarga Tanaka yang masih kerabat. Keluarga Tanaka, yaitu Takeo dan Reiko, besikap baik padanya meski mereka sepenuhnya orang Amerika secara hukum, gaya hidup, dan kejiwaan.  Hiroko menjalani sekolah dan tinggal di asrama. Dari sana, kehidupan Hiroko yang sulit dimulai. Ia tak diterima di lingkungannya. Salah satu teman sekamarnya pun hanya ramah ketika di kamar, dan cuek ketika di luar. Yang satunya lagi bahkan bersikap dingin. Secara keseluruhan, warga ‘Barat’ termasuk Amerika bersikap deskriminatif terhadap bangsa kulit berwarna. Saat itu, bahkan orang Jepang ataupun setiap orang yang berasal dari “Timur” dipandang rendah dan mirip bangsa budak. Tak terkecuali Hiroko yang akhirnya lebih banyak di-bully teman-temannya dan tak diterima di lingkungan mereka. Kehidupan di sana ternyata tidak seperti harapannya. Dan moment di-bully dan tak diterima oleh semua teman sekampusnya itu cukup membuat saya ikut hanyut.

Dalam kesedihan dan keterasingannya itu, ia bertemu dengan Peter Jenkins, salah satu sahabat Takeo yang bekerja di sebuah universitas. Peter adalah orang yang mengagumi kebudayaan Jepang dan juga mencintai Hiroko sejak pertama mengenal. Kepribadian Hiroko yang rapuh membuat Peter ingin selalu mengasihi dan melindunginya. Peter-lah yang akhirnya mampu mengisi kekosonganya. Namun Tidak mudah bagi mereka bersama karena perbedaan-perbedaan itu. Terlebih sikap Hiroko yang amat pemalu, hati-hati, dan taat tradisi. Peter berumur jauh lebih tua dari Hiroko. Barangkali kedewasaan sekaligus kebosanannya terhadap perempuan modern Amerika itulah yang membuatnya ingin menghabiskan usia bersama Hiroko. Percintaan mereka mengalir lembut namun membara. Mereka bahkan sempat menyusun impian bersama dan memiliki banyak anak bila kelak dapat menikah. Namun permasalahan politik harus memisahkan mereka sebelum mimpi itu terwujud.

Tatkala Pearl Herbour diserang Jepang pada tahun 1941, posisi warga Jepang semakin terpojok. Penyerangan itu membuat warga Amerika, temasuk Kalifornia marah. Mereka melampiaskan kemarahan kepada siapa pun yang berwajah Jepang. Termasuk Hiroko yang menjadi sasaran anarkisme siswa di sekolahnya. Situasi semakin sulit. Hingga pada akhirnya masyarakat yang dinilai “Jepang” dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan harus mengungsi dari kamp pengasingan satu ke kamp pengungsian yang lain. Keluarga Tanaka yang setia dengan Amerika merasa ditolak oleh negaranya sendiri. Bersama Hiroko mereka harus menjalani hari-hari berat sebagai “warga musuh”. Hiroko yang baru saja menjalin hubungan dengan Peter pun harus terpisah jarak dan waktu. Sementara Peter justru ditugaskan bergabung dengan militer untuk menyerang Jepang.

Namun dalam kondisi sulit itu, Hiroko mampu menjalani pengasingannya dan bertahan hidup. Ia sempat turut membersihkan kandang kuda yang dijadikan kamp hingga membantu di klinik darurat ketika wabah menyerang, hingga kehilangn orang-orang yang dicintai yang pergi ke medan perang. Lebih buruk lagi, kewarganegaannya yang masih Jepang membuatnya menghadapi introgasi dan intimidasi dari militer. Meski demikian, Hiroko selalu berusaha bertahan hidup dan bahkan tidak segan untuk barakhir asal itu demi kehormatan keluarga dan martabatnya. Namun rupanya kehidupan di kamp memang cukup berat untuk dijalani, terlebih bila harus berdampingan dengan segala kesedihan dan duka.

Namun, apakah Hiroko pada akhirnya dapat bersama lagi dengan keluarganya di Jepang, dan juga Peter?

Novel Danielle Steel yang satu ini kaya dengan detail suasana pada saat Perang Dunia II dan berbagai sejarah yang mengikutinya, seperti kondisi politik dunia, kemanusiaan, dan juga cinta yang saling menguatkan. Bobot yang dilengkapkan dalam novel ini, membuatnya tak sekadar romance biasa. Kelihaian Daniel mendeskripsikan adegan dan peristiwa sering kali bikin saya nahan napas, sedih tiba-tiba, dan sekaligus penasaran karena twist-twist yang ditampilkan cukup mengejutkan. Juga tentang persahabatan yang tiba-tiba lahir karena peperangan. Di mana pun perang memang bisa merusak hubungan antarmanusia yang beragam, namun novel ini menceritakan secara tersirat bahwa di dalam kondisi tergelap pun akan tetap ada celah cahaya yang akan ditemui oleh orang-orang yang tak berputus asa.

Diwarnai dengan ketegangan yang mengalir halus dan manis, novel ini memang memiliki kemampuan untuk menarik pembaca terus mengetahui kelanjutan ceritanya sampai selesai. Hanya sayang porsi endingnya dituturkan lebih singkat ketimbang bab-bab sebelumnya. Namun itu tidak terlalu mempengaruhi bobot cerita.

Buku Danielle Steel pertama yang saya baca bersjudul Now and Forever tahun 2005 lalu, setelah saya baca Silent Honor, Putri dari Timur, saya merasa kelak mesti baca buku-buku Danielle yang lainnya. 🙂

Resensi Novel: Senyum Pertama di Pagi Airin

DSCN3921

Judul: Senyum Pertama di Pagi Airin
Penulis: Okta Rahasti
Penerbit: de TEENS
Tahun terbit: August 2014
Genre: teenlit
ISBN: 9786022960034
Jumlah halaman: 200

Bahagia itu bukan bukan sesuatu yang kita dapat dari orang  lain, tapi bagaimana kita memberikan sesuatu pada orang lain.”–Hime, halaman 119

Cerita dalam novel ini dibuka dengan tokoh Airin yang suka melukis dan bersikap dingin terhadap semua orang di rumahnya. Bila sedang menyendiri, tak seorang pun bisa mengganggunya. Begitupun adiknya. Sikap pendiamnya ini akibat dari trauma terhadap mantannya, Dennis. Di rumah besar itu, ia tinggal dengan adik perempuannya, Hime, dan juga beberapa pembantu. Airin dan Hime adalah dua gadis keturunan warga Jepang yang dititipkan kepada neneknya sejak sang ibu meninggal dunia.

Airin memiliki kebiasaan berjalan sendirian di sekitar jalan raya. Hal itu membuatnya bertemu dengan seorang cowok misterius bernama Reza. Perkenalannya dengan Reza rupanya mampu mengubah sifat dinginnya menjadi lebih hangat.

Sementara Hime pacaran dengan Andra, cowok yang semula ia benci. Kesalahpahaman terjadi sehinga membuat Airin tak mengizinkan mereka pacaran. Hime dan Andra pun menyembunyikan hubungan. Segala cara Hime upayakan agar Andra diterima oleh Airin. Namun banyak hal akhirnya jadi kacau sejak Airin dan Reza bertemu secara tidak sengaja dengan Hime dan Andra di sebuah restoran Jepang.

Kemudian, masuklah di bagian menuju inti konflik. Masa lalu Airin, jawaban dari masa lalu Reza, dan kehidupan mereka selanjutnya ditentukan oleh sebuah peristiwa. Hime termasuk korban luka pengeboman di sebuah mall, dan kemudian Reza pergi begitu lama membawa sebuah rahasia besar yang disimpannya dari Airin. Kemudian 5 tahun berlalu dan jawaban demi jawaban terungkap.

Mampukah Airin tetap berbahagia meski keadaan telah berubah? Dan masihkah Hime tetap bersama Andra?

Novel ini sebetulnya sederhana, dituturkan dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti serta berusaha menghadirkan celah untuk pembaca terus bertanya tentang ending dan tokoh-tokohnya dengan cara yang sangat simpel. Bentuk alurnya yang campuran lumayan tidak bikin jenuh untuk membacanya sampai selesai.

Berbicara mengenai tokoh, Airin, sebagai judul dalam novel ini, merupakan tokoh yang bersikap dingin dan berubah ceria di saat-saat kemudian. Kalau membaca bagian awal, akan tampak sebagai orang sombong dan ketus. Berbeda dengan adiknya, Hime, yang cenderung penyabar dan banyak melakukan aksi di novel ini. Bisa dibilang, Hime sebetulnya lebih cocok menjadi tokoh utama dalam novel ini. Reza adalah cowok misterius yang memiliki masa lalu. Sedangkan Andra adalah siswa sekelas Hime, anak basket, dan sering mengganggu Hime. Secara keseluruhan, karakter-karakter dalam novel tidak terlalu khas, semuanya punya sisi ketus dan lembutnya masing-masing. Kecuali pada nama dan penggunaaan bahasa keseharian aku kamu atau lo-gue yang membedakan mana Andra yang Indonesia, dan mana kedua gadis yang blesteran Jepang. dua per tiga novel awal novel ini masih menceritakan kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya dengan datar. Meski lumayan terdapat adegan “ramai” di bagian sepertiga akhir di novel ini.

Sebetulnya novel ini masih bisa ‘digarap’ lagi. Masalah ide latar belakang tokoh, misalnya, cowok-cowok tampan misterius, kaya, dan pemain basket atau sekolah di luar negeri selalu disandingnya dengan putri-putri cantik yang tinggal di puri (baca:  rumah gedong dengan banyak pelayan) sudah sangat sering ada di novel atau film-film remaja. Akan lebih berbeda bila diperkaya dengan karakter dan latar belakang yang tidak mainstream untuk menghindari kesan datar.

Dan untuk dialognya, saya pernah membaca sebuah nasihat seorang penulis novel (lupa namanya), bahwa dialog yang ideal adalah dialog yang bertukar pikiran. Hanya saja di dalam novel ini lebih banyak saling respons yang cenderung impulsif dan minim tukar pikiran, seperti nada bentak dan reaksi cuek yang banyak ditemukan membuatnya sulit terlihat chemistry antartokohnya. Malah sekilas mirip adegan sinetron yang sarat bully-bully-an. Namun hal ini masih dapat dimaklumi karena persoalan dialog memang penyakit umum para penulis yang mesti ditaklukan.

Nah, akhirnya saya mesti menjelaskan juga kekurangan novel ini yang menurut saya termasuk banyak :p. Informasi mengenai setting dalam novel misalnya, perlu adanya riset dan deskripsi yang lebih memadai, sebab setting lokasi misalnya, hanya disebutkan Jakarta dan Bandung saja tanpa ada ciri khas pendukung, membuatnya masih dapat dipindah di sembrang kota. Miasalnya di halaman 99 hanya disebutkan sebuah taman yang asri, tidak disebutkan nama taman atau deskripsinya.

Di samping itu, memberikan unsur kebetulan boleh-boleh saja, asal masih logis dan dalam porsi yang cukup. Hanya saja di novel ini dapat dibilang ada banyak kebetulan yang kurang logis, seperti pada bagian awal. Barangkali akan sulit diterima ketika di dalam hujan deras, dua orang gadis dari jepang “ilang” nyari alamat neneknya di jakarta, berteduh secara tidak sengaja di bawah atap pagar rumah orang, dan taraa.. rupanya itulah rumah si nenek. Belum lagi kebetulan-kebetulan lain yang cenderung agak dipaksakan.

Saya juga sempat agak bingung dengan bagian kenapa tiba-tiba Dennis yang menembakkan pistol sementara ada banyak polisi di belakangnya. Bukankah di Indonesia bahkan membeli pistol pun mesti mendapatkan izin yang tidak mudah, atau kecuali si pemiliknya polisi? Sementara Dennis tidak dijelaskan sebagai polisi dari awal novel. Dengan sembarangan menembak buron yang sedang tidak berontak apakah malah justru menjadi tersangka percobaan pembunuhan juga ya? 🙂 Namun tidak mengapa karena novel ini memang bergenre fiksi.

Konflik dalam novel ini dihadirkan serba singkat dan terburu. Jujur selain sedikit membingungkan, rangkaian konfliknya tergolong terlalu banyak dan melebar untuk diringkas menjadi 200 halaman. Akan lebih baik bila satu dua konflik saja yang dikembangkan. Beberapa adegan yang penting seperti momen meninggalnya ibu Andra juga diceritakan terlalu ramping. Karater sang ibu juga lebih sebagai pelengkap yang tak terlalu berpengaruh dalam alurnya. Tentunya bila digarap lebih serius lagi akan menjadi lebih menarik. Di samping itu, pertemuan Airin dengan Reza disorot lebih sebentar daripada cerita hubungan Hime dan Andra.

Untuk penampilan buku ini, bagian margin, font dan penataan sudah oke. Covernya juga eye-catching dengan warna oranye dan kuning yang terlihat manis. Selain itu sudah nyaris tidak ada typo di sana.

Memang tidak ada naskah yang sempurna, namun setidaknya ada beberapa quote menarik yang dapat dijadikan inspirasi remaja yang membaca novel ini, salah satunya yang tertera pada blurb:

Hal yang paling menyakitkan adalah bukan saat orang-orang yang kita cintai membenci kita, bahkan pergi untuk selamanya, tapi saat kita membiarkan mereka berada dalam bahaya karena kita.

Novel ini dapat dijadikan bacaan ringan untuk remaja di kala senggang.

Resensi: Le Mannequin (Hatiku Tidak Ada di Paris)

DSCN3645

Judul : Le Mannequin, Hatiku Tidak Ada di Paris
Penulis : Mini GK
Penerbit : Diva Press
Genre : Chick Lit
Tahun Terbit : 2014
Editor : Ratna Mariastuti
ISBN : 978-602-255-588-9
Harga : Rp48.000,-

Hal yang menyedihkan tentang cinta adalah jika kamu telah bertemu seseorang yang berarti buat kamu tapi pada akhirnya kalian tidak dapat bersatu... –318

Tidak seperti bayangan awal saya ketika melihat cover depan. Membaca fragmen pertama novel ini memang seperti berjalan-jalan sebentar di tengah Kota Paris yang romantis dan nyeni, namun melanjutkan membacanya, saya banyak menemukan local wisdom ala Indonesia, berada di Indonesia, dan menyimak orang-orang yang hidup di Indonesia. Sekaligus juga menelusuri suasana ala Gunung Kidul dengan keindahan alamnya.

Le Mannequin (Hatiku Tidak Ada di Paris) bercerita tentang seorang gadis bernama Sekar Purnomo, yang meski lahir dan tinggal di wilayahpedesaan Gunung Kidul, tetapi memiliki mimpi besar menjadi desainer ternama. Terbatasnya ekonomi keluarga, ia tak berkesempatan menempuh pendidikan yang tinggi. Bermodal kepercayaan diri dan cita-cita, ia pun memutuskan hijrah ke Jakarta dan bekerja di perusahaan garmen. Candra Kusuma, satu-satunya sahabatnya, berusaha menahannya. Candra adalah sahabat masa kecilnya. Mereka tumbuh bersama namun memiki impian yang berbeda. Sekar yang ingin mendunia, sedang Candra hanya ingin memajukan desanya. Namun, keduanya selalu saling ada. Kebersamaan hinga dewasa mampu menumbuhkan benih cinta di hati Candra yang akhirnya ia simpan dalam-dalam. Mau tak mau, ia pun merelakannya pergi jauh ke Jakarta untuk waktu yang lama. Meski berat pula bagi Sekar meninggalkan orang tua dan sahabat yang selalu memberinya nasihat dan dukungan itu.

Sekar datang ke Jakarta dengan tanpa pengetahuan apa pun tentang kota tersebut. Lukman, pria yang tak sengaja ditemuinya di kereta inilah yang kelak membantu segala keperluan dan akhirnya menjadi kekasihnya. Tahun-tahun berlalu, membawa Sekar menemukan kesempatan di bidang yang dia impikan, menjadi desainer di butik Pavo milik Madame Diamanta. Ia bermetamorfosa menjadi gadis yang berpenampilan menawan dan memiiki karier yang gemilang. Daya kreatif dan kerja kerasnya sedikit banyak berpengaruh pada kemajuan butik. Sementara hubungnnya dengan Lukman yang sudah hampir 2 tahun belum menemukan titik jawaban. Malah cobaan demi cobaan mendera dengan hadirnya Sabinta dan isu perjodohan yang digadang-gadang orang tua Lukman. Membuat saya ikut gemas.

Di sisi lain, ia pun bertemu dengan Yasak, anak sulung Diamanta yang jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Namun pertemuannya barangkali kurang tepat sebab Sekar tengah diliputi kegalauan. Meski demikian, Yasak selalu ada untuknya, terutama ketika melewati berbagai kesulitan termasuk menghadapi teror Gita, salah satu karyawan Pavo yang menyimpan dengki kepadanya. Gita ini menurut saya mirip tokoh antagonis sinteron.

Cobaan Sekar tak berhenti sampai di sana. Hubungannya dengan Lukman kandas lantaran pria tersebut memilih menikahi Sabinta. Mimpinya terancam retak dengan kabar itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk resign dan pulang kampung. Tentu saja Yasak dan Diamanta tidak sependapat, terlebih mereka memahami mimpi besar Sekar yang tinggal selangkah lagi. Hingga akhirnya, Sekar mengambil cuti untuk memikirkan kembali keputusannya sambil pulang ke Gunung Kidul. Kembali ke kampung halaman mampu mengobati luka hatinya, meski bayangan Lukman masih ada di benaknya. Pertemuan kembali dengan sahabat masa kecilnya dan tawaran Diamanta mengikuti fashion week di Perancis cukup mengembalikan kebahagiaannya. Terlebih pada saat yang sama ia pun tahu alasan Candra selama ini menunggunya.

Namun meski cita-cita sudah di depan mata dan kondisi mengikatnya pada jalan yang harus ditempuh, ia tetap harus menentukan dengan siapa ia akan menyandarkan hatinya. Kakak beradik Yasak dan Demian yang romantis dan sama-sama mencintainya, Candra yang telah mengenalnya sejak kecil, atau Lukman yang kembali mencarinya karena menyesali keputusannya menikahi Sabinta?

Nggak kebayang ribetnya kan, sebab satu aja repot, apalagi 4, :))).

Novel ini memiliki alur mau dan mundur. Akhir dari kisah ini mengalir manis dan menyajikan ending yang cukup mendebarkan. Seperti kata Pak Ahmad Tohari dalam endorsement-nya, bahwa karya Mini GK ini memang mengesankan. Tentunya Mini GK telah berpengalaman menulis kisah romance setelah sebelumnya menerbitkan dua novel berjudul Abnormal dan Stand by Me.

Novel Le Mannequin (Hatiku Tidak Ada di Paris) disajikan dengan tema cinta dan perjuangan hidup yang mengalir dengan ringan. Adapun deskripsi latar yang detail, diksi yang enak dibaca, nilai-nilai kesederhanaan, juga pesan moral dan mitos-mitos yang bertabaran menjadi kelebihan novel ini. Cara Mbak Mini GK menceritakan keindahan alam Guning Kidul tak kalah menarik. Tak lupa ia memadukan nilai-nilai keluhuran asli Indonesia, ibarat long dress bergaya modern dengan sentuhan batik.

Kesukaan Sekar terhadap sepasang boneka mannequin yang disebutkan beberapa kali di dalam novel membuatnya tidak lepas dari judul yang dipilih. Mbak Mini tak kehilangan ketahanannya memperkenalkan hal yang baru namun beridentitas dalam karyanya yang satu ini. Tidak hanya itu, novel ini pun dilengkapi dengan cerita dongeng Sam Pek Eng Tay. Boleh jadi novel ini memiliki napas yang berbeda meskipun dari segi cerita sebetulnya umum. Kisah gadis desa yang berjuang ke kota, ditinggal nikah sama pacar, dan kebimbangan di antara banyak pilihan adalah tema yang klise.

Tentu saja tidak ada karya yang sempurna. Masih banyak hal yang sepertinya dapat diperbaiki dalam novel ini.

Misalnya, pada bagian pertemuan dengan Demian di pembukaan novel terkesan agak instan. Kalau saya jadi Sekar,
barangkali butuh pertemanan tahun kedua untuk mau difoto menggunakan kamera pribadinya, hehe. Di samping itu, banyak hal yang kerap dihadirkan Mbak Mini GK dalam novel ini tentang kebetulan-kebetulan yang kurang masuk akal. Jakarta, Bandung, dan Paris seolah dihadirkan sebagai kota kecil di mana kita akan sering ketemu tetangga kita yang itu-itu aja. Lalu bagaimana proses pekerjaan mendesain itu sendiri? Bagaimana proses berperasaan terhadap seseorang? Saya belum begitu menangkap feel-nya selain rata-rata disebabkan oleh kekaguman secara fisik. Tapi tidak mengapa.

Karakter Sekar sendiri digambarkan sebagai gadis desa yang polos tapi bersemangat. Kenekatananya meraih cita-cita membawanya pada serangkaian kesuksesan dan keberuntungan. Secara fisik, ia ditampilkan sangat mempesona. Kecantikan ini membuat setiap pria tampan langsung “memuja”. Sekar digambarkan sebagai gadis sukses namun tidak terlalu banyak memiliki wawasan mengenai kehidupan dan cenderung nerimo (pasrah). Metamorfosis karakternya ditopang oleh orang-orang di sekitarnya. Namun penggambarannya pas sebab di dalam novel, Sekar pun bukan orang yang suka membaca, melainkan sibuk di wilayah pekerjaan dan mengejar mimpi di bidang fashion. Kehadiran tokoh Candra yang digambarkan sebagai pria penyabar dan kutu buku hadir sebagai peyeimbang dan pengisi. Sebagai sahabat masa kecil yang cukup berpangaruh dalam hidup Sekar.

Sebagai karya yang merepresentasikan genre chick lit, novel ini tampaknya sengaja dihadirkan bertema cinta dengan segala aspeknya yang sempurna. Hampir semua tokoh wanita dan prianya ganteng, cantik, berkulit cerah, tinggi, dan tajir. Konsekuaensi dari itu, tokoh sampingannya kurang memiliki bangunan karakter yang kuat. Pada dasarnya kan manusia itu terdiri dari kelebihan dan kekurangan. Namun, karakter para pria yang cukup penting dalam novel ini nyaris tidak dideskripsikan secara realistis. Barangkali akan lebih natural bila, misalnya nih: pria cerdas berwajah oriental berambut kaku, jarang mandi, punya kebiasaan gigit kuku kalau gugup, atau pobhia gerobak misalnya. Untungnya tokoh Candra yang seorang guru dan tak ingin hijrah dari desa digambarkan lumayan detail sekalipun tidak jauh dari jenis ‘sempurna’. Barangkali akan lebih menggambarkan penduduk Gunung Kidul kalau tokoh Candra berkulit sawo matang dan tidak terlalu tinggi.

Segi tampilan, seperti ukuran font dan margin sudah pas. Hanya beberapa saja kesalahan eja dan diksi tapi tidak terlalu berpengaruh.
Overall, novel ini memberikan kesan manis dan menarik. Apalagi banyak quote yang dapat dijadikan pelajaran hidup, salah satunya seperti berikut.

Adalah kado termahal yang pernah ada, yaitu kesempatan–189

Selamat berburu novel dan selamat membaca 🙂

Resensi Novel: Maya and the Darkness Surrounding

novel Maya, and the Darkness Surrounding

Judul                        : Maya and the Darkness Surrounding
Penulis                     : Arikho Ginshu
Penerbit                   : PING!!!!
Tahun terbit           : Agustus 2014
Genre                       : Fiksi
ISBN                         : 139786022556190
Jumlah halaman    : 296
Harga                        : Rp42.000,-

 

“Untukku, perkara tersulit dalam mencintai bukanlah belajar mengakhiri, sebab aku bahkan belum memulainya. Namun yang paling rumit adalah memilah hati, sebab cintaku tumbuh di antara dua hal yang sama pentingnya. Kekasih dan sahabat mungkin dua hal yang berbeda, namun sering berada dalam timbangan yang rasa yang nyaris sama.” (halaman 274)

 

Maya, and the Darkness Surrounding bercerita tentang 4 sahabat yang tengah hiking ke Gunung Kerinci sebagai perjalanan kesekian menjelajah alam. Tondi, Binar Saga, Damar, dan Rimba. Namun terjadi sesuatu di tengah perjalanan. Tatkala berhenti untuk berkemah, salah satu dari mereka dan satu-satunya wanita, tidak dapat terbangun dari tidurnya. Mereka bertiga merasa terpukul dan perjalanana pun dihentikan. Mereka membawa Binar ke puskesmas terdekat namun hasilnya nihil. Tidak ditemukan penyebab medis yang membuat Binar saga tak sadarkan diri. Atas saran seorang bidan yang memeriksanya, Binar dibawa ke seorang paranormal yang terkenal di desa tersebut. Ki Rangkat, nama orang pintar tersebut, menjelaskan bahwa Binar berada di dimensi astral. Sang paranormal menjelaskan bahwa Tondi-lah yang bisa menjemputnya pulang. Demi kesetiakawanan dan perasaan yang diam-diam disimpannya, perjalanan astral yang nyaris tidak mungkin itu pun dilakukan.

Di sisi lain, terjadi krisis besar di zaman peradaban suku Maya, tepat Amorza tinggal. Bersamaan dengan munculnya Binar Saga ke dunia mereka. Amorza, yang bertanggung jawab memanggil Binar saga secara tak sengaja ke dunia mereka, menjemput Tondi menyeberangi dunia perantara untuk membantu menyelamatkan Binar Saga yang tersesat di sana.

Di Dimensi Maya, Binar saga yang menjelajahnya lebih dulu menemukan nasib yang tak terduga yang membuatnya tak bisa pulang kembali ke kehidupan nyata. Dalam dimensi yang lain itu, Tondi sadar masih tetap saja mencintai Binar meski sulit menggapainya. Hanya saja, Binar yang di hadapan bangsa Maya, tidak seperti Binar Saga yang sesungguhnya. Tentu saja sebagai orang yang mencintainya, Tondi mencari segala cara untuk menjemputnya, bahkan rela mempertaruhkan nyawanya.

Lalu, apakah Tondi berhasil membawa si gadis pulang? Dan bagaimana kisah persahabatan mereka pada akhirnya?

Selain di Sumatra dan Yogyakarta, setting novel ini juga di peradaban bangsa Maya. Dan novel bertema kasih sayang, cinta, dan persahabatan ini sebenarnya terpecah menjadi dua fokus yang menyatu dan berhubungan. Dipaparkan pua dengan dua sudut pandang, yaitu sudut pandang Tondi di masa kini dan Amorza di masa lalu, sebagai penduduk bangsa Maya. Hanya saja bagian Tondi mendapat porsi lebih banyak. Terlebih buku ini diawali dan diakhiri dari kisah Tondi. Lepas dari itu, keduanya memiliki bangunan cerita yang utuh. Amorza dan Arzoda, sepasang kembar yang ditakdrkan menjadi orang yang disucikan oleh rakyat di peradaban suku Maya. Amorza memiliki bakat menyeberang ke dunia astral. Sama halnya dengan Tondi.

Bagian pertama diawali dari tengah, di mana Tondi berproses masuk ke penghubung dan bertemu Amorza. Dituturkan dengan deskripsi cerita yang membuat saya ingin mengetahui mengikuti cerita selanjtunya. Kemudian bagian kedua yang bertutur mengenai kisah pertemuan mereka berempat hingga persahabatan terjalin dari sudut pandang Tondi. Hingga datang peristiwa yang menimpa Binar saga di lereng Kerinci. Kemudian kisah berlanjut dri sisi Amorza, penghuni peradaban Maya dari masa lalu yang tengah kehilangan saudara kembarnya, Arzoda. Di bagian ini, Amorza menceritakan bahwa ia masih terhubung dengan roh Arzoda dan dapat menyeberang ke dunia astral. Kemudian cerita pun beranjak ke penyelesaian dengan alur maju dan runut.

Novel Maya, and the Darkness Surrounding merupakan proyek Divapress yang mengusung tema astral projector yang korelasikan dengan peradaban-peradaban dunia di masa lalu. Dalam novel ini Arikho memilih peradaban bangsa Maya sebagai latar dimensi lain. Mendengar bangsa Maya, yang terbayang dalam benak kita barangkali sebuah peradaban yang canggih dan ramalannya kalender matahari yang termasyur itu. Namun dalam novel ini, Maya lebih banyak digambarkan sebagai tempat di mana sekelompok penduduknya rata-rata bar-bar dan memiliki seorang raja yang haus darah. Manusia dengan senang hati melihat manusia lain dikorbankan dengan sadis sebagai bentuk pengorbanan memuja bulan. Sedikit banyak membuat saya ingat film “Pompaii” di mana pembantaian manusia dijadikan hiburan rakyat.

Namun, membaca kisah si kembar Amorza dan Arzoda membuat saya tersentuh. Terlebih ketika mengetahui mereka yatim piatu dan mau tak mau menjalani takdirnya sebagai orang yang disucikan dalam kepercayaan suku Maya. Sebagai penduduk bangsa Maya, mereka termasuk yang merasa nuraninya tersakiti ketika melihat manusia dikorbankan beramai-ramai.  Tatkala Arzoda pun meninggal, saya seperti diajak menyimak kisah kesendirian seorang anak di tengah takdirnya yang sulit. Secara subjektif, cerita kedua kembar tersebut lebih mendalam ketimbang cerita cinta Tondi kepada Binar Saga itu sendiri. Namun barangkali kisah Amorza memang sengaja diposisikan oleh penulis sebagai poin pendukung keseluruhan cerita.

***

Adapun kelebihan novel ini terletak pada deskripsi setting yang rinci dan detail, porsi yang pas antara narasi dan dialog, serta penggarapan alur yang terlihat berhati-hati. Kesalahan ketatabahasaan dan teknis pun tidak banyak ditemukan dan tidak terlalu mempengaruhi jalan cerita. Membaca kisah perjalanan di novel ini seperti ikut menikmati keindahan alam. Diksi yang disajikan pun menarik dan mudah dipahami, saya rasa penulis sudah cukup mampu menyajikan bab demi bab sebagai satu kesatuan cerita yang utuh. Didukung oleh keterhubungan yang berkorelasi antarbab. Meskipun alurnya bercampuran, tetap dapat diikuti hingga selesai.

Dalam hal penokohan, Tondi sebagai tokoh utama dideskripsikan karakter dewasa, pengayom, dan tulus. Meskipun ada sisi Tondi yang tak berani menghadapi masalah, terlebih ketika dihadapkan dengan kerumitan suasana di tengah hubungan persahabatan itu. Binar saga tidak begitu banyak diceritakan, selain bahwa ia satu-satunya wanita yang paling disayangi di antara 3 pecinta alam tersebut karena mampu mencairkan suasana. Damar, orang yang disukai Binar dipaparkan sebagai tokoh sampingan yang tidak begitu banyak berpengaruh dalam cerita. Begitu juga dengan Rimba, selain bahwa ia paling akrab dengan Binar sebagai sahabat. Kemudian tokoh Arzoda dan Amorza, keduanya hidup di peradaban Maya, memiliki interaksi psikologis yang cukup kuat. Dapat dikatakan, karakter Tondi dan Amorza-lah yang memiliki bangunan karakter lebih kuat daripada yang lain. Meski sepertinya ini novel pertama yang diterbitkan Arikho, tapi saya menduga si penulis sudah berpengalaman menulis sebelumnya.

***

Secara kesuluruhan, penampilan novel ini sudah lumayan. Hanya saja ada beberapa poin dalam novel ini yang sepertinya perlu disempurnakan lagi.

Untuk cover, sebetulnya konsep bangunan kuil dengan seorang gadis berkupluk merah sudah menggambarkn isi novel, hanya saja kurang sesuai lantaran tokoh utama dalam novel ini justru bukan Binar Saga. Terlebih gambar tokoh wanita di sana agak terlalu besar dan kurang seimbang dengan gambar di belakangnya. Melihat covernya, saya sempat mengira bahwa tokoh utamanya si gadis bertopi merah ini. Selain itu, saya juga menemukan beberapa missing link, pertama, masa lalu Tondi tentang neneknya: mengapa Tondi sebagai penyebab neneknya tidak juga meninggal? Kedua, secara umum, dunia astral tidak dapat diterima begitu saja sehingga oleh logika manusia biasa sehingga mestinya ada bagian khusus untuk menceritakan hal tersebut sehingga dapat diterima tokoh-tokohnya. Atau barangkali ini hanya keterbatasan pengetahuan saya mengenai perihal astral kecuali yang pernah ditampilkan di film Insidious yang pernah saya tonton. Namun, saya pikir proses deskripsi astral perlu disempurnakan lagi. Ketiga, ada ketidaksamaan konsep. Di dalam novel ini saya menangkap inkonsistensi, seperti mengapa roh Tondi dan Binar dapat terlihat di masa lalu, sedangkan Amorza tidak terlihat di dimensi sekarang? Malah prolog dalam cerita tersebut menempatkannya seperti makhluk asral sementara di masa bangsa Maya, Amorza belum meninggal.

Beberapa point dari novel ini juga terkesan datar dan agak berbelit. Tadinya saya kira bakal menemukan adegan duel bebas ala film “Gladiator” ketika masuk pada inti konflik, hehe. Tapi tak mengapa, dalam hal menulis fiksi, penulis bebas berimajinasi.

Bagaimana pun, pesan tersembunyi yang sengaja dipaparkan penulis cukup tersampaikan, apakah cinta memang dapat menembus ruang dan waktu?

 

“Cinta mungkin tidak akan pernah mati, namun cinta bisa saja berubah, Tondi. Melihatnya orang yang kau cintai bahagia jauh lebih penting daripada kau harus mengekangnya dalam cinta yang mungkin tak lagi sama untuk kalian berdua.” (halaman  294)

 

Nah, untuk pembaca muda dan remaja yang kelak menemukan buku ini, selamat membaca dan selamat menelusuri dimensi Maya.