Judul: Dunia Alice
Penulis: Alice Pung
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2011
Jumlah Halaman: viii + 310 halaman
ISBN: 978-602-8811-26-2
“Waaaahhh …,” nenek menyeletuk takjub saat melihat mobil berhenti dan menaikkan seorang penumpang.
Celetukan semacam itu sangat kerap terlontar dari mulut Alice dan keluarganya. Sebagai pendatang baru, kehidupan di Australia penuh dengan kejutan. Mobil bertebaran di mana-mana, dan mereka tak menolak berhenti hanya untuk seorang nenek tua! Di Kamboja, asal mereka, hal semacam itu jelas tidak mungkin.
Kejutan yang luar biasa mereka temukan justru di supermarket. Di rak, berderet daging kaleng dijual dengan harga sangat murah. Merasa girang, mereka membelinya beberapa.
Hari itu makan malam mereka istimewa, hingga televisi memperlihatkan sebuah iklan daging kalengan. Astaga! Ternyata daging yang mereka beli adalah makanan anjing.
Dunia Alice menuturkan kehidupan sebuah keluarga imigran Kamboja di negeri baru, Australia. Kocak dan menggelitik, novel ini benar-benar menghibur sampai ke sumsum tulang belakang Anda.
Saya selalu percaya setiap manusia memiliki dunia yang menarik untuk diceritakan bila saja mereka bisa berbagi dalam sebuah buku. Seperti halnya Alice Pung yang kali ini berbagai melalui novelnya yang berjudul Unpoliced Gem, yang setelah diterjemahkan versi Indonesia berjudul Dunia Alice. Buku yang tak sengaja dipinjam adik saya dari Perpustakaan Daerah ini rupanya menarik sekali.
Kebetulan saya juga senang membaca sejenis buku autobiografi atau semacam buku harian. Dunia Alice bercerita tentang kisah dirinya dan keluarga yang bermigrasi dari Kamboja pada masa konflik era Pol Pot. Alice baru lahir setelah keluarganya pindah. Ia tumbuh besar di negeri baru tersebut.
Dunia yang ia simak dan alami sejak kecil hingga memasuki masa dewasa adalah dunia yang cukup berwarna. Lewat kehidupan sehari-hari yang dialaminya, Alice kecil bercerita tentang generasi sang nenek yang menyatu dengan tradisi dan kemudian tentang ibunya yang lebih banyak dilatarbelakangi oleh peristiwa konflik. Alice lahir dari etnis Cina dengan keluarga yang selalu berjuang mempertahankan tradisi. Dengan daya kritisnya, ia menggambarkan nuansa culture shock yang dialami keluarganya di tengah kehidupan maju dan bebas seperti di Australia. Ia menuliskan berbagai perbedaan cara hidup keluarganya yang taat adat dan masyarakat negara yang ditempatinya dengan sekilas-sekilas. Dan secara tak langsung pula, Alice seakan membagi sekelumit pandangan seputar pengasuhan orang tua ala Asia, kebiasaan masyarakat, opininya mengenai negara yang ditinggali, beberapa kisah tragis negeri yang ditinggalkan menurut cerita nenek dan ayah meski dengan cara humor, hingga cerita lucu dan romantis ketika jatuh cinta pertama kali dengan seseorang yang berbeda etnis dan asal negara di kemudian hari.
Menurut saya, banyak hal menarik di buku ini yang sayang untuk tidak dibocorkan, beberapa di antaranya adalah:
Pertama,
Alice kecil akrab dengan perseteruan orang-orang dewasa. Di benaknya, orang dewasa adalah manusia-manusia rumit. Seperti iklim umum di keluarga Asia, ibu mertua bahkan jarang sekali dapat sehati dengan menantu perempuan. Alice kecil tentu tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menyampaikan betapa itu tidak menyenangkan, kecuali hanya diam. Baik nenek maupun ibunya tentu dua orang yang sama berharganya. Di samping itu, biasanya figur anak-anak adalah nenek-kakeknya karena mereka cenderung lebih luwes. Demikian juga dengan Alice yang bahkan merasa bahwa semestinya neneknya hidup selamanya untuk dia sebab hanya neneknya yang mengatakan hal-hal baik tentangnya dan membuatkannya telur rebus setiap pagi. Sedangkan orang tuanya, terutama ibu yang telah sibuk bekerja dan mengurus anak-anak, selalu bersikap keras kepadanya dan jarang memiliki waktu untuk sekadar mengobrol.
“Seorang tidak ada yang mengingatkanku untuk bangga menjadi bagian dari kebudayaan yang berumur seribu tahun, tak seorang pun mengatakan bahwa aku ini emas dan bukannya kuning.” (h. 210)
Alice kecil juga merupakan anak-anak biasa yang memiliki bermacam tingkah konyol. Ia pernah punya kutu di rambutnya sehingga dijauhi teman-teman dan sepupunya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah sepupu untuk bermain, namun para sepupu malah bersembunyi dan tak mau menemui Alice. Terbit ide iseng Alice dengan berbaring di karpet sepupunya dan membayangkan kutu-kutu tersebut menyerbu sela-selanya sehingga kelak menulari mereka.
Kedua,
Setelah beranjak remaja (mulai menstruasi), kebanyakan orang tua Asia (tradisi Timur) akan mendoktrin bahwa di luar sana laki-laki adalah penjahat yang sewaktu-waktu dapat memperkosamu di jalan. Bila kamu tidak perawan lagi, maka kamu tidak akan punya suami dan menikah yang layak, atau akan dianggap “benda” yang telah rusak. Seperti halnya orang tua Alice yang selalu mewanti-wanti dengan tegas untuk waspada dan jangan dekat-dekat dengan laki-laki. Dan itu salah satu cara orang tua khas Timur melindungi dan memberikan pendidikan moral pada anak-anaknya.
Suatu ketika Alice remaja menerima telepon dari teman laki-laki untuk pertama kali. Peristiwa itu membuatnya depresi karena seluruh orang berpikir hal terburuk tentang dia. Akhirnya karena peristiwa ditelepon cowok itulah, ia pun dihukum orang tuanya untuk menghabiskan seluruh waktu liburan di dalam kamar. Ditelepon seorang laki-laki adalah aib dan hal besar bagi remaja putri yang akan membuatnya jadi bulan-bulanan seluruh keluarga dan bahan gunjingan para tetangga. Hal ini agak berkebalikan dengan aturan orang tua ketika Alice beranjak dewasa, karena justru ia diharuskan membuka diri untuk mencari calon suami yang tepat.
Yang kauinginkan di usia lima belas tahun adalah memiliki pacar, dan bukan memilih calon ayah anak-anakmu di masa depan. Yang diinginkan pemuda berusia lima belas tahun adalah diterima cintanya oleh si gadis, dan mungkin lebih kalau ia beruntung–bukan memilih calon menantu untuk ibunya. (h. 110)
Alice memang tumbuh jadi remaja yang penakut tatkala dewasa, ragu, tak percaya diri, namun ada sisi kepribadian kuat di dalamnya yang membuatnya mampu bertahan di dalam setiap masalah. Alice Pung seakan menunjukkan bahwa didikan keras ala masyarakat Timur tidak selalu buruk. Ia berhasil menunjukkan dirinya sebagai orang yang memiliki sifat tangguh justru karena didikan itu.
Ketiga,
Alice hadir dari tradisi bernilai patriakhat di mana anak lelaki lebih berharga daripada anak perempuan, hal itu ditunjukkan dalam kisah masa lalu nenek Alice ketika menikah dengan sang kakek. Dalam tradisi ketimuran yang dipaparkan Alice Pung, tak peduli bila seorang perempuan sukses pendidikan ataupun pekerjaan, jika tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, tak punya penghasilan, dan tak bisa punya anak lelaki maka ia adalah perempuan tak berguna sehingga tak layak dinikahi. Namun kedatangan mereka ke negeri semacam Aussi mengubah sedikit cara berpikir. Di buku ini saya banyak menemukan cerita kocak seputar perjodohan dan pernikahan yang bisa direnungkan sekaligus cukup menghibur.
Ketika dewasa Alice menyadari bahwa semua lelaki tidak sama seperti gambaran orang tuanya ketika remaja, ia menemukan Michael yang mengingatkannya akan karakter santun, romantis, dan sedikit rapuh seperti tokoh-tokoh dalam karya sastra yang sering dibacanya. Pendidikan formal, bahan bacaan, sekaligus lingkungan pergaulan semasa belianya membuat Alice juga begitu sering mengkritisi pria-pria asal budayanya sendiri. Ia tentu menemukan perbedaan mencolok mengenai gambaran lelaki dalam doktrin orang tuanya dengan lelaki dalam buku-buku dan pergaulan di sekolahnya. Tak hanya itu, lewat pengetahuan yang ia simpan dalam sifat introvertnya, ia pun mengkritisi pria model Barat yang baginya bersikap terlalu berlebihan sebagai wujud kesadaran atas keperempuannya yang utuh dan tak terjebak arus. Menunjukkan bahwa ada sisi feminis dalam diri Alice yang menarik untuk dikaji.
Saya juga suka pandangan Alice ketika berbicara perihal kesetaraan gender. Ia selalu mengalami perang batin dan keterasingan yang membuat saya tersenyum geli, merasa pernah di posisi itu. Salah satunya ketika berhadapan dengan kebiasaan wanita Barat mencium teman-teman prianya setiap bertemu. Terutama ketika melihat langsung para wanita berkontak fisik dengan Michael, pacarnya, meski ia bersikap menerima dan tak ingin terlihat mengawasi kekasihnya.
Secara sekilas ia juga mengkritisi sikap Gemma, salah satu teman Michael, yang mewakili para wanita Barat yang mencoba menjadi feminis negara dunia ketiga.
Kalau mereka menghormatimu, mereka akan mengurangi cium-cium, kau tahu, kataku pada diriku sendiri, lagi pula kau pacarnya. (h. 272)
Hal itu menunjukkan karakter Alice yang terbuka dengan hal-hal baru namun tetap menghargai tradisi aslinya sendiri. Ia tipe pendatang dari Timur yang cukup kritis yang tak asal mengikuti cara Barat.
Keempat,
Sejak pindah ke Austarlia, ibunya mengalami culture shock lebih parah daripada anggota keluarga yang lain. Ia pun menyebut masyarakat kaukasoid sebagai hantu putih yang begitu berbeda dunia dengan mereka. Ia juga tak bisa berbahasa Inggris sehingga membuatnya asing di antara orang-orang di sekitarnya, terlebih ketika Alice, Ayah, dan anggota keluarga lain pada akhirnya fasih berbahasa tersebut dan sesekali menggunakananya ketika makan bersama. Membaca Dunia Alice, membuat saya jadi ikut hanyut dalam pergantian suasana yang disuguhkan.
Diceritakan bahwa sang ibu adalah sosok workaholic, ia merasa hidupnya runtuh dan tak berarti setiap kehilangan pekerjaan dan pendapatan, meskipun sebetulanya dengan pekerjaan sang suami yang cukup bagus, ia bisa juga tidak perlu bekerja. Hal itu membuat setiap anggota keluarganya memberikan permakluman yang luas. Dengan kesibukan sang ibu berbisnis atau bekerja di luar rumah itu, Alice pun menggantikan pekerjaan domestik dan mengasuh adik-adiknya. Sosok ibu menurut saya cukup menarik, meskipun memiliki sisi keras dan kaku, ia merepresentasikan perempuan Asia yang gemar bekerja keras dan tak ingin selalu tergantung pada suaminya. Bahkan seolah tak ingin tergantung pada keluarga besarnya. Saya kira, itu salah satu gagasan besar dalam novel ini. Mengingat banyak tokoh perempuan yang lebih banyak dipaparkan dalam novel ini ketimbang tokoh prianya. Sedikit banyak, novel ini yang seperti mengingatkan saya pada ciri khas perempuan feminis.
Secara tidak langsung membaca novel ini membuat saya dapat mengenal akrab, tak hanya seorang Alice, tapi seperti apa kehidupan imigran Kamboja dengan segala keetnisan dan budayanya itu harus tinggal di negeri seperti Melbourne Australia. Dan lebih dari itu, saya menikmati cara berpikir salah satu penulis mudah perempuan ini yang sedikit banyak tidak melepaskan unsur kritik sosial dan tradisi, yang melesat lebih maju daripada nilai-nilai lama ala keluarga asalnya.
Memang tidak mudah bertahan dalam bacaan yang jenis uraiannya panjang-panjang, namun ketika terus membacanya, saya justru banyak menemukan hal-hal yang dapat dipetik, seperti bahwa menjadi warga negara “dunia ketiga” memang cukup menantang. Novel ini dituturkan dalam bahasa yang runut dan meski beberapa kali menemukan hal yang mesti dibaca ulang karena saya tidak terlalu terbiasa membaca kalimat terjemahan yang rumit. Hal lain yang menarik adalah ketika sampai pada bab masa pacaran, Alice Pung menunjukkannya dengan deskripsi dan pembukaan yang tidak langsung sehingga pembaca dapat memahami dengan cara sendiri dan bebas memberikan penilaian.
Dari segala keistimewaan dan isi yang dapat ditemukan di novel ini, tak heran bila Dunia Alice terpilih sebagai Newcomer of The Year Award tahun 2007, kemudian masuk dalam kategori NSW Premier Literary Award dan Booksellers Choice Award.
Rangkaian kisah hidup yang terinspirsai kisah nyata penulis ini rasanya membuat saya beruntung telah membacanya.