sisi hewan

Siamang, engkau tahu? Ia sejenis hewan mirip monyet. Jika sudah memilih pasangan, siamang jantan dan betina akan membangun ikatan yang kuat. Mereka akan saling mengutamakan pasangan mereka. Meski hewan, siamang bukan jenis yang egois.

Ada juga berang-berang. Hewan pengerat semacam berang-berang ini adalah pasangan yang sangat kompak. Mereka akan membuat sarang bersama, membesarkan anak bersama, dan menjadi pasangan yang tidak terpisahkan.

Lalu, kita mengenal srigala sebagai hewan berdarah dingin, tetapi kau tahu, serigala sebenarnya hangat pada pasangan mereka. Meski dikenal sebagai pemburu ganas, serigala sebenarnya adalah hewan yang berkomitmen untuk monogami. Mereka akan membangun keluarga yang berisi pejantan, betina, dan anak-anak mereka, dengan cara yang terbaik.

Mereka semua hewan, sedangkan kita manusia. Tapi di dunia manusia, kita selalu menemukan hal-hal yang jauh lebih fauna daripada fauna itu sendiri.

Dan barangkali kita pun punya banyak sisi hewaniah, hanya isi otak yang membuat kita berbeda sedikit saja dengan mereka.

Tradisi dan Kekejaman (part 2)

Sebuah catatan kecil

Saya istighfar berkali-kali sembari menahan kesal ketika membaca sebuah berita di yahoo.com hari ini dan menyadari bahwa di belahan bumi ini, ada sebuah tradisi–tanpa bermaksud menghakimi tradisi tersebut–yang menyingkirkan para perempuan yang sedang menstruasi dengan cara-cara yang kurang manusiawi. Dan aku hampir menangis ketika melihat foto-fotonya. Rata-rata mereka dibiarkan tinggal di sebuah gubug, melawan udara dingin, dan sendirian. Terlebih sebelum ini, aku sempat menelusuri beberapa sejarah penindasan di kawasan negara-negara di Asia, Amerika, dan juga beberapa yang lainnya, yang tentunya tak kalah memprihatinkan.
–> http://id.berita.yahoo.com/foto/tradisi-chaupadi-di-nepal-1394424201-slideshow/

Barangkali aku geram dan meradang. Ingin tahu lebih banyak, aku pun menelusuri sumber lain. Dan akhirnya kutemukan bahwa kebiasaan tersebut termasuk tradisi lama yang dianut oleh masyarakat yang memang masih primitif serta tidak berpendidikan (hanya masyarakat tertentu saja yang terjamah hal-hal yang keilmuan di sana). Meski masih bingung antara maklum atau kesal, aku pun menyadari sesuatu. Untuk apa menuding tradisi lain, wong budaya sendiri aja bukan budaya yang sempurna.

Yeah, aku sadar, kebudayaan di Jawa (di mana aku lahir) juga mengenal tradisi patriakhat, bahkan tak kalah “primitif”nya, dan masih ada sisa-sisa patriakhat yang melekat di zaman kini. Tentunya segalanya butuh proses yang tidak sebentar apalagi instan. Terlebih bila patriakhat tidak hanya masih didukung kaum pria tetapi juga sebagian wanita.

Aku sempat lupa, bahwa aku hanya akan akan mengumpati dengan rasa sebal, sebuah kebudayaan atau kaum lelaki yang menyingkirkan perempuannya ketika mengalami hal-hal wajar seperti menstruasi seolah makhluk najis yang mesti dijauhi, sementara mereka hidup di lingkungan yang beradab. Aku hanya akan mengutuk mereka yang memposisikan kaum perempuan serendah budak. Seperti hanya sekadar dinilai dari ‘manfaat’ dan bukan harkat dan martabat.

Namun, berbicara sejarah bangsa, konon sama halnya berbicara tentang sejarah kekejaman. Tidak ada sejarah yang tidak luput dari kekejian. Dan kita juga dapat menemukannya di berbagai referensi yang membahas sejarah tradisi kita sendiri. Tidak hanya yang dialami Kartini tetapi juga yang lain. Barangkali ada yang pernah membaca sebuah buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya AT? Kita juga tidak lupa sejarah rezim Orde Baru yang patriakhat merendahkan organisasi Gerwani yang rata-rata terdiri dari perempuan cerdas dan revolusioner, menjatuhkan mereka dengan berderet fitnah dan stigma.

Kembali pada sebuah tradisi di Nepal ini. Sebab kita semua tahu persis bukan, beda manusia beradab dengan yang jahiliyah? Minimal nurani kitalah yang bisa membedakan. Kelompok beradab berada di zaman maju, di mana informasi dan segalanya mudah diakses, komunikasi juga dapat dilakukan dalam berbagai cara, di samping itu, masyarakatnya juga bukan yang terbelakang. Sedangkan yang jahiliyah adalah tentang keterbatasan dan keterbelakangan. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga kelak, wilayah tersebut segera menemukan pencerahan.

Kita toh paham, ada perbedaan besar antara tradisi dan manusia-manusiaanya. Manusia modern yang masih meremehkan para wanitalah yang lebih barbar dan tidak humanis. Bukan mereka ini.

ke(per)damaian

Okay, memang bakal ribet dan butuh waktu lama untuk mengurai suatu kasus menggunakan banyak sisi. Hanya saja, aku bayangkan aku sedang memegang sekotak krayon, warnanya beragam. Kuibaratkan krayon seperti manusia. Kita semua membawa sepaket warna, dan Tuhan terlanjur memasangkan sebuah misi yang berbeda-beda sebagai alasan kita ada di dunia sejak kita masih segumpal janin. Ketika dewasa kita juga tumbuh dengan lingkungan dan “makanan” yang berbeda pula.

Katakanlah di sekitar kita adalah warna-warna yang tidak sama atau sering kali tak lazim. Tapi biarlah, selama itu membentuk konsep lukisan yang indah, mengapa kita mesti khawatirkan detail warna? Mungkin di matamu: lanskap langit terlihat bertabrakan oleh warna hijau, laut akan aneh ditaburi warna hitam keabu-abuan, warna rambut sosok gadis di sana menjadi tak biasa dengan ungu, atau barangkali lukisan batu-batunya menjadi kontras dengan warna orange. Namun bila lukisan itu tak membunuhmu atau membuatmu praktis ingin membunuh pelukisnya, biarlah saja ia menjadi salah satu karya yang diam dan baik-baik saja di salah satu galeri.

Biar saja kita semua hidup dengan keyakinan yang plural, dan manusia toh fitrahnya mencari cahaya, sebab setiap manusia pun membawa bagian gelapnya masing-masing. Tugas kita cuma memperjuangkan dan menjaga ke(per)damaian selama hidup di bumi dengan apa pun caranya.
Urusan benar salah, itu nanti kalau sudah kiamat.

Barangkali, aku pun butuh belajar lagi soal perdamaian dan kedamaian.

(Terinspirasi surah Al-Kafirun)

Yang Kekurangan dan Menginspirasi

Sering kan kita menjumpai kondisi di mana kita berusaha keras menjadi yang si kekasih inginkan. Kita harus seperti ini, membuang baju yang ini, memakai yang seperti ini, harus melepas pekerjaan yang itu, kehilangan teman-teman, harus ngorbanin hari libur, waktu, privasi, impian, hobi, keluarga, usia, dan banyak lagi, tapi kita nggak jadi diri sendiri–hanya demi orang yang kita cinta apa adanya tetapi belum tentu mencintai kita apa adanya. Di situlah kadang letak kelemahan dan kesalahan para perempuan. Terutama yang terlanjur lahir dan hidup di dalam kebudayaan feodal-patriakhat ala Jawa. (Aslinya aku masih selalu mencurigai budayaku sendiri)

Kita nggak boleh buta. Sering kali yang demikian, menunjukkan bahwa: pertama, si lelaki mencintai dirinya sendiri lebih dari apa pun sehingga kita nggak boleh mengusik egonya yang satu itu. Kedua dia punya bayangan perempuan idaman di kepalanya, yang sebenarnya bukan diri kita. Sehingga kita hanya jadi boneka barbie-nya yang harus mau “didandani” sesuai imajinasinya. Lama-lama kita jadi nggak apa adanya. Dengan cara demikian, perempuan nggak bisa jadi dirinya sendiri. Memangnya bisa menghabiskan hidup bersama seorang pria yang nggak tulus dan di samping itu, dan kita akan terus dituntut berpura-pura jadi orang lain?

Ke depannya perempuan sendiri yang kesusahan, karena toh yang namanya kekurangan itu manusiawi, sedangkan kita hanya dicintai karena syarat-syarat yang dipikirakan si lelaki tadi, misalnya. Barangkali kita sedang diciptakannya serupa mantan. Nggak tulus banget. Tapi itu banyak terjadi di sekeliling kita. Di zaman modern ini.

Sementara kesetaraan yang ideal selalu akan menuntut: “Bila kamu mau mengubah aku, kamu juga harus rela aku ubah.” Demikianlah supaya kehidupan berjalan adil. Sekalipun tentu saja, itu bukan cara hidup bersama yang nge-soul.
Sebab yang benar adalah hidup dengan tanpa peduli soal perbedaan, kekurangan, dan juga pandangan orang lain, kecuali hanya ingin tetap bersama, saling menerima, dan melengkapi, sebelum ajal menjemput. Cukup.

Perempuan yang terlahir cacat, mendapatkan yang tulus ingin bersama dia tanpa memandang kekurangan–hal yang barangkali begitu langka bagi para perempuan yang normal. Kedua, sebagai orang berfisik normal aku merasa tertampar, selama ini apa yang sudah aku lakukan untuk dunia?

Artikel tentang Mbak Putri Herlina berhasil menginspirasiku pagi ini. 🙂

Salah satu cuplikan artikel tentang Mbak Putri ketika ia ditawari tangan buatan:

Snapshot_2013-10-14_091216

Berbahagialah mereka yang diterima apa adanya, dicintai dengan tulus tanpa pretensi.
Meskipun seringkali yang bisa demikian hanya orang tua terhadap anak-anaknya.

Patah Hati

Kamu pergi ke psikiater, dalam keadaan nyaris gila dan hampir bunuh diri. Kemudian curhat bahwa pacarmu mengabaikanmu. Dia tidak peduli padamu, bahkan ketika kamu sakit, dia milih jalan-jalan sama teman-temannya. Ketika kamu butuh dia berkomitmen dengan serius dia malah jujur kalau selama ini pacaran diam-diam dengan mantannya.

Psikiater pun meyakinkanmu untuk berhenti saja dengan pacarmu, mending bersama orang lain atas pertimbangan masa depan dan sebagainya. Kamu disuruh memulai hidupmu kembali, dan sederet nasihat logis lainnya. Sebab pria itu kurang bertanggung jawab. Kamu setuju.

Tapi,
begitu sampai rumah dan masuk kamar, tetap saja, nomor pacarmulah yang akan kau hubungi, kamu begitu rindu. tanganmu sudah siap mendial nomornya. Kamu bahkan tidak suka psikiater itu mengatai pacarmu tidak bertanggung jawab. Kamu merasa kesempatan kedua itu selalu ada, bersamaan dengan ketiga, keempat, dan seterusnya. Meskipun… km telah memulai panggilan pertama, kedua… kedupuluh delapan, ke nomor ponsel pacarmu itu dan tetap tidak dijawabnya..

 

 

tulisan ini hanya sekadar guyon. jangan masukkan hati 😀