Sering kan kita menjumpai kondisi di mana kita berusaha keras menjadi yang si kekasih inginkan. Kita harus seperti ini, membuang baju yang ini, memakai yang seperti ini, harus melepas pekerjaan yang itu, kehilangan teman-teman, harus ngorbanin hari libur, waktu, privasi, impian, hobi, keluarga, usia, dan banyak lagi, tapi kita nggak jadi diri sendiri–hanya demi orang yang kita cinta apa adanya tetapi belum tentu mencintai kita apa adanya. Di situlah kadang letak kelemahan dan kesalahan para perempuan. Terutama yang terlanjur lahir dan hidup di dalam kebudayaan feodal-patriakhat ala Jawa. (Aslinya aku masih selalu mencurigai budayaku sendiri)
Kita nggak boleh buta. Sering kali yang demikian, menunjukkan bahwa: pertama, si lelaki mencintai dirinya sendiri lebih dari apa pun sehingga kita nggak boleh mengusik egonya yang satu itu. Kedua dia punya bayangan perempuan idaman di kepalanya, yang sebenarnya bukan diri kita. Sehingga kita hanya jadi boneka barbie-nya yang harus mau “didandani” sesuai imajinasinya. Lama-lama kita jadi nggak apa adanya. Dengan cara demikian, perempuan nggak bisa jadi dirinya sendiri. Memangnya bisa menghabiskan hidup bersama seorang pria yang nggak tulus dan di samping itu, dan kita akan terus dituntut berpura-pura jadi orang lain?
Ke depannya perempuan sendiri yang kesusahan, karena toh yang namanya kekurangan itu manusiawi, sedangkan kita hanya dicintai karena syarat-syarat yang dipikirakan si lelaki tadi, misalnya. Barangkali kita sedang diciptakannya serupa mantan. Nggak tulus banget. Tapi itu banyak terjadi di sekeliling kita. Di zaman modern ini.
Sementara kesetaraan yang ideal selalu akan menuntut: “Bila kamu mau mengubah aku, kamu juga harus rela aku ubah.” Demikianlah supaya kehidupan berjalan adil. Sekalipun tentu saja, itu bukan cara hidup bersama yang nge-soul.
Sebab yang benar adalah hidup dengan tanpa peduli soal perbedaan, kekurangan, dan juga pandangan orang lain, kecuali hanya ingin tetap bersama, saling menerima, dan melengkapi, sebelum ajal menjemput. Cukup.
Perempuan yang terlahir cacat, mendapatkan yang tulus ingin bersama dia tanpa memandang kekurangan–hal yang barangkali begitu langka bagi para perempuan yang normal. Kedua, sebagai orang berfisik normal aku merasa tertampar, selama ini apa yang sudah aku lakukan untuk dunia?
Artikel tentang Mbak Putri Herlina berhasil menginspirasiku pagi ini. 🙂
Salah satu cuplikan artikel tentang Mbak Putri ketika ia ditawari tangan buatan:
Berbahagialah mereka yang diterima apa adanya, dicintai dengan tulus tanpa pretensi.
Meskipun seringkali yang bisa demikian hanya orang tua terhadap anak-anaknya.