Cerpen yang saya baca pagi ini di koran Kompas mengisahkan seorang perempuan yang berpikiran rumit. Ia kehilangan seorang pria sederhana yang telah 6 tahun mengencaninya dan 6 tahun pula menikahinya. Beberapa bulan suaminya ini meninggalkannya. Namun ia tetap sibuk pada pekerjaan dan melanjutkan hidup. Orang-orang bertaruh tentang apa yang akan ia lakukan setelah suaminya pergi. Akan merutuki nasibnya atau kalap mencari si suami di penjuru kota. Tapi si perempuan terlihat seperti tetap melakukan aktivitas seperti yang sudah-sudah, bekerja, pulang tepat waktu, dan belanja kebutuhan sehari-hari di hari Minggu, seperti hari-hari biasanya sehingga orang-orang pun bosan bertaruh.
Terakhir sebelum suaminya meninggalkannya, mereka sempat bertengkar. Sebelum pergi si suami mengumpat tentang otaknya yang rumit dan akan habis dimakan semut. Sedangkan semut dalam cerpen tersebut menggambarkan isi pikiran. Sejak menerima sebuah surat dari suaminya, si perempuan terbawa oleh ilusi semut-semut yang menyerang rumahnya dari hari ke hari. Orang-orang telah menggapnya kehilangan kewarasan karena berbulan lamanya suaminya memutuskan meninggalkannya. Si perempuan menghabiskan waktu dengan berusaha membersihkan semut-semut di rumahnya namun hanya ia yang melihatnya. Semut-semut dilihatnya semakin banyak yang berdatangan sampai tak ada yang bisa dilakukan selain menjadikan jutaan semut itu teman bicaranya untuk terakhir kali. Hingga pada akhirnya, ia meninggal dalam sepi dengan obat serangga bertebaran di rumahnya. Jasadnya ditemukan dalam keadaan masih menggenggam surat gugatan cerai dari suaminya.
Bila kita berbicara populasi manusia dengan pemikiran yang beragam, kita tak hanya menemukan jenis manusia yang berpikiran sederhana, ada juga yang kompleks dan karakter tersebut tidak lahir dengan sendirinya. Hanya saja ‘komunitas rumit’ hanya akan memahami yang sama-sama rumit itu pun tidak selalu, dan yang ‘kelompok sederhana’ hanya nyaman berinteraksi dengan yang sederhana. Meskipun dalam beberapa hal, mereka bisa saling membutuhkan. Sayangnya demikian hukum alam sering kali berkata. Sayang, orang juga sering tidak dapat memilih menjadi sederhana bila sudah telanjur merumit.
Jalan ceritanya menarik, antara narasi dan dialog antartokoh tersaji dengan pas dan runut, menujukkan kualitas si penulis yang memang produktif. Dan toh yang namanya cerpen ia bisa saja semacam ide atau imajinasi, atau barangkali berasal dari kehidupan sehari-hari. Tapi ia tetap menyiratkan realitas. Hanya saja, cerpen ini seperti campuran antara tragedi dan humor dalam porsi yang seimbang di benak saya. Rasanya ingin tersenyum geli sekaligus sedih. Membaca cerpen ini membuat saya bertanya pada diri sendiri:
Benarkah selalu demikian? Apakah harus menjadi sederhana, perempuan dapat dicintai pasangannya dengan tulus?
Apakah kerumitan itu salah sehingga setiap individu yang rumit selalu diingatkan soal keterasingan?
Apakah kerumitan termasuk kecacatan?
Hanya baru beberapa kali selama ini saya membaca sebuah karya dengan merasa berada dalam tokoh utama. Selebihnya, saya biasa membaca karya dengan terkesan dengan teknik bercerita, ide, pemikiran, atau sejarah. Tapi jarang ada yang bisa memengaruhi perasaan seperti cerpen “Wanita dan Semut-Semut di Kepalanya” yang ditulis oleh Anggun Prameswari.
Membaca cerpen ini, seperti membaca diri saya. Sebab saya juga rumit. Bahkan rasanya tidak hanya semut-semut yang selalu menyerang kepala saya, tapi juga setan dan debu-debu. Andai dapat memilih, saya tentu ingin berpikir sederhana dan segalanya akan berjalan sesuai yang semestinya.