Buku Single Pertama: Sehat dengan Resep Rumahan Ala Golongan Darah


IMG_20180505_230701Memasak bukan lagi kegiatan yang mengerikan bagi saya ketika kepepet. Kepepet yang saya maksud adalah sejak saya menikah, hamil, dan kemudian mesti merawat anak-anak. Saya baru sadar bahwa memasak makanan sehat itu begitu penting karena kalau beli di luar nggak selalu ada. Kita semua, terlebih anak-anak butuh sekali makanan sehat, bahkan sejak mereka masih berbentuk embrio. Satu-satunya cara menjamin mereka mendapat asupan sehat adalah membuatnya sendiri di rumah. Dan hanya seperti itulah memang motivasi seorang ibu sehinga tiba-tiba ia jadi suka ngubrek-ngubrek dapur. Di samping itu, rasanya memang urusan hidup sehat seluruh anggota keluarga lebih banyak tergantung dari dapur.

Hingga pada suatu ketika di tahun 2016 lalu, tiba-tiba saya mendapat tawaran menyusun buku resep bertema diet ala golongan darah dari seorang teman yang bekerja sebagai editor di Penerbit Javalitera. Antara senang dan ragu. Senang karena selalu ada pembelajaran baru di setiap pekerjaan yang akan saya selesaikan, dan ragu apakah nanti saya bisa. Masalahnya membuat resep makanan biasa saja nggak mudah, apalagi itu ditujukan untuk diet. Sesuai golongan darah pula. Berhubung kata teman saya, naskah tetap bakal diproof-kan ke ahli gizi sebelum diterbitkan, maka saya pun setuju mengerjakannya.

Sejak itu, hal-hal terkait dapur membuat saya terkagum. Konon jenis makanan tertentu dapat menimbukan reaksi yang berbeda pada tubuh yang berbeda pula. Pada cabai misalnya, tak seberapa parah efeknya dikonsumsi satu orang, tapi bisa berbahaya dikonsumsi yang lainnya meskipun sama-sama menyukai rasanya. Teringat Simbah Selatan (Ibunya ibu saya), pernah bercerita perihal jenis tumbuhan yang beracun bila salah mengolahnya, dan simbah utara (ibunya bapak) yang hobi menuliskan hal-hal terkait tumbuhan herbal, mengoleksi tanamannya, dan juga suka juga menceritakannya, maka saya pun percaya, memang segala hal yang tumbuh di sekitar kita, hampir bisa dikonsumsi. Tanaman kimpul, sejenis umbi-umbian, bisa dikonsumsi asal harus dari pohon yang daunnya tidak gatal. Di bidang tanaman obat, ada jenis tanaman insulin yang bila dikonsumsi tanpa menggunakan kapsul, rasa pahitnya bisa bertahan di mulut hinga 2 hari. Tapi semua itu butuh dipelajari. Seperti kata Eka Kurniawan dalam cerpennya “Kutukan Dapur”, karena beberapa bisa membuat sekarat bila engkau memakannya, dan yang lain membuatmu hidup bila memakannya dalam keadaan sekarat. Entah mengapa saya malah jadi penasaran “Rijsttafel” dan “Jejak Rasa Nusantara”-nya Fadly Rahman. Jadi pengin juga baca karya-karyanya Jean anthelme Brillant-Savarin, yang konon pernah menuliskan dalam bukunya, bahwa makanan juga juga berpengaruh pada psikologi manusia.

Untuk itulah saya bersyukur mendapat kesempatan menyusun buku ini, meski dua bulan rasanya nggak cukup kalau yang dibuat model begini. Saya jadi ingat proses ketika mulai dikerjakan. Demi menyusun buku ini, saya kudu menyiapkan referensi terkait golongan darah, menggolongkan lebih dahulu bahan yang boleh atau tidak boleh disertakan dalam resep ala diet sehat, kemudian mencari bahan makanan, menakar, memodifikasi dari resep yang sudah ada, tes rasa, hingga memotretnya. Resep sudah sesuai prinsip diet golongan darah tapi rasanya masih ambyar tentu harus diulang. Begitulah seterusnya sampai ketemu takaran yang pas dan masuk akal. Sempat nyesel sih kenapa nggak dari dulu saya belajar memotret makanan lebih serius karena di tahap pemotretan inilah saya sempat ketar-ketir.

Referensi yang paling banyak saya gunakan dalam proses ini tentunya buku-buku karya Dr. Peter J D’Adamo yang telah mengkaji lebih dalam mengenai hubungan golongan darah dan tipe pola hidup sehat yang sesuai. Penemu pertama golongan darah memang bukan Dr. Peter J D’Adamo, melainkan Karl Lansteiner. Namun kajian mengenai kesehatan lebih banyak ke Dr. Peter J D’Adamo. Ssebelum semua resep ini disusun dan dieksekusi, tentu saya membutuhkan daftar jenis makanan yang direkomendasikan atau tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi masing-masing golongan darah.

Daftar resep makanan dalam buku ini sebenarnya sangat akrab di lidah kita sehari-hari. Mudah pula dibuatnya. Tapi yang membuat buku ini berbeda karena bahan-bahannya sudah disesuaikan dengan golongan darah. Pada prinsip diet golongan darah ala Dr. Peter J D’Adamo, dikatakan bahwa setiap golongan darah memiliki reaksi tertentu yang berbeda terhadap satu makanan. Makanan tertentu bisa cocok dengan salah satu golongan darah, namun kurang sesuai bila dikonsumsi golongan darah lain. Misalnya, resep bertema daging lebih banyak ditemukan untuk golongan darah O karena memang golongan ini yang lebih cocok mengonsumsi daging. Sedangkan golongan darah A, lebih banyak membutuhkan sayur dan beberapa protein dari telur dan ikan yang masih diperbolehkan namun dalam jumlah terbatas. Resep dalam buku ini juga terbagi tiga di tiap-tiap golongan darah, yaitu masakan utama, kudapan, dan minuman.

Tentu saja, diet ala golongan darah hanya sebagai pilihan di antara banyak pilihan diet lainnya. Sifatnya hanya rekomendasi. Diet golongan darah sebetulnya lebih luas pembahasannya. Dalam diet golongan darah, jenis olahraga yang dianjurkan untuk masing-masing golongan pun berbeda. Namun buku ini tentu lebih banyak membahas di makanannya. Meski sebetulnya, bila kita mengaplikasikan semua resep ini tanpa memerhatikan jenis golongan darah, toh tak ada risiko yang besar. Hanya saja, tetap berlaku prinsip supaya sehat, tidak dianjurkan makan berlebihan. Di samping itu mesti didukung juga pola sehat yang lain seperti istirahat yang cukup, menghindari stres, dan berolah raga rutin.

Semua itu proses menyusun buku ini kelihatannya simpel, tapi ternyata cukup rumit. Hal terpenting dari menyusun buku ini, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, yaitu mempelajari memasak makanan sehat, belajar teknik memasak lebih banyak, dan banyak hal terkait pola hidup sehat. Dan selain itu saya jadi termotivasi untuk terus belajar hal-hal yang bermanfaat lain setelah ini. Meski pernah menyusun buku resep, bukan berarti saya lulus belajar masak. Sebaliknya, saya justru berpikir banyak hal mesti dibenahi. Masih perlu banyak belajar dan update pengetahuan mengenai manfaat bahan makanan di sekitar. Hal yang saya kerjakan ini tentu masih jauh dari sempurna.

Sebagai informasi, buku ini bisa ditemukan di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Semoga bermanfaat. 🙂

 

IMG_20180610_071706_HDR

IMG_20180610_072352_HDR

Omurice

Janjian masak sama temen memang mengasyikan. Sejak Mpok Tanti mengirimkan foto omurice dan kemudian ngajak janjian masak akhir pekan di rumah masing-masing, saya jadi penasaran dengan salah satu makanan ini. Intinya, saya jadi semangat masak.

Omurice kepanjangan dari omelette rice. Maksudnya adalah telur dadar isi nasi goreng. Makanan ini rupanya berasal dari negeri sakura. Menurut berbagai sumber, omurice pertama kali diciptakan di sebuah restoran yang bernama Hokkyokusei yang terletak di Namba, Osaka. Restoran ini membuat omurice pertama kali khusus untuk pengunjung restoran yang terkena gangguan pencernaan. Namun ada pula yang mengatakan omurice diciptakan lebih dulu di restoran Renga-tei yang terletak di Ginza, Tokyo. Entah benar yang mana, yang jelas sekarang makanan ini menjadi populer dengan bentuk yang beragam dan bisa dimasak sendiri dengan variasi bahan sesuai selera.

Omong-omong soal omurice, Indonesia juga punya jenis kuliner yang masih family, lho. Namanya semarmendem. Nasi yang sama-sama dibalut dadar telur. Bedanya, bila omurice lebih besar dan berisi nasi goreng, semarmendem berisi lemper (nasi ketan isi daging). Bila semarmendem biasanya dikonsumsi sebagai camilan, omurice adalah makanan utama. Bila omurice ini telur dadarnya murni, semarmendem pakai adonan telur yang dicampur tepung. Begitulah.

Ternyata membuat omurice cukup simpel dan bisa menggunakan bahan seadanya.

Bahan kulit

  • Telur
  • Garam
  • Merica

Bahan nasi goreng (untuk satu porsi, untuk diri saya sendiri yang lagi nggak puasa :D)

  • nasi 1 piring
  • 1 buah cabe rawit
  • 2 buah bawang merah
  • 2 buah bawang putih
  • 1 buah sosis sapi
  • 1 buah wortel ukuran kecil, potong dadu
  • lada bubuk secukunya
  • pala bubuk secukupnya
  • garam secukupnya
  • 1 sdm margarin
  • 1 sdm kecap manis
  • 1 buah daun bawang
  • 2 sdm minyak goreng

Di resep ini saya masak telurnya dulu. Sebetulnya sesuai tekniknya sih nasi dulu. Tapi karena saya sulit membayangkan bagaimana melipatnya kalau sudah jadi, makanya milih yang lebih mudah dulu :D.

Caranya:

Kulit

Seperti bikin telur dadar pada umumnya, kocok telur, tambahkan merica bubuk dan garam, goreng di atas penggorengan yang sudah diolesi margarin. Masak dengan api kecil. Saya menggunakan teflon supaya bisa lebih lebar dan merata permukaannya.

Setelah matang, angkat, letakkan di atas piring.

Isi

  • Pertama, panaskan minyak goreng dan margarin dengan api kecil.
  • Cincang bumbu bawang merah dan bawang putih. Iris tipis cabe rawit. Potong-potong daun bawang kira-kira 1 cm-an dan sosis.
  • Tumis bumbu tersebut hingga harum.
  • Masukkan wortelnya dan beri sedikit air.
  • Tambahkan kecap, saus tomat, merica bubuk, garam, dan pala bubuk.
  • Masukkan nasi sambil diaduk supaya bumbunya merata.
  • Setelah matang, angkat di atas telur dadar untuk dibungkus, kemudian dibalik dengan hati-hati.
  • Hias dengan saus kesukaan. Saya pakai saus tomat.

Eh ternyata hasilnya sungguh di luar dugaan. Jumlah nasi gorengnya melebihi kapasitas si telur dadar membungkus sesuatu. Jadi saya hanya mengambil sebagian untuk dibungkus telur dadar. Sesudah difoto, digabungin deh semuanya.

Dan… beginilah penampakan omurice kreasi saya. Memang agak sedikit berantakan. Namanya juga baru pertama nyoba 😀

img_20160629_064929.jpg

img_20160629_065011.jpg

Tape dan Beberapa Resep

Tape singkong atau peuyeum, istilah bagi masyarakat Jawa Barat, selalu jadi oleh-oleh favorit kalau bapak dan ibu saya pulang dari Bandung. Meskipun di Jogja banyak dijual tape singkong, tetap saja tape khas Jabar lebih enak menurut Bapak. Apalagi beliau suka sekali berbagai jenis tape. Baik yang dari singkong maupun yang dari ketan. Kalau saya sendiri lebih suka yang tape ketan. Mungkin karena ada kuahnya:D (alasan yang aneh).

Di daerah saya, Jogja, termasuk kampung halaman Ibu di Bantul, menghidangkan tape ketan di acara besar seperti nikahan, kelahiran bayi, atau lebaran sudah merupakan kebiasaan. Biasanya disuguhkan bersama emping melinjo. Nah, saya pun kini jadi penggemar tape. Apalagi tape ketan yang dimakan bareng emping melinjo. Tape ketan dan emping melinjo itu bagi saya seperti sepasang sandal, kalau salah satu nggak ada rasanya kurang lengkap. Perpaduan asam, manis tape dan gurih empingnya hm.. nggak ada duanya.

Kalau Ibu bikin tape ketan sendiri di rumah, saya pasti rebutan deh sama Bapak. Tapi membuat jenis makan ini ternyata cukup lama. Setelah tape dimasak pun proses fermentasinya mesti 3 hari 2 malam dan itu pun diletakkan dalam wadah kedap udara dan tidak boleh terkena sinar matahari, nggak boleh juga dibuka sebelum waktunya. Dari mencuci beras ketan hingga jadi tape kalau diitung-itung bisa sampai 4 harian. Tapi untuk menghabiskannya tentu nggak sampai sejam :))

Ternyata membuat peuyeum pun sama-sama ribetnya. Namun di samping rasanya enak rupanya tape singkong ini mengandung berbagai manfaat positif lho untuk kesehatan tubuh, bahkan konon bisa menyembuhkan jerawat dan anemia.

Ketika peuyeum melimpah di rumah, boleh juga nih dimasak jadi berbagai cemilan selain dimakan langsung. Dibikin cake sepertinya menoton. Apalagi di rumah banyak yang nggak suka makan cake. Kalau ada cake di rumah, sebagian besar pasti jadi jatah makan ayam. Ternyata tape singkong pun bisa dinikmati dengan 3 cara ini.

Tape bakar tabur gula. 

Resep ini terinsirasi dari ibunya murid waktu saya masih mengajar privat di daerah Godean.Si ibu adalah perempuan yang tangguh menurut saya. Sejak suaminya meninggal, ia menghidupi sendiri dua anak dan seorang asisten rumah tangga. Kami sering sharing tentang perkembangan anak-anak. Dan sering kali saya disuguhi tape bakar tabur gula ini setiap mengajar yang merupakan camilan khas keluarga.

Cara membuatnya:
Pertama olesi penggorengan dengan mentega dan panaskan.
Tape dimasak dulu di teflon dengan api kecil sampai kering dan ada semburat gosong, tapi jangan terlalu gosong.
Setelah itu, angkat dan taburi dengan gula/saus caramel santan

Coba deh, rasanya enaaaak banget.

Cassava sweet cake with egg and lope.

Nama yang panjang ini pemberian dari sepupu saya. Kalau di suruh ngulangin secara lesan saya nggak bakal hafal. Cukup saya sebut tape goreng. Cara membuatnya:

Siapkan tape singkong, tepung terigu, telur, gula pasir, garam, mentega cair.
Lumat semua bahan, masak di atas teflon, dengan api sedang
Angkat setelah kecokelatan.

Ini juga rasanya enak banget. Bisa dijadikan camilan atau sarapan.

 

Dicampur es buah.

Bisa ditambahkan pisang, kurma, kolang-kaling, nangka, agar-agar, susu kental manis, dan es puter rasa kelapa.

 

Selain tiga cara di atas, tape singkong juga bisa dibikin variasi makanan lain seperti puding, es krim, dan banyak lagi. Sepertinya kapan-kapan perlu deh eksperimen. 😀

 

IMG_20160309_111822

tape goreng

 

Film Refrain dan Opini tentang Persahabatan

“Persahabatan itu nggak memilih. Persahabatan bukan didasari oleh gender, usia, motif, atau apa pun itu. Persahabatan yang tulus nggak harus punya alasan.”

Benar. Tapi omong-omong, apa sih artinya Refrain? Kalau menurut google translate sih ‘menahan diri. Tentang apa sih film ini kok sampai ada soal menahan diri? Atau bisa jadi refrain adalah istilah musik yang berarti bagian perulangan dari lagu. Ya marilah kita abaikan sejenak judul, karena agak sulit memang dihubungkan dengan pesan moral filmnya :p

Refrain bercerita tentang Niki (Maudy Ayunda) dan Nata (Afgansyah Reza). Mereka bersahabat sejak kecil. Kedua orang tuanya bekerja di satu perusahaan dan sama-sama harus dinas ke luar kota. Oleh karenanya mereka selalu bersama ke mana pun itu. Apa keburukan dan kelebihan yang dimiliki satu sama lain, mereka pun sudah hafal. Setiap pada Niki di sana ada Nata, dan begitu juga sebaliknya. Bahkan saking dekatnya, mereka berjanji siapa yang lebih dulu jatuh cinta, harus ngasih tahu. Tapi janji itu tidak tertepati. Suatu hari Niki jatuh cinta pada Oliver, kapten tim basket di sekolahnya. Sejak itu, Nata merasa ada yang hilang. Niki sudah tak lagi sering ada waktu untuknya. Namun, tak hanya sekadar itu, Nata cemburu. Rupanya diam-diam Nata menyukai Niki, perasaan itu ada begitu saja tanpa bisa diprediksi, tapi rahasia itu disimpannya jauh karena mereka bersahabat. Sejak itu, dunia terasa berubah di mata Nata. Sedangkan dunia baru berubah di mata Niki ketika ia tahu sikap Nata yang antipati terhadap Oliver itu karena ia menyayangi Niki. Niki pun menjauh. Namun perasan cinta juga bagian dari proses dan tidak bisa instan. Ada sesuatu yang akhirnya membuat Niki menyusul Nata ke Austria 5 tahun kemudian. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta juga melampaui hubungan bernama persahabatan, sebab tahu bahwa Nata adalah pria terbaik dalam hidup Niki, telebih sejak Oliver, cinta pertamanya menyakitinya, dan tahun-tahun yang entah bagaimana telah dilaluinya. Yuhu, ini film remaja yang menarik meskipun ide tentang sahabat jadi cinta memang klise.

Refrain film yang rilis tahun 2013-an, yang memang awalnya tak berniat saya tonton karena kesibukan dan tak terkondisikan nonton film sejenis drama. Tapi jenuh juga terus-terusan nonton film idealis sehingga film ringan sesekali jadi pilihan. Awalnya sih karena tokoh utamanya memang artis di dunia musik, ngarepnya sih bakal seperti film August Rush. Ternyata beda sih, hehe. Film remaja yang satu ini ‘imut’, apalagi diselipi dengan iklan di adegan pembuka =)). Sebenarnya film yang disutradarai Fajar Nugros ini diadaptasi oleh novel karangan Winna Efendi yang judulnya Refrain juga, tapi saya sendiri belum baca novelnya. Ya entah mengapa, pengalaman dan firasat selalu mengatakan novel selalu lebih bagus daripada versi filmnya. Tak mengapa. Ada beberapa adegan manis yang mengesankan di film itu.

Pertama, ketika Nata dengan tegas ngelarang Niki diajakin kencan tiba-tiba sama Oliver sepulang sekolah. “Ngapaian sih mau sama dia? Entar kamu diapa-apain lho? Ngaco ah, nggak usah!” Tapi toh akhirnya Niki berangkat juga dan Nata membawakan tas Niki sambil mencemaskannya. Karakter Nata ini kadang dingin tapi protektif, sering ia ngingetin Niki untuk belajar biar nggak ketinggalan. Mungkin sih di dunia ini memang ada tipe sobat cowok yang ‘keibuan’ seperti itu.

Kedua ketika si Nata berani memukul Oliver atas tindakan kurang ajarnya pada Niki di acara promnait lalu menggandengnya pulang, padahal sebelumnya mereka lagi marahan karena Niki tahu Nata ‘mengkhianati’ persahabatan dengan menyayanginya. Tapi perempuan mana yang tidak terenyuh ketika ada yang membelanya ketika dalam posisi “tersudut”? Ya toh?

Ketiga, ketika 5 tahun kemudian akhirnya Niki nyusul Nata ke Austria dan happy ending, walaupun adegan yang ini terkesan buru-buru. Meski dari awal, film ini predictable, tapi jalan ceritanya menarik untuk diikuti dan tidak terlalu mainstream kok. Beberapa kekurangan tentu ada, sebagai film remaja, saya belum pernah menemukan dua tokoh ini hidup dalam pengaruh keluarga dan orang tua, melainkan pyur hanya tentang mereka. Kecuali kakak Nata yang lebih tepat disebut sampingan. Malahan Annalise (Chelsea Elizabeth Islan) benaran hanya sampingan, terbukti ketika adegan buka-bukaan perasaan yang bersifat kecelakaan itu (karena deim-diem Annalise suka Nata), sepertinya ngambang entah bagaimana kelanjutannya. Tiba-tiba di promnait, Annalise jejer bedua dengan kakak lelakinya Nata.

Soal akting tidak diragukan lagi, mereka cukup menjiwai dan tidak lebay, baik ketika berperan sebagai remaja maupun ketika dewasanya. Apalagi bawaan karakter Afgan yang romantis, menurut saya pas meranin Nata di film itu. Nonton ini saya jadi ngerasa betulan ngerasa balik jadi remaja, zaman masih suka nontonin fenomena temen-temen yang mirip sinetron. Gimana tidak, nggak banyak remaja yang punya nasib seperti Niki kecuali dalam imaji. Remaja cantik, sugih, sukses, populer, anggota cheerleader, dan punya sahabat ganteng yang selalu ngejagain serta membelanya seperti seorang kakak itu hanya milik mereka yang beruntung aja. Urusan entar jadi sahabat doang atau bakal pacaran, yang jelas punya sahabat yang selalu ada itu berkah tersendiri bagi kaum hawa. Memang sih jenis cerita remaja di film itu atau di banyak cerita lainnya selalu klise, persahabatan yang jadi cinta. Tapi tak mengapa, mengingat animo pasar, tipe remaja nggak cantik dan kaku yang hanya punya teman buku dan petugas perpus yang akhirnya punya pacar di masa kuliah tentu agak merepotkan untuk dituliskan dan kurang menarik untuk dijadikan ide cerita remaja, haha.

Pesan moral menurut versi saya (versi pemikiran tua maksudnya)

Benar memang rasanya galau bagi perempuan dihadapkan dengan kondisi ketika teman atau sahabat pria ternyata punya perasaan lebih. Padahal selama itu kita udah nyaman deket tanpa pretensi, selama itu kita percaya teman/sahabat kita sudah jadi teman curhat yang tidak punya maksud lain. Tapi tidak bisa dipungkiri pada akhirnya perempuan itu kompleks, mereka tetap butuh persahabatan ketika sudah masuk pada hubungan cinta yang berlangsungnya bakal lama. Itulah yang sering kali sulit dipahami kaum lelaki. Memang gimana tuh maksudnya? Jadi begini, hubungan cinta tidak hanya sekadar status dan kewajiban-kewajiban standar ala timur sebagaimana lelaki dan perempuan bentukan masyarakat patriakhat, tapi juga hubungan yang bahkan seperti sahabat dan kekasih sejati: interaksi, kesetaraan, saling pengertian, kedekatan batin, negosiasi, keterbukaan, kejujuran, ada diskusi, hingga kepekaan emosi. Perempuan (terutama yang berpikiran maju) jelas nggak mau bertahan di hubungan yang hanya bersifat ‘ngasih makan status’ untuk melegalkan cinta hormonal atau sekadar nafsu semata, sehingga aslinya ‘saling terpisah’, serba hierarki, nggak ada “komunikasi”, dan berbicara hanya soal kebutuhan sehari-hari. Nggak percaya? Buktikan aja kalau sudah nikah:)

Saya setuju dengan apa yang dikatakan Nata ketika nasehatin Niki dalam adegan di film itu:

Di dunia nggak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama. Yang ada juga nafsu atau suka pada pandangan pertama. Yang lalu disalahartikan sebagai cinta.

Itulah mengapa menurut saya mungkin saja kok perempuan atau laki-laki jatuh cinta sama sahabat sendiri. Jodoh bisa datang dengan cara apa saja. Saya yang selama ini selalu jadi pihak penonton, sering banget menyaksikan ending yang semacam itu di kehidupan sehari-hari. Entah dari cerita teman, para tetangga, hingga mbah-mbah, yang malahan menurut mereka lebih langgeng ketimbang yang ketemu gede, karena ya sejak dulu cuma si dia saja yang udah dikenal dan udah nyaman 🙂Nonton film remaja yang satu ini, saya jadi ngerasa keyakinan saya sejak dulu ada benarnya. Tidak ada persahabatan murni lawan jenis di dunia ini, kecuali dua alasan, pertama have fun aja, kedua karena cinta yang tak bisa dijelaskan karena terbentur nilai buatan masyarakat itu sendiri di Indonesia, ketiga barangkali pihak perempuan/lelakinya homoseksual :|. Film ini lumayan juga dijadikan selingan di tengah kesibukan monoton.

Sesuai pengalaman pribadi, saya nggak terlalu percaya ada persahabatan sejati antara lelaki dan perempuan di dunia ini. Tapi saya percaya persahabatan dapat dibangun oleh dua orang yang memutuskan untuk saling mencintai dan ingin bersama selamanya. 🙂


Batik Trusmi dan Kesetaraan

Berawal dari mention-mentionan saya dan teman-teman kantor lama via Twitter, teringat lagi nostalgia kompakan pakai batik kala itu. Bertepatan juga di hari batik, seperti hari kemarin. Untuk itulah, rasanya ingin menulis hal-hal bertema batik. Namun sempat agak bingung memilih topik batik dari daerah mana. Jogja yang memang mau nggak mau setiap hari saya kunjungi, atau asal daerah lain yang belum saya kunjungi?

Sepertinya saat ini lebih menarik mengulas batik asal daerah yang bukan Jogja karena jenis batiknya sudah sangat familier di mata saya. Akhirnya saya putuskan memilih batik trusmi karena bentuknya yang berbeda sekali dengan batik Jawa. Siapa tahu kelak betulan berkunjung ke sana dan membeli kainnya.

Seperti yang pernah saya tulis di blog ini waktu itu, selama ini saya memang kurang gaul soal fashion dan kain, namun selalu berusaha memahami, hingga akhirnya menulis tentang batik Truntum beberapa waktu lalu sebagai awal saya mengenali produk budaya berbentuk bahan pakaian.

Batik Trusmi berasal dari Cirebon. Nama Trusmi sediri diambil dari kepanjangan terus bersemi. Istilah trusmi juga diambil dari nama desanya, yaitu Desa Trusmi yang sekarang juga menjadi kampung batik terkenal di sana. Trusmi tersebut tergolong jenis batik pesisir (pantai). Mungkin itulah sebab mengapa kebanyakan bergaya kebebasan dan fleksibel. Seperti bentuk awan dan burung (entah burung atau naga terbang ya…) menunjukkan hal-hal yang luas dan transenden. Karena bentuknya yang khas dan warnanya yang cukup tegas serta makna yang terkandung di dalamnya, membuatnya pantas menyandang predikat salah satu ikon batik nasional. Daerah Cirebon sendiri semula memiliki dua kerajaan maka batiknya disebut batik keraton.

Menurut sejarah, seperti halnya batik-batik lain di nusantara, batik Cirebon pun merupakan hasil asimilasi dan akulturasi beragam budaya. Batik gaya Cirebon yang sekarang semula lahir sejak Pelabuhan Muara Jati di daerah tersebut dijadikan tempat transit para pedagang. Pedagang yang singgah rata-rata berasal dari Tiongkok, Arab, Persia, dan India.

Selain itu, filosofi dan religiusitas yang terkandung dalam batik Trusmi berhubungan erat dengan sejarahnya dan juga berkait tatkala Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam pada abad ke-16. Menurut berbagai sumber, pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien wanita berketurunan Tiongkok disinyalir menjadi awal bergabungnya dua kebudayaan tersebut. Kala itu keraton menjadi pusat kosmik sehingga ide atau gagasan serta pernak-pernik budaya Tiongkok masuk dan berasimilasi dengan budaya Cirebon. Termasuk hasil asimilasi itu adalah batik Cirebon dengan motif awan yang lekat dengan mitologi Tiongkok yang dinamakan dengan motif mega mendung.

Motif mega mendung sekalipun dipengaruhi gaya Tiongkok namun sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya merupakan simbol dari perjalanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga sampai meninggal dunia. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Illahi. Menarik sekali.

Selain itu ada beberapa jenis batik Cirebon yang lain dan juga sarat degan legenda dan filosofinya masing-masing, yang barangkali akan lebih total bila diuraikan sambil travelling ke kampung batiknya langsung.

Batik menurut pengamatan saya, juga sedikit banyak menggambarkan kondisi masyarakat tempat batik ini dibuat. Misal di Jawa, batik menggambarkan masyarakat yang berlapis-lapis karena hampir semua memiliki fungsi masing-masing dan lumayan ribet. Bahkan batik jenis parang tidak bisa dipakai di keraton karena dianggap kurang sopan. Secara antropologi, batik trusmi juga menggambarkan masyarakat Cirebon yang lugas dan egaliter, maka tepat bila mewakili hubungan masyarakat yang blak-blakan dan setara. Barangkali sedikit berkebalikan dengan Jawa yang serba hati-hati, suka mbatin, dan cenderung agak feodal, hehe. (peace ^^)

So, Selamat Hari Batik 2 Oktober 2014 🙂

contoh batik trusmi

contoh batik trusmi

contoh batik trusmi motif mega mendung

contoh batik trusmi motif mega mendung

Bunga-bunga di Kebunku

Usai gerimis pergi 

 

 

Namanya adenium. Sejenis kamboja hias, dan baru beberapa yang mekar.

1

 

 

Ini Bunga Euphorbia, asalnya dari Madagaskar. Konon bunga ini membawa keberuntungan. Tapi kepercayaan bahwa euphorbia merupakan bunga keberuntungan lebih banyak dipercaya masyarakat Thailand, karena jumlah bunganya yang selalu kelipatan delapan. Angka delapan bagi mereka adalah angka keberuntungan.
Semakin banyak bunganya semakin makmur pemiliknya. Begitulah.

Sayang orang rumah nggak ada yang tahu, yang punya bunganya saja nggak tahu, haha… Sehingga bunga lucu ini hanya sekadar salah satu penduduk tanaman yang dirawat karena bentuk bunganya bagus 🙂

2

 

 

3

 

 

 

ah, kasihan kali kau, tumbuh sendirian saja…

5

 

Aku nggak tahu ini bunga apa :))

 

DSCN2875

 

DSCN2880

 

Buah-buah kecil berwarna merah ini akan segera jatuh di tanah dan jadi benih kemuning baru. Tanaman ini bila berbunga, akan mengisi sebagian besar udara di rumahmu dengan wangi yang seolah tidak akan pergi.
Salah satu pot kecil di sana telah kusiapkan untuk seorang teman di waktu itu, yang entah apakah akan kutemui lagi, seperti janji yang belum juga tuntas.

Tapi saya selalu suka bila ada teman, kerabat, tetangga, atau siapa pun itu, mengambil tunas-tunasnya untuk dibawa dan dirawat.

6

 

Dan ini dia, salah satu bunga yang belakangan paling kusuka di antara bunga-bunga yang lain. Betapa harus memanjat kolam ikan supaya bisa menangkap gambarnya. Entah bagaimana bunga yang biasa nangkring di kuburan ini jadi favoritku. Barangkali kami berdua sudah menjelma sahabat ngobrol. Barangkali ia juga mereka saksi bisu hidupku yang akhir-akhir ini memang seperti tak ke mana-mana. Maka setiap hari, kupunguti mereka yang telah jatuh di tanah, kusimpan di dalam kamar.

Biar saja bau kamarku jadi agak magis 🙂

 

8

 

 

9

 

 

Hei.. bukankah ini perpaduan yang cukup indah?
awan, langit biru, dan rumpun kamboja

10

 

 

Jadi, intinya, keindahan itu memang bisa ditemukan di mana pun, pada hal-hal kecil di sekitar kita sekalipun  🙂

galeri kepompong (foto iseng)

Mereka semua sudah meninggalkan rumahnya

3

 

Entah terbang ke mana setelah itu…

2

 

1

 

4

salah satu kepompong di taman kebunku

 

Sementara aku masih di tempat yang sama, belum move on juga -_-

haha, ya sudahlah… barangkali belum 🙂

 

Hidup memang tak hanya tentang membayar kesalahan di masa lalu, tapi tentang mencari jalan pulang di kemudian hari, maka aku suntuk dengan keramaian-keramaian itu, di mana orang-orang membicarakan hal-hal yang dunia dan tak selamanya ada….

Betapa kini lebih mudah bagiku menghargai hal-hal kecil yang kutemukan setiap hari, ketimbang banyak berharap hal-hal yang belum tentu kumiliki…

Seperti keindahan kecil yang kutemukan di liburan kemarin hari….

 

DSCN0072

mesti kejar-kejaran dulu sama makhluk ini sebelum berhasil ambil gambarnya 🙂

 

DSCN0063

bunga tapak doro

 

DSCN0076

 

 

 

 

senja hari ini

 

Di dalam kota yang hiruk pikuk ini, keindahan alam yang mudah dinikmati adalah langit… 🙂

 

1

 

 

terlebih senja.. bagiku senjalah yang terindah, barangkali ia mewakili nama-Mu, yang misteri dan abadi.

 

2

 

 

Suatu saat aku berdiskusi kepada sore yang menua: apakah yang lebih memahami keadilan ketimbang senja? Ia hanya satu dan hadir sebentar saja, tapi setiap orang berhak memiliki riwayatnya…

 

3

 

 

Di jalan, setiap orang berkejaran dengan waktu. Mereka juga mengejar begitu banyak hal yang entah apa itu.

Aku pun mengejar…

mengejar senja,

tapi di antara hiruk pikuk waktu inilah, rasanya aku hanya berhenti…

 

4

 

 

 

 

3 Perayaan Penting Bulan Ini

Setelah lusa hari emansipasi dalam peringatan Kartini, kemudian Hari Bumi kemarin, kini tiba saatnya kuucapkan selamat Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia. Terutama untuk mereka yang mencintai buku-buku dan membaca…

Bukulah dunia di mana aku pernah ‘lahir’ dan menjadi seseorang, buku-bukulah tatkala kutemukan ada begitu hal indah jauh dari tempatku berada di masa remaja yang suntuk, dan buku juga yang menjadi pelarian, kepulangan, dan makanan pokok keseharian, hingga akhir hidupku nanti barangkali. Dalam buku, aku belajar, mengerti, mendengar, merasakan, menilai, merumuskan, mengenali hidup, mendekat pada Yang Maha Abadi, belajar mencintai, menyimpulkan, juga sering kali mengkritik banyak hal.

Ketiga perayaan di bulan April ini, Hari Kartini, Hari Bumi, dan Hari Buku Sedunia, memang memang cukup cantik untuk terus mengingatkanku akan 3 hal yang akan tetap melekat padaku: kesetaraaan yang adil, mencintai alam, dan juga terus membuka pikiran dengan membaca….

 

 

Liburan Singkat di Pantai Trisik

Jalan-jalan hari Sabtu sore memang rasanya singkat. Namun, weekend singkat memang sebaiknya pergi ke pantai. Selain dapet udara segar untuk mengobati penat kesibukan, siapa tahu (kalau beruntung) bisa merekam senja.

Berikut ini beberapa foto Pantai Trisik yang saya ambil dengan kamera digital pocket.

perpaduan yang puitis: pepohonan dan pantai :)

perpaduan yang puitis: pepohonan dan pantai 🙂

Trisik sendiri dalam bahasa Jawa artinya pantai berpasir yang berbatu kecil-kecil. Mungkin karena tampilannya yang kurang menarik, pantai ini jadi sepi sekalipun di akhir pekan. Tapi tak mengapa, bagiku setiap pantai yang sepi, memiliki kecantikannya sendiri.

2

3

salah satu tumbuhan liar di Pantai Trisik.  (Nggak tahu namanya ^^)

salah satu tumbuhan liar di Pantai Trisik.
(Nggak tahu namanya ^^)

Seperti pantai lainnya, pantai ini mengalami abrasi. Ombaknya lumayan besar, mungkin sedang musimnya. Harap hati-hati kalau jalan-jalan ke pantai untuk musim ini.

??????????

jejak kaki

jejak kaki

Hal yang menarik lainnya adalah, ketika sore tiba, terlihat beberapa nelayan menjaring ikan hanya di pinggir pantai. Mereka melemparkan jaring ketika ombak menghambur ke arah daratan. Meski demikian, hasil buruannya lumayan banyak. Beberapa dari mereka berangkat mencari ikan dengan kapal. (Maaf tidak sempat mengambil fotonya)

??????????

dan inilah bagian yang paling ditunggu ^^

senja

senja

Namun, sayang banyak sampah alami yang bertebaran di sana. Semoga tidak perlu ada timbunan sampah plastik seperti di pantai-pantai lainnya. Alam akan tampak indah dan alami tanpa sampah plastik. Bukankah demikian?

Liburan singkat ini cukuplah untuk ngisi energi lagi, karena besok minggunya kembali bekerja.

#12 (Laut di ranah ekspresi seni)

Kita telah tahu bahwa di dunia ini, peradaban manusia dibagi menjadi dua: peradaban yang berasal dari darat dan juga laut. Peradaban memang selalu lahir dari keduanya. Tapi laut seakan telah jarang kita jangkau. Sore ini, atas info salah satu teman, aku mampir TBY sepulang kerja. Memang ada event Artjog di sana, di mana 158 jenis karya seni kontemporer dipamerkan—dari patung, lukisan, hingga fotografi. Semuanya bertema maritim.

Ketika masuk, sadar ada yang agak mencolok mata. Tembok gedung TBY disulap total dengan dilapisi drum bekas minyak yang di-setting mirip dengan badan kapal. Di halamannya, ada sesuatu yang entah bagaimana, mirip komidi putar yang dipasangai sejumlah boneka dan tetap berputar, rupanya ia diberi judul “Finding Lunang”. Sepertinya judul ini merujuk pada sejarah atau barangkali dongeng tentang penjelajahan. Ada juga tampilan sirip ikan di sisi lain yang seolah sebagian badannya mencebur di laut.

Yang menarik adalah bahwa laut menimbulkan ekspresi yang begitu tak terbatas bagi senimannya. Barangkali juga melahirkan imaji tak terbatas bagi penontonnya. Laut memang bagian dari peradaban. Pameran tahun ini memang sangat keren bagiku. Yeah, sayang ketika aku datang, sudah mepet buka puasa sehingga tak sempat mengamati semuanya satu per satu. Dan sialnya, besok tanggal 20 itu penutupanya. Yah, meskipun sebetulnya ada kesempatan untuk berkunjung lagi sih.

Seni bernapaskan laut seperti tak kan habis ditelusuri batasnya. Laut sebagai peradaban, laut juga sebagai manusia itu sendiri.

–dalam perenungan–

Berguru pada Ranah Baru: Karya Bertema Dunia Persilatan

Sejenak kupandangi kawan-kawan akrabku: buku-buku, yang tertumpuk begitu saja tanpa bisa kubuka-buka satu per satu seperti dulu, sementara kulihat pekerjaan semakin menyita waktu.

Lalu akhirnya kutulis beberapa hal ini:

Pagi ini kusadari, rupanya memang benar kebiasaan membuat skema dan coret-coret intisari buku (atau hasil pemikiran apa pun) berasal dari ayahku. Ayahku mencintai buku-buku sejak muda dulu. Khususnya kisah-kisah dunia persilatan ala Jawa, seperti karya SH Mintardja, penulis serial silat yang mendapat penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award 2012 kemarin lantaran telah menulis 400 buku yang berdekatan dengan sastra, sejarah, dan budaya negeri.

Penuh semangat, pagi tadi beliau bercerita tentang skema itu—jumlahnya berlembar-lembar sampai bikin mataku melongo, terlebih ketika beliau berencana menjadikannya buku (pantas akhir-akhir ini sering terlihat menyendiri di kamar). Bila soal karya-karya sejenis itu, ayahku hafal betul penokohan, alur, nama-nama jurus, latar peristiwa, sampai keterhubungannya. Memang sih sudah lama juga kuamati beliau cenderung konsisten membaca karya-karya bertema serjenisnya—hanya saja belum pernah punya semacam teman sehobi (anggota keluarga/komunitas) untuk diskusi cerita dari bacaan fovorit yang serupa.

Rencananya buku itu mungkin seperti esai, atau ulasan, aku belum tahu persis. Tapi jarang-jarang bapakku terbuka soal keinginannya. Itulah yang membuatku pagi ini, akhirnya, membuat resolusi dadakan. Sekalipun baru draft nonriil yang nangkring seharian di kepala.

Mencari buku-buku SH Mintardja di era sekarang cukup sulit—sudah menjadi rahasia umum. Padahal sudah coba kucari juga sejak tahun 2010 kemarin. Barangkali sudah langka. Mungkin juga akan repot bila mengumpulkan dari koran karena naskah itu semula serial yang diposting di pojok koran kedaulatan rakyat. Yang punya hanya mereka yang sejak dulu kala cukup memiliki dana untuk mengoleksinya. Itu pun mungkin era sekarang buku-buku itu gak bisa dibeli begitu saja.

Tapi eh.. lagi-lagi alam semesta mendukung mimpi… aku pun akhirnya menemukan beberapa situs di mana naskah-naskah itu bisa di-download.
Rupanya sampai sekarang, para penggemarnya (di mana pun mereka berada) tidak tinggal diam. Buktinya blognya pun bertebaran di dunia maya tak cuma satu saja, pembaca tak perlu pusing memburu buku-bukunya yang langka itu, karena di web sudah ada. Aku juga memasang salah satu linknya di kolom blog tetangga. Barangkali pembaca ingin menengok juga karya-karya SH Mintardja :p. dan sebagai informasi, profil SH Mintardja dapat dilihat di alamat ini

Di samping itu, sepenggal cuplikan cerita yang disampaikan ayahku pun sudah cukup membuatku ikut-ikutan tertarik.

Tiba-tiba aku merasa sedang ditemukan dengan tugas baru yang menguji keprofesionalanku sendiri, yang kurasa merupakan tugas yang sebenarnya. Tanpa ada embel-embel harapan terhadap gaji atau sejenisnya (mengingat sejak kerja, aku sudah tidak minta subsidi lagi, kecuali orang tuaku yang tiba-tiba memberinya). Yeah, tidak lain tidak bukan adalah menjadi editor ayahku sendiri. Editor dalam arti sebenarnya, sesuai standar penerbit konvensional, sekalipun entah akan diajukan kemana atau diterbitkan di mana itu soal nanti. Terdengar hal yang tidak mudah. Tapi di tengah ide besar Ayah, akulah yang paling dekat dengan garis pelaksanaan. Tapi entah, apakah nanti aku mampu…

Ah, omong-omong mengapa bisa aku melulu mengincar alur filsafat di karya-karya barat yang hasil terjemahannya seringkali amburadul itu, sementara di negeri sendiri, ada mahakarya yang isinya gak hanya soal filsafat, tapi juga sejarah, budaya, dan spiritual (lebih luas lagi)… mereka juga patut diperhitungakan. Bagaimana tidak, aku menemukan salah satu penokohan di buku itu—seorang guru (ahli) bisa menyimpan dan menurunkan ilmunya dalam kerendahhatian yang total, namun juga menjadi teror bagi musuh paling ditakuti sekalipun. Keadiluhungan sebuah peradaban yang dikonsep dalam karya bertema dunia persilatan. Seperti di salah satu serial Nagasasra Sabuk Inten… Cuma Indonesia yang punya, orang barat tidak punya. Tapi tetaplah.. demi menambah wawasan, semuanya mesti dibaca, sebab semuanya penting.

Hm, barangkali sudah waktunya aku rehat dari setumpuk buku-buku baru yang kuborong sejak awal tahun lalu, demi membaca juga apa yang pernah dibaca ayahku. Lagipula toh akhir-akhir ini juga sedang gak mud bahas persoalan global terkini dan hal-hal baru yang terjadi belakangan. Selain menyita waktu, kabar-kabar terbaru hanya jadi menguras emosi dan pikiran tanpa kita bisa berbuat apa-apa.

Yuhu, sekilas curhat, sejak dulu aku memang selalu tertarik dengan para orang tua dan sesepuh di berbagai belahan bumi, dengan tradisi mereka akan sastra. Dari nilai-nilai lama yang seakan bertahan itu, aku menemukan apa yang disebut dengan bakat kesabaran, ketekunan, kefokusan, dan kekayaan batin. (Agak sedikit dekat dengan angan-angan pekerjaan baru akhir-akhir ini).

Mengingat bahwa orang Jawa membaca tembang dan sastra ala semiotikanya, orang Bali menulis sastra di daun lontar, orang Gorontalo menulis puisi sastra lisan yang bernama Tanggomo, belum lagi folklor yang bila se-Indonesia dikumpulkan, mungkin bakal setebal 2 kali naskah Centhini (belum tentu cukup), dan masih banyak lagi sampai pikiranku jadi melayang-layang. Masyarakat tradisional kita juga dekat dengan tradisi naskah dan teks (tiba-tiba inget matkul Filologi). Itu artinya, tidak pernah ada zaman yang benar-benar “ketinggalan”. Sekalipun globalisasi berjalan dengan cukup pecicilan. Tapi kearifan dan ajaran moral berdiam dalam setiap sudut bumi dan nyaris bertahan, bukankah begitu…?

Setiap negara punya keunikan. Bila itu pun hanya dipandang dari sudut produksi karya. Serial bergenre dunia persilatan memang hal yang biasa di kalangan sebagian masyarakat, tapi asing di zaman pop terkini. Tradisi membaca adalah tradisi yang sudah ada sejak dulu kala. Orang Jawa misalnya wajar bila rata-rata menyukai dan mengikutinya. Barangkali kecenderungan manusia tertarik pada yang bersambung dan misteri, sehingga harus diikuti.

Seperti para mbah yang mengikuti kisah-kisah wayang, atau anak-anak muda seusia kuliahan yang setia mengikuti serial kartun One Peace setiap Minggu jam 8, dan masih banyak lagi. Budaya mengikuti serial tampaknya memang fenomena unik. Apakah kegiatan itu sia-sia? Belum tentu. Jangan salah pula, orang Jepang maju seperti sekarang juga karena mempercayai dongeng-dongeng dari pujangganya. Sastra dan salah satunya adalah Kinkakuji—berpengaruh besar pada masyarakatnya. Dan masih banyak lagi kebiasaan suku lama sedunia yang tidak jauh dari “terinspirasi karya sastra”.

tapi tunggu, sejauh mana sih sebetulnya kepedulian kita?

Kita mungkin lupa, kita memiliki Tan Malaka yang tulisannya bahkan jadi referensi Lenin di masa kepemimpinannya. Belakangan aku juga menelusuri situs naskah hukum kelautan yang jadi patokan dunia, yang sudah dianggap fenomena mendunia—Juga asli Indinesia. Bila kau cukup mengenal Tan Malaka, Pramoedya, atau Soekarno, atau barangkali Gajahmada di zaman Majapahit… maka bayangkan betapa sebetulnya kita justru tak hanya setara, tapi menjadi ikon yang cukup berwibawa… hanya saja kita berada di zaman yang bukan saat itu. Hanya agak mudah silau saja dengan hal-hal yang jarang dijumpa. Atau memang seperti sedang ada yang hilang dari bangsa kita.. identitas sejatikah?

Sungguh manusia baru bisa disebut setara harga dirinya di mata bangsa lain, kalau mereka bersikap biasa-biasa saja bila melihat bangsa asing berjalan bersandingan. Bagaimana bisa disebut setara, kalau bacaan aja melulu soal terjemahan asing saja? (*tampar diri sendiri). Diam-diam bangsa asing—yang kita bangga bila bisa berfoto bersama itu—juga lagi sibuk mengincar milik kita lho.

Itulah kenapa kurasa, mata kita terlalu banyak tersihir oleh rumput di halaman tetangga, sampai lupa di bawah tanah kita tersimpan emas yang membuat ngiler bangsa tetangga. Sampai di sini, aku mentok untuk lanjut berargumen dulu, sebab lebih butuh membaca daripada menceritakan gambarannya. Sebelum menyelami lebih jauh, amat lucu bila tidak tahu seperti apa isi naskahnya.

Dan kembali ke point awal: demi profesionalitas, aku melangkah untuk menepi dulu di karya fenomenal negeri sendiri. Butuh lebih banyak belajar.

Bismillah.
Doakan saya 🙂

 

Salam dunia persilatan 🙂

gambar diambil dari google image

gambar diambil dari google image