Review: Le Petit Prince

img_20180914_143734

Judul: Le Petit Prince
Penulis: Antoine de Saint-Exupery
Penerbit: PT GPU
Cetakan ke-10: tahun 2018
Jumlah halaman: 118
ISBN : 9786020323411

 

Dalam pengasingannya pada tahun 1941 hingga 1943 di Amerika, Antoine de Saint-Exupery menulis sesuatu yang lain dari biasanya. Tentang seorang pilot yang terdampar di Gurun Sahara dan bertemu dengan seorang pangeran kecil dari planet lain. Dan buku ini untuk anak-anak?

Kenyataannya memang banyak tokoh di dunia ini tetap menulis ketika berada di dalam tahanannya. Dan banyak penulis cerdas membuat alegori untuk mengatakan sesuatu tanpa tampil “blak-blakan”. Termasuk Antoine yang menulis novel ini dalam pengasingannya. Saya jadi ingat Pramoedya A.T. yang juga sempat menulis novel ketika diasingkan di Pulau Buru. Dan buku-buku yang ditulisnya bukan tentang hal-hal yang biasa. Seperti Duong Thu Huong yang tetap menulis selama dan setelah dipenjara oleh pemerintah sosialis Vietnam yang pernah ikut diperjuangkannya. Diasingkan tidak membuat seorang penulis sejati lantas berhenti berkarya.

Bertemu seorang anak berpakaian aneh ini juga pengalaman yang menakjubkan bagi si pilot dalam novel ini, yang merupakan representasi si penulisnya sendiri. Pangeran kecil ini innocent, ia mempertanyakan segala hal yang tak dipikirkan orang-orang dewasa pada umumnya. Entah mengapa saya selalu suka tokoh-tokoh innocent entah dalam buku maupun film. Tokoh-tokoh polos menurut saya lebih berani mempertanyakan sesuatu dari dasar, tidak sungkan bertanya tentang hal-hal yang memang ada di kepalanya, dan mereka biasanya akan terbuka terhadap segala jawaban yang ditemuinya.

Ia bercerita pada si pilot bahwa ia telah mengembara ke planet-planet tetangganya yang berisi orang-orang dewasa yang begitu aneh. Tak kalah aneh pula yang ia temui tatkala ia sampai di bumi. Kisah si pangeran cilik melakukan perjalanan dari planet ke planet ini sungguh tidak bisa dilewatkan.

“Apa yang mereka cari?” Begitu yang ia tanyakan ketika menemui si tukang wesel di sebuah stasiun di Planet Bumi yang penuh dengan orang yang terburu-buru. “Manusia,” kata Pangeran Cilik, “mereka menjejalkan diri ke dalam kereta api kilat, tetapi lupa apa yang mereka cari.” (hlm 97)

Sisi lain yang menarik dari novel ini menurut saya adalah tema tentang kasih sayang yang universal. Si pengeran cilik diceritakan hanya mengenal 1 bunga mawar di planetnya. Bunga ini sangat bawel tapi yang paling peduli. Meskipun ia bertemu dengan ribuan bunga yang sama di bumi, pada akhirnya hanya satu bunga itulah yang paling penting. “Kamu menjadi bertanggung jawab untuk selama-lamanya atas siapa yang telah kamu jinakkan” (hlm 88). Begitulah hingga ia harus pergi karena merasa telah membuang waktu dengan meninggalkan si bunga sendirian di planetnya.

Gaya bahasa dalam novel ini memang terkesan sederhana sehingga mudah dipahami, tapi isinya yang bertema filsafat ringan mengajak pembaca merenungi hidup yang mungkin sudah terlalu biasa bagi orang dewasa. Buku ini berhasil mengubah banyak hal tak lagi biasa dengan kembali pada pertanyaan polos ala anak-anak.

Meskipun demikian, novel yang telah diterjemahkan ke dalam 200 bahasa ini lebih direkomendasikan untuk remaja ke atas.

Review “Matilda”

img_20180912_093155_hdr

Judul: Matilda
Penulis: Roald Dahl
Ilustrasi: Quentin Blake
Penerbit: Noura Books
Jumlah halaman: 278
Cetakan I: tahun 2018

 

 

 

Matilda Wormwood adalah bocah cilik yang genius. Ia telah bisa membaca secara autodidak di usia 4 tahun. Dan pada usia 5 tahun, ia tidak hanya menghabiskan seluruh buku anak di perpustakaan umum, tetapi juga membaca buku-buku karya penulis besar seperti Charles Dickens, Ernest Hemingway, hingga George Orwell. Matilda tumbuh menjadi sangat cemerlang di usianya yang masih sekecil itu. Menurut gurunya, bahkan ia sebetulnya sudah cocok masuk universitas dua tahun mendatang. Ironisnya ia tidak hidup di lingkungan yang sesuai dengan yang ia butuhkan.

Ayahnya adalah pengusaha mobil bekas yang licik dan hanya menyayangi anak lelakinya. Ibunya hampir setiap sore meninggalkannya di rumah demi bermain bingo. Di rumah, ia menghadapi kedua orang tua yang selalu mengabaikannya, bahkan menganggapnya koreng. Matilda harus berkerja keras mengingatkan mereka bahwa usianya sudah cukup untuk bersekolah. Dan pada akhirnya ketika ia masuk sekolah, tantangan demi tantangan masih harus dihadapi. Ia harus bertemu dengan seorang kepala sekolah yang tiran dan membenci anak-anak. Di rumah dan di sekolah, Matilda selalu bertemu “monster”. Orang-orang dewasa seperti mereka bahkan tak peduli ada yang istimewa pada diri Matilda. Namun alih-alih membuat iba, polah Matilda di kemudian hari justru mengundang ketakjuban dan tawa.

Bagaimana tidak, demi mencegah dirinya meledak karena tertekan, ia membuat hal-hal konyol untuk memberi “pelajaran” pada orang-orang dewasa yang suka menindas, bahkan tanpa ketahuan. Hingga datang pada suatu hari di sekolah, sebuah keajaiban muncul. Matilda tiba-tiba saja dapat menggerakkan benda-benda tanpa menyentuhnya. Kemampuan yang ajaib itu pun akhirnya ia gunakan untuk menolong orang yang paling peduli dengannya.

Tentu saja buku ini berhasil membuat saya jatuh cinta sejak halaman pertama hingga terakhir. Tidak hanya cara bercerita Roald Dahl yang enak diikuti, bahasa yang ringan, dan plot yang menarik, tapi juga banyak nilai moral yang dapat direnungkan. Humor cerdas yang bertebaran dalam buku ini juga nggak kalah menariknya. Tak heran sih buku ini pernah memenangkan Children’s Book Award pada tahun 1988 dan 1999.

Novel ini sebetulnya bisa dibaca semua umur, recommended banget deh pokoknya. Saya terbiasa mendaftar buku-buku jadul yang berkualitas dan masih relevan dari zaman ke zaman. Dan ini salah satu yang ada di daftar itu kalau menurut saya. Meski bisa dibaca segala usia, tetapi bahasanya sedikit lebih rumit untuk anak-anak di bawah umur. Saya jadi pengin baca karya Roald Dahl yang lain.

 

Review: Modern Islamic Parenting

35564780_2087462968242531_2209632391708803072_n

Judul: Modern Islamic Parenting
Penulis: DR. Hasan Syamsi
Penerbit: Aishar Publishing
Cetakan 1: November 2017
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-602-1243-08-4
Jumlah halaman: 312

 

Hampir tidak ada gaya parenting yang sempurna di dunia ini. Tapi setiap orang tua menginginkan cara yang ideal untuk menerapkannya. Meski bertahun berkecimpung di dunia pendidikan anak, saya tetap merasa harus belajar lebih banyak. Sebab mengajari anak orang lain ternyata bisa beda ceritanya dengan mengajari anak kandung sendiri. Mendidik anak sendiri tidak hanya terbatas sekian jam di kelas, tetapi sepanjang waktu di mana pun itu. Tanggung jawabnya juga lebih berat. Konon bahkan dilaporkan kepada Allah kelak di hari akhir. Dalam proses belajar mendidik anak, tak jarang saya mengadopsi ilmu dari berbagai buku dan artikel. Terkadang masih terpengaruh juga dengan beberapa gaya mendidik orang tua saya. Tetapi pada intinya, saya setuju anak-anak (di keluarga muslim) mestinya dibesarkan sesuai dengan nilai-nilai islami pula. Nah dari sini saya tahu, ini sedikit menantang bagi saya mengingat anak-anak tumbuh di lingkungan islami yang sedikit beragam. Maklum tinggal di Jawa, keluarga besar kami tergolong plural. Tapi tentu saya tidak mempermasalahkan keberagaman itu, karena anak-anak akan tetap tumbuh dalam dunia yang menantang di luar sana, yang perlu bagi saya sebagai orang tua, menjadi pengarah yang mampu membawa mereka pada pencerahan, dan bukan sebaliknya. Memiliki anak-anak yang mampu menjaga dirinya dan tak mudah terbawa arus negatif pastilah sungguh damai rasanya.

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imlan: 159)

Beruntung saya menemukan buku Modern Islamic Parenting yang ditulis oleh DR. Hasan Syamsi melalui pengalamannya selama 20 tahun membesarkan anak-anak. Menjadi orang tua kan, meminjam istilah Elly Risman, nggak bisa terjun bebas. Melainkan harus belajar juga. Saya juga membacanya berulang-ulang selama beberapa minggu ini dan merasa tertarik dengan isinya. Buku ini berisi paduan mendidik anak dengan lembut sesuai ajaran Nabi namun masih relevan diterapkan di masa sekarang. Sayangnya buku ini belum terdaftar di goodreads. Padahal menurut saya, isinya mencakup hampir semua yang dibutuhkan para orang tua mendidik anak-anaknya untuk berkarakter islami. Secara garis besar buku ini menerangkan beberapa poin untuk dijadikan pedoman dalam membentuk anak-anak yang islami. Pertanyaan-pertanyaan kecil saya terkait bagaimana sih cara paling ideal membentuk generasi islami, terjawab di buku ini.

Dibuka dengan uraian singkat terkait tanggung jawab orang tua terhadap kehidupan anak-anak termasuk juga pentingnya memposikan diri sebagai orang tua yang diidolakan anak. Sampai di sini, saya menyadari perlunya refleksi diri sebagai orang tua selama ini karena bagaimanapun orang tualah figur utama anak-anak. Mereka akan meniru dan bertindak sesuai apa yang dilihat sejak dini. Menerapkan kebiasaan baik seperti mengucapkan tolong, maaf, dan permisi, menggosok gigi, sholat, bahkan menyukai buku meski belum bisa membacanya, mudah dilakukan ketika mereka masih berada di usia dini. Nah ternyata, mereka pun juga peniru ulung yang belum bisa memilah baik dan buruk. Belajar dari pengalaman, saya pernah shock mendengar anak pertama saya mengucapkan istilah kasar yang tidak pernah didengar di rumah. Maka kami yang orang rumah selalu mengalihkan pada istilah lain dan lucu untuk diucapkan hingga ia lupa dengan sendirinya. Sejak itu, saya jadi tahu pentingnya menjaga anak-anak dari efek buruk lingkungan luar yang kurang sesuai dengan prinsip keluarga.

Pada buku ini, ada banyak poin yang dibahas terkait mendidik anak secara islami, yaitu seperti:

  • Memahami jenis mainan dan hadiah untuk anak,
  • Pentingnya belajar menyelesaikan masalah,
  • Menghukum dengan tepat,
  • Pendidikan seks usia dini,
  • Hingga pada membentuk karakter anak sejak dini.

 

Tak hanya itu, buku ini juga merangkum hal-hal yang akan ditemui orang tua tatkala anaknya beranjak remaja dan apa yang sebaiknya dilakukan. Tak lupa, karena ini buku yang full mengarahkan para orang tua membentuk anak-anak yang soleh, maka di beberapa bab di buku ini Hasan Syamsi juga menambahkan arahan mengenai bagaimana agar anak-anak kita dapat menjadi pengafal Al-Quran, salah satunya adalah meminimalisir atau malah menjauhkan mereka dari hingar bingar televisi dan gadget. Di akhir halaman, buku ini dilengkapi pula dengan doa agar anak-anak kita dimudahkan dalam menghafal Al-Quran. Sekalipun saya nggak muluk-muluk ingin anak saya mengahafal seluruh isi Al-Quran, tapi saya memprioritasnkan hanya hal-hal baik yang dipelajari mereka pada usia dini sebagai landasan untuk proses belajar di tahun-tahun berikutnya. Dan tak terasa, di usia anak pertama yang belum 3 tahun, alhamdulillah, ia hafal beberapa surat (yang pendek) Juz ‘Ama, doa sehari-hari, dan juga ayat kursi.

Bahasa yang dituturkan dengan ringan pada buku ini membuat pembaca mudah memahaminya. Namun menurut saya, tiap bab di buku ini dibahas dengan kurang mendalam. Tiap subbab dalam buku ini kalaupun dipecah menjadi beberapa buku pun tetap bisa. Kendati demikian, buku ini isinya berbobot dan mudah dipahami, meskipun susunan per pembahasan sedikit acak-acakkan. Membaca buku ini ibarat sedang menyimak seorang ustadz dalam sebuah forum yang tengah sibuk menjawab seabrek pertanyaan dari para jamaah. Terkadang tidak berurutan tapi setiap pembahasan mengandung informasi penting yang rugi kalau dilewatkan.

“Kita ajarkan kepadanya bahwa dusta dan iman tidak menyatu, dan dusta kecil ataupun besar sama saja.”–(h. 236)

Sayang ditemukan banyak kalimat negasi yang pilih penulis dalam buku yang bertema pendidikan islami ini, padahal kalimat positif lebih mudah dipahami ketimbang yang negatif. Seperti pada halamn 40- “Ketika salah seorang teman berbuat tidak baik, jangan berlaku kasar dan berkata kepadanya, ‘Saya tidak ingin kau membawa perilaku burukmu ke rumah kami'” dan kalimat selanjutnya hanya berupa “Usahakan untuk memberi penjelasan kepadanya dengan tenang.” Pada halaman 45 bahkan hanya berisi contoh-contoh kalimat ancaman yang tidak boleh dilontarkan tanpa dilengkapi dengan alternatif kalimat yang positif yang dapat diterapkan orang tua. Namun tidak mengapa, dengan begitu, pembaca seolah diajak aktif berpikir dan kretif mencari sendiri kalimat terbaik untuk dikatakan kepada putra-putrinya. Syukurlah kalimat negatif yang sejenis hanya sebagian kecil saja di buku ini.

Buku ini menarik untuk dibaca dan diterapkan orang tua kepada anak-anaknya. Apalagi seperti halnya buku-buku islami lain, materinya didukung oleh pengalan surat Al-Quran dan hadist yang sahih. Kalau sudah begitu saya, jadi tambah luluh. Namun orang tua meski tak habis ikhtiarnya untuk menjadikan anak-anaknya ahli surga, perlu juga bertawakal. Sebab, hasil kan tetap saja di tangan Allah. Saya bahkan ingin sekali menjadikan isi buku ini pedoman. Barangkali sejak selesai baca ini saya terdorong membuat semacam evaluasi dalam jurnal pribadi berdasarkan poin-poin di buku ini seiring dengan perkembangan dan proses belajar saya sebagai orang tua.

Buku ini diperuntukkan bagi siapa pun yang membutuhkan semacam gambaran bagaimana mendidik yang tepat dan islami sesuai dengna anjuran Nabi. Recommended bagi orang tua, calon orang tua, atau siapa pun yang tengah berjuang mendidik anak-anak.

 

Of Mice and Men by John Steinbeck: Ulasan Singkat

32212419_1706975229351864_5420380845040992256_n

Judul: Of Mice and Men (Tragedi Hidup Manusia)
Penulis: John Steinbeck
Penerjemah: Shita Athiya
Penerbit: Selasar Surabaya Publishing
Cetakan 1: September 2011
Bahasa: Indonesia
ISBN: 978-979-25-9413-3
Jumlah halaman: 150

 

Blurb:

Berusahalah memahami masing-masing manusia, karena dengan memahami satu sama lain. kalian bisa bersikap baik satu sama lain. Mengenal baik seorang manusia tak pernah berakhir dengan membencinya dan nyaris selalu menjadi mencintainya.

 

George bertubuh kecil namun cerdas dan pemimpi. Ia ingin suatu hari dapat memperbaiki hidup, tak lagi menjadi buruh kasar dan memiliki tanah sendiri. Sedangkan Lennie bertubuh besar namun memiliki keterbelakangan mental. Mereka harus pindah lagi dan mencari pekerjaan pada tuan tanah yang baru di Soledad.

Mereka terusir karena sebuah kasus. Lennie dituduh memperkosa seorang gadis, padahal yang sebenarnya ia hanya tertarik pada tekstur roknya. Bahkan suka memegangi hewan-hewan kecil seperti tikus, kelinci, dan anak anjing hanya karena tertarik dengan bulu-bulunya, tanpa menyadari bahwa perbuatannya membuat hewan-hewan kecil tersebut terbunuh. Hal-hal kecil seperti yang Lennie lakukan ini sering kali menyulitkan hidup sahabatnya, George yang tengah berjuang mewujudkan impian.

Novel ini terbit tahun 1937, pada dekade 1930-an, ketika masih terjadi krisis global. Bahkan merupakan kisah yang terinspirasi oleh pengalaman hidup penulis sendiri yang pernah menjadi buruh. George dan Lennie merepresentasikan kaum buruh kasar. Novel ini menceritakan dua orang sahabat dari kelas pekerja kasar yang melakukan perjalanan bersama karena perasaan sepi. Goerge pun membutuhkan Lennie sebagai teman perjalanan yang tak memiliki niat jahat sedikit pun.

“Tak perlu otak untuk menjadi orang yang baik. Kelihatan bagiku kadang-kadang tepat terjadi sebaliknya. Lihat saja orang yang benar-benar pintar dan biasanya hampir tak pernah jadi orang baik.” (Hlm. 54)

Sebetulanya novel ini memiliki ide cerita yang sederhana. Memberikan pesan kepada pembaca bahwa memiliki teman yang menyulitkan lebih baik daripada tidak memilikinya sama sekali. Meski seolah bercerita tentang perjalanan 2 orang sahabat yang mengadu nasib dalam keadaan yang penuh keterbatasan, secara tersirat, Steinbeck lebih banyak bercerita tentang kondisi para buruh dan kisah-kisah kemanusiaan lain. Termasuk juga isu rasisme terhadap warga kulit berwarna.

Novel ini tentulah keren pada zamannya. Dituturkan dengan gaya sederhana ala Steinbeck dan ide yang dekat dengan kondisi masyarakat saat itu, membuat novel ini pantas meraih penghargan di bidang kesusastraan. Of Mice and Men, yang membuat miris perasaan ini pun menyuguhkan ending yang bikin geleng-geleng kepala.

John Steinbeck sendiri konon telah menerbitkan 27 buku selama hidupnya, termasuk 16 novel, 5 kumcer, dan 6 buku nonfiksi. Dan setelah membaca karya yang ini, saya jadi penasaran sama karya Steinbeck yang lain.

 

 

Buku Single Pertama: Sehat dengan Resep Rumahan Ala Golongan Darah


IMG_20180505_230701Memasak bukan lagi kegiatan yang mengerikan bagi saya ketika kepepet. Kepepet yang saya maksud adalah sejak saya menikah, hamil, dan kemudian mesti merawat anak-anak. Saya baru sadar bahwa memasak makanan sehat itu begitu penting karena kalau beli di luar nggak selalu ada. Kita semua, terlebih anak-anak butuh sekali makanan sehat, bahkan sejak mereka masih berbentuk embrio. Satu-satunya cara menjamin mereka mendapat asupan sehat adalah membuatnya sendiri di rumah. Dan hanya seperti itulah memang motivasi seorang ibu sehinga tiba-tiba ia jadi suka ngubrek-ngubrek dapur. Di samping itu, rasanya memang urusan hidup sehat seluruh anggota keluarga lebih banyak tergantung dari dapur.

Hingga pada suatu ketika di tahun 2016 lalu, tiba-tiba saya mendapat tawaran menyusun buku resep bertema diet ala golongan darah dari seorang teman yang bekerja sebagai editor di Penerbit Javalitera. Antara senang dan ragu. Senang karena selalu ada pembelajaran baru di setiap pekerjaan yang akan saya selesaikan, dan ragu apakah nanti saya bisa. Masalahnya membuat resep makanan biasa saja nggak mudah, apalagi itu ditujukan untuk diet. Sesuai golongan darah pula. Berhubung kata teman saya, naskah tetap bakal diproof-kan ke ahli gizi sebelum diterbitkan, maka saya pun setuju mengerjakannya.

Sejak itu, hal-hal terkait dapur membuat saya terkagum. Konon jenis makanan tertentu dapat menimbukan reaksi yang berbeda pada tubuh yang berbeda pula. Pada cabai misalnya, tak seberapa parah efeknya dikonsumsi satu orang, tapi bisa berbahaya dikonsumsi yang lainnya meskipun sama-sama menyukai rasanya. Teringat Simbah Selatan (Ibunya ibu saya), pernah bercerita perihal jenis tumbuhan yang beracun bila salah mengolahnya, dan simbah utara (ibunya bapak) yang hobi menuliskan hal-hal terkait tumbuhan herbal, mengoleksi tanamannya, dan juga suka juga menceritakannya, maka saya pun percaya, memang segala hal yang tumbuh di sekitar kita, hampir bisa dikonsumsi. Tanaman kimpul, sejenis umbi-umbian, bisa dikonsumsi asal harus dari pohon yang daunnya tidak gatal. Di bidang tanaman obat, ada jenis tanaman insulin yang bila dikonsumsi tanpa menggunakan kapsul, rasa pahitnya bisa bertahan di mulut hinga 2 hari. Tapi semua itu butuh dipelajari. Seperti kata Eka Kurniawan dalam cerpennya “Kutukan Dapur”, karena beberapa bisa membuat sekarat bila engkau memakannya, dan yang lain membuatmu hidup bila memakannya dalam keadaan sekarat. Entah mengapa saya malah jadi penasaran “Rijsttafel” dan “Jejak Rasa Nusantara”-nya Fadly Rahman. Jadi pengin juga baca karya-karyanya Jean anthelme Brillant-Savarin, yang konon pernah menuliskan dalam bukunya, bahwa makanan juga juga berpengaruh pada psikologi manusia.

Untuk itulah saya bersyukur mendapat kesempatan menyusun buku ini, meski dua bulan rasanya nggak cukup kalau yang dibuat model begini. Saya jadi ingat proses ketika mulai dikerjakan. Demi menyusun buku ini, saya kudu menyiapkan referensi terkait golongan darah, menggolongkan lebih dahulu bahan yang boleh atau tidak boleh disertakan dalam resep ala diet sehat, kemudian mencari bahan makanan, menakar, memodifikasi dari resep yang sudah ada, tes rasa, hingga memotretnya. Resep sudah sesuai prinsip diet golongan darah tapi rasanya masih ambyar tentu harus diulang. Begitulah seterusnya sampai ketemu takaran yang pas dan masuk akal. Sempat nyesel sih kenapa nggak dari dulu saya belajar memotret makanan lebih serius karena di tahap pemotretan inilah saya sempat ketar-ketir.

Referensi yang paling banyak saya gunakan dalam proses ini tentunya buku-buku karya Dr. Peter J D’Adamo yang telah mengkaji lebih dalam mengenai hubungan golongan darah dan tipe pola hidup sehat yang sesuai. Penemu pertama golongan darah memang bukan Dr. Peter J D’Adamo, melainkan Karl Lansteiner. Namun kajian mengenai kesehatan lebih banyak ke Dr. Peter J D’Adamo. Ssebelum semua resep ini disusun dan dieksekusi, tentu saya membutuhkan daftar jenis makanan yang direkomendasikan atau tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi masing-masing golongan darah.

Daftar resep makanan dalam buku ini sebenarnya sangat akrab di lidah kita sehari-hari. Mudah pula dibuatnya. Tapi yang membuat buku ini berbeda karena bahan-bahannya sudah disesuaikan dengan golongan darah. Pada prinsip diet golongan darah ala Dr. Peter J D’Adamo, dikatakan bahwa setiap golongan darah memiliki reaksi tertentu yang berbeda terhadap satu makanan. Makanan tertentu bisa cocok dengan salah satu golongan darah, namun kurang sesuai bila dikonsumsi golongan darah lain. Misalnya, resep bertema daging lebih banyak ditemukan untuk golongan darah O karena memang golongan ini yang lebih cocok mengonsumsi daging. Sedangkan golongan darah A, lebih banyak membutuhkan sayur dan beberapa protein dari telur dan ikan yang masih diperbolehkan namun dalam jumlah terbatas. Resep dalam buku ini juga terbagi tiga di tiap-tiap golongan darah, yaitu masakan utama, kudapan, dan minuman.

Tentu saja, diet ala golongan darah hanya sebagai pilihan di antara banyak pilihan diet lainnya. Sifatnya hanya rekomendasi. Diet golongan darah sebetulnya lebih luas pembahasannya. Dalam diet golongan darah, jenis olahraga yang dianjurkan untuk masing-masing golongan pun berbeda. Namun buku ini tentu lebih banyak membahas di makanannya. Meski sebetulnya, bila kita mengaplikasikan semua resep ini tanpa memerhatikan jenis golongan darah, toh tak ada risiko yang besar. Hanya saja, tetap berlaku prinsip supaya sehat, tidak dianjurkan makan berlebihan. Di samping itu mesti didukung juga pola sehat yang lain seperti istirahat yang cukup, menghindari stres, dan berolah raga rutin.

Semua itu proses menyusun buku ini kelihatannya simpel, tapi ternyata cukup rumit. Hal terpenting dari menyusun buku ini, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, yaitu mempelajari memasak makanan sehat, belajar teknik memasak lebih banyak, dan banyak hal terkait pola hidup sehat. Dan selain itu saya jadi termotivasi untuk terus belajar hal-hal yang bermanfaat lain setelah ini. Meski pernah menyusun buku resep, bukan berarti saya lulus belajar masak. Sebaliknya, saya justru berpikir banyak hal mesti dibenahi. Masih perlu banyak belajar dan update pengetahuan mengenai manfaat bahan makanan di sekitar. Hal yang saya kerjakan ini tentu masih jauh dari sempurna.

Sebagai informasi, buku ini bisa ditemukan di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Semoga bermanfaat. 🙂

 

IMG_20180610_071706_HDR

IMG_20180610_072352_HDR

Para Perempuan dalam Dunia Alice: Review Novel Karya Alice Pung

Judul: Dunia Alice
Penulis: Alice Pung
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2011
Jumlah Halaman: viii + 310 halaman
ISBN: 978-602-8811-26-2

 

“Waaaahhh …,” nenek menyeletuk takjub saat melihat mobil berhenti dan menaikkan seorang penumpang.

Celetukan semacam itu sangat kerap terlontar dari mulut Alice dan keluarganya. Sebagai pendatang baru, kehidupan di Australia penuh dengan kejutan. Mobil bertebaran di mana-mana, dan mereka tak menolak berhenti hanya untuk seorang nenek tua! Di Kamboja, asal mereka, hal semacam itu jelas tidak mungkin.

Kejutan yang luar biasa mereka temukan justru di supermarket. Di rak, berderet daging kaleng dijual dengan harga sangat murah. Merasa girang, mereka membelinya beberapa.

Hari itu makan malam mereka istimewa, hingga televisi memperlihatkan sebuah iklan daging kalengan. Astaga! Ternyata daging yang mereka beli adalah makanan anjing.

Dunia Alice menuturkan kehidupan sebuah keluarga imigran Kamboja di negeri baru, Australia. Kocak dan menggelitik, novel ini benar-benar menghibur sampai ke sumsum tulang belakang Anda.

Saya selalu percaya setiap manusia memiliki dunia yang menarik untuk diceritakan bila saja mereka bisa berbagi dalam sebuah buku. Seperti halnya Alice Pung yang kali ini berbagai melalui novelnya yang berjudul Unpoliced Gem, yang setelah diterjemahkan versi Indonesia berjudul Dunia Alice. Buku yang tak sengaja dipinjam adik saya dari Perpustakaan Daerah ini rupanya menarik sekali.
Kebetulan saya juga senang membaca sejenis buku autobiografi atau semacam buku harian. Dunia Alice bercerita tentang kisah dirinya dan keluarga yang bermigrasi dari Kamboja pada masa konflik era Pol Pot. Alice baru lahir setelah keluarganya pindah. Ia tumbuh besar di negeri baru tersebut.

Dunia yang ia simak dan alami sejak kecil hingga memasuki masa dewasa adalah dunia yang cukup berwarna. Lewat kehidupan sehari-hari yang dialaminya, Alice kecil bercerita tentang generasi sang nenek yang menyatu dengan tradisi dan kemudian tentang ibunya yang lebih banyak dilatarbelakangi oleh peristiwa konflik. Alice lahir dari etnis Cina dengan keluarga yang selalu berjuang mempertahankan tradisi. Dengan daya kritisnya, ia menggambarkan nuansa culture shock yang dialami keluarganya di tengah kehidupan maju dan bebas seperti di Australia. Ia menuliskan berbagai perbedaan cara hidup keluarganya yang taat adat dan masyarakat negara yang ditempatinya dengan sekilas-sekilas. Dan secara tak langsung pula, Alice seakan membagi sekelumit pandangan seputar pengasuhan orang tua ala Asia, kebiasaan masyarakat, opininya mengenai negara yang ditinggali, beberapa kisah tragis negeri yang ditinggalkan menurut cerita nenek dan ayah meski dengan cara humor, hingga cerita lucu dan romantis ketika jatuh cinta pertama kali dengan seseorang yang berbeda etnis dan asal negara di kemudian hari.

Menurut saya, banyak hal menarik di buku ini yang sayang untuk tidak dibocorkan, beberapa di antaranya adalah:

Pertama,
Alice kecil akrab dengan perseteruan orang-orang dewasa. Di benaknya, orang dewasa adalah manusia-manusia rumit. Seperti iklim umum di keluarga Asia, ibu mertua bahkan jarang sekali dapat sehati dengan menantu perempuan. Alice kecil tentu tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menyampaikan betapa itu tidak menyenangkan, kecuali hanya diam. Baik nenek maupun ibunya tentu dua orang yang sama berharganya. Di samping itu, biasanya figur anak-anak adalah nenek-kakeknya karena mereka cenderung lebih luwes. Demikian juga dengan Alice yang bahkan merasa bahwa semestinya neneknya hidup selamanya untuk dia sebab hanya neneknya yang mengatakan hal-hal baik tentangnya dan membuatkannya telur rebus setiap pagi. Sedangkan orang tuanya, terutama ibu yang telah sibuk bekerja dan mengurus anak-anak, selalu bersikap keras kepadanya dan jarang memiliki waktu untuk sekadar mengobrol.

“Seorang tidak ada yang mengingatkanku untuk bangga menjadi bagian dari kebudayaan yang berumur seribu tahun, tak seorang pun mengatakan bahwa aku ini emas dan bukannya kuning.” (h. 210)

Alice kecil juga merupakan anak-anak biasa yang memiliki bermacam tingkah konyol. Ia pernah punya kutu di rambutnya sehingga dijauhi teman-teman dan sepupunya. Suatu hari ia berkunjung ke rumah sepupu untuk bermain, namun para sepupu malah bersembunyi dan tak mau menemui Alice. Terbit ide iseng Alice dengan berbaring di karpet sepupunya dan membayangkan kutu-kutu tersebut menyerbu sela-selanya sehingga kelak menulari mereka.

Kedua,
Setelah beranjak remaja (mulai menstruasi), kebanyakan orang tua Asia (tradisi Timur) akan mendoktrin bahwa di luar sana laki-laki adalah penjahat yang sewaktu-waktu dapat memperkosamu di jalan. Bila kamu tidak perawan lagi, maka kamu tidak akan punya suami dan menikah yang layak, atau akan dianggap “benda” yang telah rusak. Seperti halnya orang tua Alice yang selalu mewanti-wanti dengan tegas untuk waspada dan jangan dekat-dekat dengan laki-laki. Dan itu salah satu cara orang tua khas Timur melindungi dan memberikan pendidikan moral pada anak-anaknya.

Suatu ketika Alice remaja menerima telepon dari teman laki-laki untuk pertama kali. Peristiwa itu membuatnya depresi karena seluruh orang berpikir hal terburuk tentang dia. Akhirnya karena peristiwa ditelepon cowok itulah, ia pun dihukum orang tuanya untuk menghabiskan seluruh waktu liburan di dalam kamar. Ditelepon seorang laki-laki adalah aib dan hal besar bagi remaja putri yang akan membuatnya jadi bulan-bulanan seluruh keluarga dan bahan gunjingan para tetangga. Hal ini agak berkebalikan dengan aturan orang tua ketika Alice beranjak dewasa, karena justru ia diharuskan membuka diri untuk mencari calon suami yang tepat.

Yang kauinginkan di usia lima belas tahun adalah memiliki pacar, dan bukan memilih calon ayah anak-anakmu di masa depan. Yang diinginkan pemuda berusia lima belas tahun adalah diterima cintanya oleh si gadis, dan mungkin lebih kalau ia beruntung–bukan memilih calon menantu untuk ibunya. (h. 110)

Alice memang tumbuh jadi remaja yang penakut tatkala dewasa, ragu, tak percaya diri, namun ada sisi kepribadian kuat di dalamnya yang membuatnya mampu bertahan di dalam setiap masalah. Alice Pung seakan menunjukkan bahwa didikan keras ala masyarakat Timur tidak selalu buruk. Ia berhasil menunjukkan dirinya sebagai orang yang memiliki sifat tangguh justru karena didikan itu.

Ketiga,
Alice hadir dari tradisi bernilai patriakhat di mana anak lelaki lebih berharga daripada anak perempuan, hal itu ditunjukkan dalam kisah masa lalu nenek Alice ketika menikah dengan sang kakek. Dalam tradisi ketimuran yang dipaparkan Alice Pung, tak peduli bila seorang perempuan sukses pendidikan ataupun pekerjaan, jika tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, tak punya penghasilan, dan tak bisa punya anak lelaki maka ia adalah perempuan tak berguna sehingga tak layak dinikahi.  Namun kedatangan mereka ke negeri semacam Aussi mengubah sedikit cara berpikir. Di buku ini saya banyak menemukan cerita kocak seputar perjodohan dan pernikahan yang bisa direnungkan sekaligus cukup menghibur.

Ketika dewasa Alice menyadari bahwa semua lelaki tidak sama seperti gambaran orang tuanya ketika remaja, ia menemukan Michael yang mengingatkannya akan karakter santun, romantis, dan sedikit rapuh seperti tokoh-tokoh dalam karya sastra yang sering dibacanya. Pendidikan formal, bahan bacaan, sekaligus lingkungan pergaulan semasa belianya membuat Alice juga begitu sering mengkritisi pria-pria asal budayanya sendiri. Ia tentu menemukan perbedaan mencolok mengenai gambaran lelaki dalam doktrin orang tuanya dengan lelaki dalam buku-buku dan pergaulan di sekolahnya. Tak hanya itu, lewat pengetahuan yang ia simpan dalam sifat introvertnya, ia pun mengkritisi pria model Barat yang baginya bersikap terlalu berlebihan sebagai wujud kesadaran atas keperempuannya yang utuh dan tak terjebak arus. Menunjukkan bahwa ada sisi feminis dalam diri Alice yang menarik untuk dikaji.

Saya juga suka pandangan Alice ketika berbicara perihal kesetaraan gender. Ia selalu mengalami perang batin dan keterasingan yang membuat saya tersenyum geli, merasa pernah di posisi itu. Salah satunya ketika berhadapan dengan kebiasaan wanita Barat mencium teman-teman prianya setiap bertemu. Terutama ketika melihat langsung para wanita berkontak fisik dengan Michael, pacarnya, meski ia bersikap menerima dan tak ingin terlihat mengawasi kekasihnya.

Secara sekilas ia juga mengkritisi sikap Gemma, salah satu teman Michael, yang mewakili para wanita Barat yang mencoba menjadi feminis negara dunia ketiga.

Kalau mereka menghormatimu, mereka akan mengurangi cium-cium, kau tahu, kataku pada diriku sendiri, lagi pula kau pacarnya. (h. 272)

Hal itu menunjukkan karakter Alice yang terbuka dengan hal-hal baru namun tetap menghargai tradisi aslinya sendiri. Ia tipe pendatang dari Timur yang cukup kritis yang tak asal mengikuti cara Barat.

Keempat,
Sejak pindah ke Austarlia, ibunya mengalami culture shock lebih parah daripada anggota keluarga yang lain. Ia pun menyebut masyarakat kaukasoid sebagai hantu putih yang begitu berbeda dunia dengan mereka. Ia juga tak bisa berbahasa Inggris sehingga membuatnya asing di antara orang-orang di sekitarnya, terlebih ketika Alice, Ayah, dan anggota keluarga lain pada akhirnya fasih berbahasa tersebut dan sesekali menggunakananya ketika makan bersama. Membaca Dunia Alice, membuat saya jadi ikut hanyut dalam pergantian suasana yang disuguhkan.

Diceritakan bahwa sang ibu adalah sosok workaholic, ia merasa hidupnya runtuh dan tak berarti setiap kehilangan pekerjaan dan pendapatan, meskipun sebetulanya dengan pekerjaan sang suami yang cukup bagus, ia bisa juga tidak perlu bekerja. Hal itu membuat setiap anggota keluarganya memberikan permakluman yang luas. Dengan kesibukan sang ibu berbisnis atau bekerja di luar rumah itu, Alice pun menggantikan pekerjaan domestik dan mengasuh adik-adiknya. Sosok ibu menurut saya cukup menarik, meskipun memiliki sisi keras dan kaku, ia merepresentasikan perempuan Asia yang gemar bekerja keras dan tak ingin selalu tergantung pada suaminya. Bahkan seolah tak ingin tergantung pada keluarga besarnya. Saya kira, itu salah satu gagasan besar dalam novel ini. Mengingat banyak tokoh perempuan yang lebih banyak dipaparkan dalam novel ini ketimbang tokoh prianya. Sedikit banyak, novel ini yang seperti mengingatkan saya pada ciri khas perempuan feminis.

Secara tidak langsung membaca novel ini membuat saya dapat mengenal akrab, tak hanya seorang Alice, tapi seperti apa kehidupan imigran Kamboja dengan segala keetnisan dan budayanya itu harus tinggal di negeri seperti Melbourne Australia. Dan lebih dari itu, saya menikmati cara berpikir salah satu penulis mudah perempuan ini yang sedikit banyak tidak melepaskan unsur kritik sosial dan tradisi, yang melesat lebih maju daripada nilai-nilai lama ala keluarga asalnya.

Memang tidak mudah bertahan dalam bacaan yang jenis uraiannya panjang-panjang, namun ketika terus membacanya, saya justru banyak menemukan hal-hal yang dapat dipetik, seperti bahwa menjadi warga negara “dunia ketiga” memang cukup menantang. Novel ini dituturkan dalam bahasa yang runut dan meski beberapa kali menemukan hal yang mesti dibaca ulang karena saya tidak terlalu terbiasa membaca kalimat terjemahan yang rumit. Hal lain yang menarik adalah ketika sampai pada bab masa pacaran, Alice Pung menunjukkannya dengan deskripsi dan pembukaan yang tidak langsung sehingga pembaca dapat memahami dengan cara sendiri dan bebas memberikan penilaian.

Dari segala keistimewaan dan isi yang dapat ditemukan di novel ini, tak heran bila Dunia Alice terpilih sebagai Newcomer of The Year Award tahun 2007, kemudian masuk dalam kategori NSW Premier Literary Award dan Booksellers Choice Award.

Rangkaian kisah hidup yang terinspirsai kisah nyata penulis ini rasanya membuat saya beruntung telah membacanya.

Resensi Novel Erau Kota Raja

23657332

Judul: ERAU, Kota Raja
Penulis: Endik Koeswoyo
Penerbit: PING!!!
Jumlah halaman: 203
Tahun terbit: 2015
ISBN: 978-602-296-056-0

Kapal yang berlabuh akan selalu kembali ke dermaga untuk berlabuh. Begitu juga dengan cinta yang selalu tahu ke mana dia harus pulang (halaman 117).

Kirana pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tidak lagi bersama Doni yang telah bersamanya selama 4 tahun. Sekian lama ia menunggu dan berkali-kali menanyakan kepastian, namun Doni masih selalu ragu berkomitmen. Ia tak juga terlihat ingin membawa hubungan mereka ke arah pernikahan. Terlebih Kirana telah berusia 26 tahun, yang bagi wanita itu bukan lagi usia muda. Sementara ia terus berjuang mengatasi patah hatinya sendiri, Pak Joko bosnya yang sebenarnya tahu situasi hubungan Kirana, malah menugaskannya ke Kalimantan Timur untuk meliput upacara adat terpenting di daerah itu. Dengan masih menyimpan galau, ia pun tetap berangkat ke Kalimantan Timur. Tempat yang tak pernah terbanyangkan akan dikunjunginya.

Perjalanan Kirana memang tidak terlalu lancar. Sampai di sana ia menemukan berbagai kendala. Hotel-hotel dan penuh menjelang festival. Belum lagi transportasi sulit didapat. Padahal ia tidak familiar dengan daerah Kutai dan sekitarnya. Ia juga mesti berhadapan dengan Ridho yang sok kenal dan agak menyebalkan begitu datang di area souvenir. Namun untunglah ia bertemu dengan Pak Camat yang menolongnya menyediakan tempat tinggal di rumahnya, selain itu, ia juga bertemu dengan Reza. Kirana tak lantas akrab dengan Reza, namun pada akhirnya, Reza banyak membantu liputannya. Melalui perkenalannya itu, sedikit banyak kepribadian Reza yang unik mampu membuat Kirana kagum.

Tugas meliput Erau mampu sejenak mengalihkannya dari patah hati. Ia merasa beruntung berkesempatan melihat kebudayaan yang begitu kaya di Kaltim. Terlebih selama di sana, Kirana tinggal dengan Pak Camat dan istrinya yang ramah dan begitu perhatian seperti keluarganya sendiri. Liputannya pun terbantu karena ada Reza yang mau mengantarnya ke mana-mana dan hafal dengan perihal kebudayaan dan festival Erau. Kirana yang baru saja menjomblo dan tiba-tiba kagum dengan sosok Reza yang penuh kejutan, begitu pula dengan Reza yang tak pernah melihat gadis seperti Kirana sebelumnya tentu dapat memunculkan benih perasaan di antara keduanya.

Namun kedekatan mereka diiringi berbagai kendala. Kirana harus menghadapi Bu Tati, ibunda Reza yang protektif dan menganggapnya adalah pengganggu masa depan Reza. Bu Tati tiba-tiba merasa tak suka dengan Kirana sebab ia memiliki calon istri pilihan yang lebih pantas mendampingi Reza.
Masalahnya Reza terlanjut jatuh cinta dengan Kirana, pun juga gadis itu. Meski demikian mereka masing-masing menyadari kenyataan yang terjadi ketimbang mengutamakan keinginan pribadi. Kirana yang gesit, mandiri, dan berprinsip itu memahami situasi yang terjadi. Ia menjadi pembuka jalan untuk Reza dan ibunya berdamai hingga keinginan keduanya terjembatani. Meski tidak mudah dijalani baik Kirana maupun Reza.

Saya barangkali terkesan dengan sifat Alia yang teguh dan penyabar. Barangkali perempuan seperti Kirana dapat menyerah begitu saja ketika penantiannya tak kunjung menemukan jawab, sementara Alia mampu bertahan menunggu sekian lama meski Reza tak juga membuka hati untuknya. Saya tak terlalu suka dengan karakter Doni yang tak bernyali untuk serius menikahi Kirana, meski demikian akhirnya ia pun mendapat konsekuensi logis, yaitu kehilangan kepercayaan Kirana. Sedangkan tokoh Reza, di balik sifat keras kepala dan cueknya, tetap memiliki karakter positif, yaitu memiliki kepedulian dengan masyarakat di daerahnya dan keukeuh mempertahankan pilihan hidupnya, hingga pada akhirnya mampu membuktikan bahwa dirinya memang ingin berbakti pada sang ibu.

Erau, Kota Raja merupakan versi novel yang sebelumnya diadaptasi dari film yang judulnya sama. Terlihat dari pemilihan gambar di covernya yang diambil dari tokoh-tokoh filmnya. Meski setting yang diambil dari novel ini adalah Kalimantan Timur dengan festival Erau-nya yang megah dan meriah itu, tema besar ini lebih pada seputar permasalahan yang dialami oleh umumnya perempuan usia 26 tahun. Terutama tentang apakah itu jodoh, bila jodoh itu ada siapakah ia. Selain itu, melalui cerita hidup Reza dan Kirana, novel ini juga sedikit mengingatkan pada kita apakah pekerjaan yang dijalani selama ini sudah sesuai dengan hati.

Kita akan mengikuti cara khas Kirana yang cukup bijak ketika menyelesaikan permasalahannya, Reza, hingga ibunya. Pun ketika akhirnya memutuskan langkah hidupnya selanjutnya. Juga akhir yang menarik tentang rahasia jodoh yang selalu ia pertanyakan.

Namun sayang, interaksi dan dialog antara Kirana dan Reza agak kurang menggigit. Saya sendiri tak terlalu terhanyut suasana yang mestinya terbangun romantis karena barangkali selain pertemuan mereka singkat, obrolan terkesan datar. Proses move on Kirana juga terkesan cepat untuk pasca berakhirnya hubungan yang telah 4 tahunan dijalani. Untungnya interaksi dengan tokoh lain cukup menarik untuk diikuti, terlebih ketika Kirana harus menghadapi Ibu Tati yang semula membencinya dan Alia yang cemburu dengannya.

Melalui novel ini, kita sedikit banyak membaca perjalanan Kirana yang dapat menjadikan pelajaran hidup bagi pembaca, juga memberikan motivasi untuk tetap berusaha bangkit dari masalah. Novel yang memiliki 204 halaman ini dituliskan dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Sisi menarik novel ini juga terletak pada penggambaran suasana yang membuat kita seolah ikut jalan-jalan menonton keriuhan festival Erau. Selain itu, plot dan penyelesaian konflik tidak terkesan berlebihan.

Novel ini reccomended untuk ditambahkan di daftar koleksi.

Resensi Novel Haseki Sultan

novel Haseki Sultan

novel Haseki Sultan

Judul: Haseki Sultan
Penulis: Zhaenal Fanani
Editor: Addin Negara
Penerbit: Divapress
Tahun Terbit: Oktober 2014
Tebal: 480 halaman
ISBN: 978-602-296-036-2

Sebelum membaca buku ini, saya hanya tahu sedikit sejarah Turki Ottoman dan sekelumit cerita Harem melalui film serial yang sedang berlangsung di salah satu stasiun TV. Dapat dikatakan Sulayman adalah raja tersukses dalam sejarah Islam dan merupakan terbesar di Eropa pada abad ke-16. Di bawah kekuasaannya, armada Turki Utsmani bahkan menguasai laut Tengah hingga teluk Persia.

Banyak hal yang terjadi di istana Ottoman tak lepas dari pengaruh yang datang dari area Harem. Harem adalah istana khusus para selir. Di dalam Harem, ada ratusan wanita menunggu panggilan untuk melayani sang raja. Penggilan tersebut dianggap penting bagi setiap gadelki (calon selir) yang dapat mengubah nasib untuk selamanya. Ratusan wanita tersebut harus menunggu sampai raja menginginkannya. Banyak di antara mereka yang tidak terpilih akan dilempar ke medan perang untuk menjadi pelayan prajurit. Upaya ini tidak lepas dari pengaruh para kasim dan orang-orang yang cukup penting di sana. Mereka tidak akan terpilih bila tidak ada kasim yang “mempromosikan” kepada Sultan. Dari sanalah nuansa yang mirip persaingan dagang terjadi selayak yang terjadi kompleks remang-remang. Terlebih seorang kasim yang berhasil meluluskan selir untuk menjadi istimewa, derajatnya pun ikut terbawa.

Sedangkan Haseki adalah istilah untuk merujuk pada selir kesayangan sultan. Apakah syarat untuk menjadi selir terpilih Sultan? Selain ia lolos dari seleksi awal, ia harus cantik dan mampu menarik hati sang raja, beragama Islam, dan diharapkan kelak dapat mengandung anak berjenis kelamin laki-laki. Namun nasib menjadi selir kerajaan bukan serta merta jadi hal yang diimpikan para perempuan.

Seperti yang dialami oleh Alexa, sebelumnya ia mengalami nasib yang cukup tragis. Alexa lahir dari keluarga Kristen Ortodoks. Ia mempunyai pembawaan keras kepala, cukup cerdas, dan memiliki fisik yang cantik jelita. Alexa yang di kemudian hari bernama Roxelana semula bermimpi jadi seperti Cleopatra. Ia cukup keras kepala hingga mengabaikan pesan ayahnya untuk tinggal di asrama dan memperdalam agama. Ketika dewasa, saat ia telah yatim piatu, ia diculik dan disekap oleh pria-pria brutal tak dikenal sebelum dijual di pasar budak. Roxelana adalah satu dari sekian banyak wanita di zaman itu yang mengalami nasib serupa. Hanya keberuntunganlah yang membawanya ke istana dan kemudian menjadi gedikli karena kecantikannya.

Istana Harem dipenuhi politik kotor yang dikendalikan oleh selir-selir senior, para kasim, dan juga beberapa pejabat istana yang korup. Para selir harus pandai bersaing demi mendapat kesempatan menghangatkan peraduan sultan, mereka juga berlomba untuk bisa punya anak laki-laki. Para selir bahkan ada yang menjual dirinya pada kasim, prajurit yang mengurusi istana harem, supaya mendapat kesempatan melayani sultan. Kasim meski rata-rata dikebiri, tapi tetap saja memiliki fungsi sebagai laki-laki normal. Tak jarang pula yang berbuat curang dengan membunuh atau berkonspirasi untuk menjatuhkan saingan. Toh satu dua selir atau kasim yang tiba-tiba hilang, bukan menjadi hal besar. Akan menjadi gawat bila itu terjadi pada selir yang paling dicintai sultan.

Roxelana harus menghadapi segala kesulitan dan ancaman ketika akan sampai pada cita-citanya. Terlebih berbagai ancaaman datang, terutama dari Selir Mahidevran dan kasim-kasim seperti Kiral Berk dan Ugur Yildrim. Semakin dekat dengan cita-cita itu, semakin banyak penghalang yang menghadang. Bahkan bahaya itu pun melibatkan pelayan kesayangannya.

Novel ini banyak mengulas politik yang terjadi di istana harem sebab di istana itulah yang menentukan kelak putra siapa yang berhak menggantikan tahta raja. Kelebihan novel Haseki Sultan adalah pada detail dan suasana istana harem yang cukup menegangkan dan alur cerita yang berkembang sehingga menarik untuk terus diikuti. Dilihat dari istilah hingga penggarambaran istana, tampaknya penulis cukup mengusai sejarah Turki. Novel ini menggunakan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Membaca novel ini seperti menyimak sebuah film sejarah. Terlebih novel ini juga dilengkapi dengan catatan kaki sehingga memudahkan pembaca.

Hanya saja tidak seperti gambaran awal saya ketika membaca judulnya “kehidupan sesungguhnya” para wanita di istana masih kurang tereksplore, termasuk ciri khas karakter, pemikiran, pandangan politik, dunia batin, atau tentang bentuk pemberontakannya. Namun ternyata para selir lebih bayak berkutat pada usaha untuk menarik perhatian Sultan dengan berbagai cara yang ditopang oleh cara-cara ala kasim.

Saya merasa baik konflik maupun penyelesaian masih banyak diambil oleh tokoh-tokoh lelaki, dapat dikatakan sebagian besar politik yang digambarkan dalam novel ini dimainkan oleh para pria. Tokoh perempuan jarang diposisikan sebagai subjek yang menggerakkan cerita. Seperti ketika cerita beralih pada Mahidevran, pengaruh lebih banyak datang dari Kiral Berk. Penggambaran karakternya berputar pada kecantikan dan sisi kelicikan yang tidak terlalu mengubah keadaan. Demikian pula dengan tokoh Roxelana yang tidak begitu memiliki karakter yang berdiri sendiri, kecuali kecantikan yang dijelaskan secara subjektif dan tergantung oleh tokoh ayah di awal cerita, dan ia seolah kena batunya dengan mengalami nasib tragis karena memberontak sang ayah.

Salah satu selir seperti Sofia misalnya, malah akhirnya hanya menjadi selingan Kiral Berk karena bentuk fisiknya mirip Mahidevran. Ia ditinggalkan oleh Kiral Berk begitu saja setelah jatuh cinta. Pada bagian ini saya memang sedikit agak kecewa karena Sofia diposisikan sebagai perempuan lemah meski ia semula cukup memenuhi kriteria untuk jadi selir Sultan. Karena lemah, ia jadi pihak yang dipermainkan dan dijadikan alat.

Memang di balik keputusan seorang raja, ada seorang wanita yang berperan di belakangnya. Semua itu tetap saja ditentukan oleh kecantikan fisik, kelembutan, keberuntungan, dan sedikti kecerdikan untuk mampu meluluhkan hati raja dan memengaruhi jalannya kekaisaran. Selebihnya, novel ini meski menggambarkan keadaan di istana Harem dengan cara fiktif, namun dapat sedikit membuka wawasan dan mengingatkan kembali tentang kejayaan Zaman Turki Ottoman. Setelah saya iseng searching ternyata nama Selir Roxelana memang ada dalam sejarah Turki.

Selamat membaca.

Resensi Novel: Separuh Kaku

DSCN4037

Judul: Separuh Kaku
Penulis: Setiyo Bardono
Penerbit: Senja
Tahun terbit: 2014
Jumlah Halaman: 248
Genre: Humor
ISBN: 9786027968974

Blurb

Kepindahan orang tua dari Depok ke Cilebut membuat Panji akrab dengan kereta rel listrik (KRL). Melalui tragedi ingus, Panji berkenalan dengan Eka Naomi Keretawati hingga berujung pada peristiwa Salah Wati. Entah mengapa sejak menjadi TRAINer, istilah keren untuk penumpang kereta, Panji dekat dengan gadis-gadis yang namanya berhubungan dengan kereta. Sebelumnya Eka Naomi Keretawati, sekarang Eva Peron. Eva sendiri sering dipakai roker untuk mengistilahkan kereta ekonomi. Eva, ekonomi vanas. Hingga kekecewaan cinta membuat Panji menjalani jalur salah dengan naik di atap kereta.
Ikuti kisah Panji, seorang TRAINer, dalam kesehariannya di ular besi.

Sepanjang pengalaman membaca saya, ide bertema stasiun dan kereta yang saya temukan dari bacaan lebih banyak diambil oleh genre sastra, romance, atau lagu-lagu bernafaskan romantisme dan drama. Namun kali ini Setiyo Bardono memformulasikan stasiun dan kereta dengan genre humor. Saya pun menemukan banyak hal unik di dalamnya.

Panji dalam novel ini digambarkan sebagai pemuda Kampung Cilebut yang mencari jati diri. Ia rela prihatin dengan berdesakan di kereta demi meraih cita-citanya untuk bisa kuliah selepas SMA. Sejak pindah rumah ia tak punya pilihan efektif lain selain naik kereta ke sekolahnya di daerah Depok. Menjadi langganan kereta ekonomi, tentunya ia pun jadi akrab dengan berbagai suasana di KRL. Mulai dari bertemu Naomi (Wati) yang berujung pada salah Wati, hingga tragedi kecelakaan penumpang atap yang menimpa salah satu sahabatnya.

Di samping mengamati, ia juga punya sudut pandang konyol mengenai hal-hal di sekitarnya. Sebagai penumpang rutin, ia bahkan punya ikatan kekeluargaan dengan penumpang lain yang setiap hari ditemuinya di gerbong tiga karena perasaan senasib seberdesakan. Selain itu ia juga menemukan belahan hatinya walaupun tidak berujung baik. Guyon khas yang mengalir natural dan ringan dalam novel ini berhasil membuat saya jadi senyum-senyum sendiri sampai ngakak selama membacanya.

Berbicara tentang genre humur, memang tidak mudah menampilkan komedi karena selain itu berhubungan dengan keterampilan dan pengalaman, juga berkaitan dengan selera audience. Tapi menurut saya, justru karena berangkat dari masyarakat menengah ke bawah, membuat buku ini dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga terasa akrab. Selama ini saya jarang menemukan buku bergenre humor yang betulan bikin tertawa. Mungkin karena saya punya selera humor yang gampang-gampang sulit, hehe.

Kelebihan novel ini juga terletak pada kritik sosial. Penulis seperti mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat kondisi kereta ekonomi dan melihat masyarakat dari segi transportasi umum dari sudut pandang remaja bernama Panji dan berbagai peristiwa kocak yang dialaminya. Menyorot masyarakat KRL gerbong ekonomi itulah yang membuat novelnya terasa membumi dan akrab. Panji berbicara dari banyak hal, mulai dari kondisi KRL yang selalu berdesakan, tips naik kereta, hingga informasi jajananan khas sekitar stasiun seperti lontong dan gorengan yang dipotong menggunakan gunting hingga tahu sumedang.

Di samping menghadirkan hiburan, novel ini juga mengajak kita sedikit banyak merenungi perihal seputar fasilitas umum yang dekat dengan kita sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan KRL Ekonomi. Novel ini juga diselingi puisi-puisi ringan dan lirik lagu gubahan ala Panji yang kadang konyol yang sepertinya merupakan keahlian penulis. Dilihat dari diksinya, penulis konsisten mengangkat tema KRL dan stasiun. Bahkan termasuk nama tokoh-tokohnya. Setiyo B. juga menyelipkan ramalan bintang edisi KRL Ekonomi yang bikin ‘mules’ saat membacanya. Misalnya seperti ramalan zodiac Panji berikut ini.

halaman 172

halaman 172

Dalam segi teknis, cover menggunakan gambar yang lucu dengan jenis font yang nyaman dibaca dan tidak mengikuti buku-buku yang lainnya. Seperti memang ditujukan untuk bacaan super santai.
Membaca profil penulsi di halaman belakang, Setiyo B rupanya pernah menerbitkan buku dengan tema serupa yaitu, Mimpi Kereta di Pucuk Cemara dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta. Sudah dapat ditebak si penulis jelas melahirkan ide-ide kreatif ini dari pengalamannya ber-KRL ria 🙂

Ada beberapa salah ejaan dan typo yang tidak terlalu berpengaruh dan dapat disempurnakan lagi di cetakan berikutnya.
Overall, membuat saya beruntung menemukan buku ini. Berharap dapat membaca buku Setiyo B. selanjutnya. Novel “Separuh Kaku” ini rocommended untuk dibaca sebagai hiburan di kala senggang.:)

Resensi Novel: Hujanlah Lain Hari

Sumber: goodreads.com

Sumber: goodreads.com

Judul: Hujanlah Lain Hari
Penulis: Lindaisy
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: November 2014
Genre: Fanfiction
Jumlah halaman: 356

Cerita diawali oleh masa kecil Shim Jangwoo yang cukup keras. Meski ia dari keluarga yang tidak mampu, namun menjujung tinggi kejujuran. Jangwoo kecil tak melupakan segala peristiwa yang ia alami. Termasuk juga seorang gadis kecil, anak sahabat ayahnya, yang mengikutinya di tengah hujan kala itu. Namun peristiwa nahas terjadi dan menewaskan kedua orang tuanya. Sejak itu, Jangwoo membenci hujan.

Lalu bertahun kemudian, Jangwoo pun tumbuh dewasa. Ia bertemu Geum Janhwa di sebuah kedai ramyun. Geum Janhwa adalah si pemilik Kedai yang tekun namun sedikit dingin dan tertutup. Ketertarikannya terhadap Janhwa dan kondisi keuangannya yang nyaris ambruk membuatnya mau melamar pekerjaan sebagai tukang masak di kadainya. Ia bahkan rela meninggalkan profesi musiknya, memotong rambut gondrongnya, dan belajar membuat ramyun terbaik. Janhwa dan Jangwoo pun menjadi rekan kerja yang cocok.

Hubungan mereka pun berkembang. Jangwoo semakin masuk dalam kehidupan Janhwa. Sedikit demi sedikit ia pun mulai mengenali gadis itu. Ia anak yatim piatu dan hanya memiliki seorang adik yang dirawat di rumah sakit karena hepatitis B. Menjadi koki dan menjalankan kedai bukan impian sejatinya, namun kedua orang tua dan kondisi membuatnya demikian. Di samping kuliah, Janhwa bekerja keras menjalankan kedai. Jangwoo tahu, ia seperti mengenali Janhwa karena mirip dengan seseorang. Kebiasaan Janwa yang suka menutupi masalahnya itu justru membuat Jangwoo ingin selalu berada di dekatnya dan membantunya. Terlebih ketika tahu bahwa adiknya harus dioperasi dan membutuhkan biaya yang besar. Jangwoo mencoba membantu. Ia bahkan menjual satu-satunya gitar kesayangannya.

Tiba-tiba Park Woohyun datang di antara mereka dan mengacaukan segalanya. Woohyun adalah teman Janhwa sejak kecil yang belakangan mencintai Janhwa. Sementara itu, atas semua bukti yang ditemukannya, Jangwoo semakin yakin bahwa Geum Janwa adalah seseorang yang terkait erat dengan masa lalunya. Gadis yang pernah mengejarnya di tengah hujan di masa kecilnya. Gadis yang selama ini dicarinya. Namun sepertinya tidak mudah bagi Jangwoo memberi pesan pada Janhwa bahwa ia adalah gadis kecil di masa lalunya.

Terlebih segalanya tambah berantakan sejak peristiwa perampokan yang mengganggu kelangsungan kedai ramyun milik Janhwa. Lagi-lagi pelakunya adalah orang yang Jangwoo kenal di masa kecilnya, yang tak lain adalah musuhnya. Kembali Jangwoo difitnah seolah Jangwoo-lah otak dari pencurian dokumen itu. Sayang Janhwa percaya dan lantas membencinya.

Belum lagi menemukan penyelesaian, Woohyun mengambil kesempatan di tengah kesulitan Jangwoo. Ia membantu Jangwoo dengan membayarkan sejumlah uang untuk menyelesaikan kasus, namun semua itu tidak gratis, dengan syarat bahwa Jangwoo harus menjauhi Janhwa, sebab ia tak ingin Janwoo merebutnya. Demi kebahagiaan Janhwa, Jangwoo bersedia pergi.

Tapi uang memang bukan segalanya. Semua hal yang dimiliki Woohyun tak lantas membuatnya mendapatkan cinta Jahnwa, seperti semudah saat ia meminta mainan kepada orang tuanya.

Membaca novel ini seperti menyimak drama Korea dalam bentuk buku. Pergerakan alur maju dan flashback yang dramatis, tokoh-tokohnya yang digambarkan cantik dan tampan, hingga setting yang berada di Korea di musim hujan. Novel dengan tebal 356 halaman ini dituturkan dengan dialog dan narasi dan seimbang. Setiap narasi bahkan dituliskan dengan cukup detail ala drama Korea. Novel ini memiliki ending yang manis yang menguraikan segala jawaban tentang masa lalu mereka, meski kita tak akan menemukan hal-hal yang mengejutkan di sana.

Karakter tokoh-tokohnya sekalipun secara fisik semuanya cantik dan ganteng, namun memiliki ciri khas sendiri sehingga dapat melengkapi komposisi cerita dengan menarik. Tak hanya itu, penulis sudah cukup baik menyesuaikan karakter tokoh dengan latar belakang kehidupan masing-masing. Keunggulan lain dari novel ini adalah pesan moral yang terselip di dalamnya, seperti tentang kejujuran, kerja keras, dan juga beberapa kutipan bagus yang saya temukan:

Punya segalanya bukan jaminan kebahagiaan (halaman 29)

Punya pengalaman buruk lebih banyak daripada pengalaman baik bukan berarti kau bisa membencinya. (halaman 206)

Sebetulnya sih membaca bagian pertengahan novel ini seperti melawan rasa bosan. Ada banyak narasi yang isinya terkesan berbelit dan kurang penting, membuat saya kadang berhenti sejenak dan beberapa kali membacanya dengan cara skip, itu pun tidak membuat saya ketinggalan mengikuti plotnya. Rasa antusias untuk melanjutkan hingga selesai baru datang kembali setelah ada di seperempat bagian akhir. Meskipun ada beberapa adegan yang terkesan kebetulan, terutama yang berkaitan dengan setting, namun lumayan tertutupi oleh penyelesaian cerita yang cenderung tidak terburu-buru.

Meski latar tempatnya di Korea, namun sayang kurang tereksplore dengan baik. Di samping itu, setting waktu, seperti tahun dan bulan tidak disertakan dengan jelas. Hanya beberapa hal yang menunjukkan bahwa itu di Korea, seperti kedai ramyun, orang-orang bernama khas Korea, dan sedikit saja nama tempat seperti Seoul. Di samping itu ada salah satu dialog yang sedikit kurang logis di halaman 268-269, tentang mengapa Jangwoo heran bahwa Woojin mengenal Janhwa? Bukankah Woohyun si adik laki-lakinya, sudah berteman dengan Janhwa sejak kecil? Bukankah sudah wajar bila kedua keluarga otomatis juga sudah saling kenal? Apalagi Jangwoo sudah tahu bahwa Woohyun memang dekat dengan Janhwa sejak kecil. Tapi tidak mengapa, barangkali ini hanya karena penulis lebih bersemangat di poin yang lain.

Selebihnya deskripsi lokasi bisa disempurnakan dengan menceritakan dengan detail hingga tradisi masyarakat atau kondisi alam. Namun tidak masalah karena sepertinya novel ini memang disajikan sebagai bacaan yang menghibur, sehingga bagi penyuka fanfiction atau drama Korea, novel ini dapat menjadi pilihan di kala senggang.

Parade Manusia dalam Novel Jatisaba: Sebuah Review

novel Jatisaba

Judul: Jatisaba
Penulis: Ramayda Akmal
Penerbit: Era Baru Pressindo
Genre: sastra
Jumlah halaman: 254
Tahun terbit: 2012
ISBN: 9786029967036

Aku pulang, walau tidak punya rumah. Walau hasrat untuk pulang sama kuat dengan hasrat untuk mencegahnya. Aku sempat berjanji tidak akan kembali. Tetapi kenangan akannya begitu mengutukku. Kutukan yang mendatangkan kerinduan. Kerinduan yang mengalahkan segalanya; rasa malu, keangkuhan, dan dendam. Sepanjang jalan aku gemetar, menyadari yang aku rindukan adalah masa lalu. Namun aku sedang menuju ke sana dan tak mungkin akan menghancurkannya, juga diriku. Aku tak bisa mengelak. (Halaman 7)

Pulang ke Jatisaba membawa Mae pada serangkaian peristiwa yang melemparkannya pada kenangan, sekalipun tak ada lagi keluarga dan rumah sebagai tempat tujuan. Jatisaba tak hanya sebuah kampung bagi Mae, tapi juga sebagian dari dirinya, nuansa kehidupan desa kelahirannya yang masih seperti dulu, cinta masa lalu yang tak tergapai, politik lokal yang rumit dan kotor, juga banyak hal yang menguras hati. Tak jarang kelebat kenangan masa kecil datang dalam ingatannya dan sering kali mengusik nuraninya. Seiring dengan trauma-trauma yang pernah dialaminya.

Ia dilahirkan dan mengalami masa kecil di desa tersebut meski masyarakat pada akhirnya menolaknya. Mae yang bernama asli Mainah adalah mantan korban TKW ilegal yang mengalami nasib tragis. Lepas dari berbagai siksaan, ia pun terpaksa menjalani hal yang tak diinginkannya: menjadi makelar perdagangan manusia bertaraf internasional. Mae harus mencari calon-calon korban di kampung halamannya itu demi kebebasannya sendiri. Sebelumnya sudah hal yang biasa penduduk di Jatisaba menjadi TKI ketika dewasa meski bukan pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Itulah sebabnya sebagian masyarakat memandang sinis Mae.

Membaca novel ini, saya melihat Mae sebagai korban juga sekaligus pelaku tindak kejahatan. Ada beberapa sisi menarik yang saya temukan dari Mae. Misalnya, sekalipun perempuan, ia mampu menghadapi dunianya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Mae merepresentasikan manusia yang memiliki semangat untuk terus dapat mengubah keadaan meski di sisi lain ia juga berjuang untuk berdamai dengan rasa bersalah. Novel ini membuat kita memaafkan sisi “manusia”.

Tidak mudah bagi Mae meraih kepercayaan masyarakat Jatisaba. Demi misinya itu, Mae pun mendompleng kampanye salah satu kelompok pendukung calon kades di untuk mendapatkan calon korban. Dalam perang batin yang berat, ia terus membujuk masyarakat tempat kelahirannya untuk mau berangkat bersamanya, termasuk sahabat-sahabat masa kecilnya. Selain tak bisa lepas dari teror Mayor Tua, bos besar dari sindikat tersebut, Mae juga tengah menjadi buron kepolisian. Dunia yang dihadapinya memang nyaris tak pernah aman, bahkan pada akhirnya ia dikhianati oleh salah satu orang yang dipercayaianya.

Novel Jaisaba tak hanya bercerita tentang human trafficking, tapi juga kehidupan manusia dari sisi lain. Hal menarik dari novel ini adalah kemampuan mendekat pada nuansa kehidupan masyarakat asli Kampung Jatisaba dengan cara lugas, kadang vulgar, jujur, dan menyindir. Tidak jarang saya menemukan karakter-karakter manusia di sekitar kita yang sedikit mirip dengan tokoh-tokoh dalam novel Jatisaba. Barangkali terhadap tipikal manusia ini kita dibuat gemas sekaligus memakluminya. Seperti juga Mae yang merasa menjadi bagian dan sekaligus mencela berbagai masyarakat yang munafik dan primitif. Meski bergenre sastra, novel ini juga dituturkan dengan gaya bahasa yang tidak terlalu berat untuk dicerna. Tidak banyak ditemukan bahasa kiasan, namun memiliki gaya penuturan yang menyentuh.

Fenomena pemilihan calon kepala desa, misalnya, diwarnai dengan perseteruan politik ala masyarakat pedesaan yang seolah menjadi replika iklim politik di negeri kita ini. Kampung Jatisaba pun akrab dengan konflik dan kampanye hitam. Konflik yang sudah lama ada di masyarakat yang berkelompok itu semakin memanas ketika pemilihan kepala desa. Dengan segala intrik, mereka saling menjatuhkan hingga saling memfintah dan memata-matai demi memenangkan calon. Mereka bahkan bersemangat menjagokan calonnya meskipun hanya disogok dengan beras berkutu. Fenomena kampanye yang kadang lucu, kadang membuat geleng-geleng kepala ini membuat saya menemukan kesamaan dengan fenomena yang terjadi di nusantara atau di sekitar kita namun dalam bentuk yang lebih ‘lugu’.

Penggarapan lakon yang kuat, plot, setting, dan twist-twist yang mengejutkan, membuatnya seperti menyimak sebuah dongeng tentang kaum terpinggir. Berbeda dengan novel kebanyakana, Mae merupakan tokoh utama yang tidak luput dari sisi keantogonisan. Mae mencintai jatisaba sepeti halnya kita mencintai kampung halaman. Ia juga cinta masa kecilnya, Gao, meskipun Gao telah berkeluarga. Ia menyayangi sahabat-sahabatnya di masa kecil, ia tahu apa yang bakal mereka alami setelah berada di tangan Mayor Tua, tapi ia sadar ia sedang terlibat dalam misinya sendiri sehingga harus menjaga jarak.

Dengan sangat akrab, Jatisaba bercerita lebih dekat tentang masyarakat tradisional yang cenderung marginal itu. Seperti tokoh Sitas yang pernah mengalami masa lalu kelam sebagai TKW dan hobi sebagai simbol kemiskinan dan kemunafikan. Ia cenderung menyukai hal-hal yang materi hingga segala cara ditempuhnya, ia bahkan lebih berantusias menghitung uang sumbangan sesaat setelah suaminya dimakamkan. Lalu Gao yang dianggap dukun sakti yang kontroversial. Ada juga Malim yang selalu berada di samping Mae tapi tetap memiliki tujuan memanfaatkannya. Ada pula Musri, Kusi, dan Sanis, sahabat Mae yang polos dan naif yang merepresenstasikan ibu rumah tangga yang menjalani takdirnya mengurus rumah dan anak-anak. Sedangkan para pria dalam novel itu dikenal doyan kawin, mabuk, berjudi. Sementara sekolompok ibu-ibu karib dengan gosip. Tak lupa Jompro, Mardi, dan Joko, 3 orang yang memiliki cara-caranya sendiri untuk meraih kemenangan menjadi kepala desa iktu mewarnai situasi politik di Jatisaba. Dan tokoh-tokoh lain yang memiliki karakter yang berdiri sendiri-sendiri.

Dalam novel ini saya seperti melihat kondisi masyarakat marginal yang ditelantarkan oleh negara dan jauh dari kemajuan. Salah satu biang dari semua penyakit masyarakat itu adalah kemiskinan. Kemiskinan seolah merupakan jalan buntu bagi masyarakat itu sendiri. Novel yang beralur maju ini sekaligus diselingi kilas balik tentang masa lalu Mae yang memilukan ketika menjadi korban trafficking. Di sisi lain, kehidupan desa digambarkan begitu detail dan tentunya Ramayda Akmal telah melakukan riset yang panjang. Termasuk juga ketika menyorot situasi politiknya.

Setting dan juga kebudayaan yang digarap detail membuat saya seperti menyimak langsung. Dari perayaan ebeg sampai jenis makanan khas yang menjadi favorit masyarakat meski tidak layak untuk dimakan.

Aku rindu sekali memakan ciwel. makanan dari singkong yang dicampur abu. Tidak ada yang menyediakan makanan itu selain di Jatisaba…”

Ada gorengan gadung yang semua orang tahu dibuat dari tumbuhan jalar yang beracun. Ada juga becek lumbu. Lumbu adalah tanaman yang tumbuh subur di genangan air limbah… (halaman 150)

Novel Jatisaba sedikit mengingatkan saya pada novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk yang sama-sama berangkat dari kisah masyarakat desa yang tengah menghadapi perubahan sosial akibat komedernan. Namun cerita menganai kehidupan pekerja migran ilegal seperti mengingatkan kembali novel Mimi lan Mintuna karya Remy Sylado dan Galaksi Kinanti karya Tasaro GK. Membuat kembali menyadarkan bahwa Indonesia, kasus trafficking masih menjadi fenomena yang dekat dengan kita namun seperti jauh dari penyelesaian yang menuntut kita untuk peduli dan terus berupaya mencari solusi.

Membaca novel Jatisaba seperti membaca parade manusia. Kita takkan menemukan tokoh-tokoh ideal dalam bayangan kita ataupun produk ala televisi. Mengikuti perjalanan Mae, saya seprti ikut memaklumi manusia, sehingga rasanya bukan yang bodoh dan terbelakang yang lebih jahat. Orang-orang yang merasa lebih maju dan terlihat bersihlah yang barangkali lebih mengancam. Atau barangkali kita yang lebih banyak tahu yang lebih jahat dari mereka yang tak tahu. Bukankah sering kali pengetahuan yang kita miliki menyakiti mereka yang tidak pernah tahu? Bukankah pengetahuan-pengetahuan itu membuat kita tak jarang merasa terasing?

Kekurangan dalam novel ini menurut saya lebih pada teknis. Sayang di novel ini masih banyak ditemukan typo dan kesalahan ejaan yang mestinya dapat diperbaiki lagi. Di samping itu, ada beberapa halaman yang penataan marginnya terlihat agak miring. Namun tak mengapa, penggambaran karakter melalui narasi dan dialog dengan porsi yang pas membuat saya terkesan. Pantas bila novel ini masuk sebagai novel unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010 lalu.

Mae merupakan tokoh kontroversi yang mengajari kita untuk mampu mengenal manusia dari dekat dan dengan cara berbeda. Selain ide cerita dan beberapa kelebihan yang coba saya urai di atas, novel Jatisaba karya Ramayda Akmal ini saya rasa memiliki muatan etnografis dan nilai-nilai yang mampu memberikan terobosan baru dalam dunia sastra. Novel ini kaya dengan makna dan pelajaran hidup. Kita juga dapat mengkajinya dari sudut pandang ilmu sosial dan budaya. Ini novel sastra yang recommended 🙂

Resensi Novel: Queen, Demi Menghapus Bayangmu

IMG_20141228_185751

Judul: Queen, Demi Menghapus Bayangmu
Penulis: Niena Sarowati
Penerbit: Senja
Tahun terbit: 2014
Tebal: 300 Halaman
ISBN: 978-602-296-026-3

Alfira Queenza memutuskan “lari” dari Jakarta ke Bandung setelah mendapati Milly, sahabatnya sendiri berselingkuh dengan Davin, pacar yang sudah bersamanya selama 3 tahun. Setelah mendapat izin kedua orang tuanya, ia pun mengambil cuti kuliah untuk menata hidupnya kembali setelah patah hati. Tak seorang pun tahu kepergiaan Queen ke Bandung kecuali kedua orang tuanya.

Di Bandung ia tinggal di Kos Cemara yang rata-rata penghuninya lelaki. Salah satu teman kosnya yang paling dekat adalah Obit. Selama di Bandung Obit-lah yang sering berada di sisi Queen. Queen merasa betah. Terlebih nuansa yang ia temui di Kos Cemara seperti keluarga, Abah, pemilik kos yang ramah, Cilla cucunya yang lucu membuat hidupnya terisi, juga para penghuni kos dan pacar-pacarnya yang selalu menemani dan mendukungnya.

Ia menjalani hari-harinya yang menarik selama di Bandung. Pada suatu ketika ia menolong seorang anak kecil yatim piatu di jalan, tak disangka pertemuan itu membawanya berkunjung ke panti asuhan. Dari kunjungan itu, ia merasa tergerak untuk terus membagi kebahagiaan, dan panti itulah menjadi tempat berkegiatannya selama di Bandung. Tak hanya itu, ia juga bergabung dengan komunitas anak jalanan melalui salah satu teman kosnya, Alan.

Kesibukannya di panti dan komunitas anak jalanan mampu mengalihkannya dari rasa galau. Namun ketenangan hidupnya nyaris ambruk ketika Davin menyusulnya dan membuat kekacauan. Menyusul kekacauan lain ketika Milly juga datang mencarinya, hingga akhirnya teman-temannya pun tahu apa alasan Queen ke Bandung dan menjalani kesibukan-kesibukan itu. Queen tahu keputusannya untuk tetap bangkit tidak boleh rusak begitu saja.

Setiap manusia pasti punya masalah. Dan, masalah itu ada untuk kita hadapi. Kita cari jalan keluarnya, bukan kita hindari. Jika satu masalah kamu hindari, maka akan muncul masalah baru. (halaman 176)

Sementara kedekatannya dengan Obit seperti memunculkan semacam chemistry. Obit yang baik, perhatian, dan selalu ada membuat Queen merasa tenteram. Namun tak dipungkiri Davin masih mengusik hidupnya. Kenangan bersamanya tak mudah dilupakan. Namun semua itu membuatnya harus menentukan langkah.

Novel Queen diceritakan dengan alur maju, kadang-kadang diselipi dengan flash back tentang masa lalu Queen bersama Davin. Sisi menarik dari novel ini adalah tentang semangat tokoh Queen untuk survive dari kondisi terburuknya dan memilih bangkit. Seperti menyiratkan pesan bahwa ketika satu duniamu runtuh, bukan berarti hidupmu berakhir. Memang tidak mudah menerima kenyataan bahwa dua orang yang sangat dipercayai malah mengkhianati di belakang kita. Namun Queen tidak lantas terjebak dalam hal-hal negatif meskipun bagi siapa pun itu mungkin saja jadi pilihan.

Karakter, tokoh Queen dalam novel ini digambarkan sebagai gadis yang tidak terlalu istimewa namun memiliki proses perubahan karakter yang cukuo bagus, baik dalam hal penampilan maupun cara berpikir. Tokoh lain yang sering muncul adalah Obit. Namun sayang tokoh lain terlihat tidak terlalu memiliki peran dan kurang tereksplore sehingga terkesan hanya sampingan. Bahkan bila boleh berpendapat, nama tokoh-tokohnya masih bisa ditukar nama karena nyaris tidak memiliki ciri karakter khusus. Tapi tidak mengapa, sebab dari awal, tokoh-tokoh ini sudah cukup dijelaskan berurutan di bagian awal ketika Queen sudah pindah.

Sayangnya meski jalinan ceritanya cukup menarik, namun terdapat beberapa adegan yang temponya terlalu cepat dan ada yang diuraikan terlalu panjang di bagian yang sebetulnya tidak terlalu penting sehingga terkesan agak membosankan. Di samping itu ada beberapa yang menyangkut unsur kelogisan cerita yang mestinya dapat diperbaiki.

Salah satunya adalah, sepertinya agak kurang logis bila kedua orang tua Queen percaya begitu saja cerita Davin bahwa Queen melahirkan seorang anak di Bandung, apalagi hanya dengan melihat foto Queen menggendong bayi (halaman 195-196). Dalam novel ini diceritakan Queen sudah di Bandung selama 5 bulan, dan bayi yang digendongnya sudah beberapa bulan. Sementara wanita hamil kan butuh 9 bulanan sampai melahirkan, padahal mereka sebelumnya sudah tahu bahwa Queen aktif di panti asuhan.

Selain itu rasanya kok agak gimana ya anak usia playgroup berperilaku seperti Cilla? Semula saya kira Cilla sudah di atas kelas 3 SD an ketika membaca bagian ketika ia mengajak Queen berkenalan (halaman 24), ketika Cilla menengahi pertengkaran Via dengan Obit (halaman 56), hingga saat menceritakan masakan Queen (halaman 216-217). Kegemarannya makan dengan porsi yang begitu banyak (halaman 51), dan beberapa hal lain juga agak mengganjal. Tapi tidak mengapa karena mungkin hanya faktor kurang detail karena penulis terlalu antusias menceritakan anak kecil lucu yang membuat hidup tokoh Queen berwarna.

Mengenai konsep cerita, agaknya novel Queen kurang mengeksplore kondisi sosial masyarakat padahal ia menjadi bagian dari perjalanan Queen. Ketika di pantu asuhan, lebih banyak diceritakan saat Queen ikut mengasuh para bayi dan anak ketimbang aktivis panti. Ditambah lagi kebiasaan tokoh-tokohnya yang nongkrong di tempat-tempat agak mewah seperti plaza, kafe, salon, dan lain-lain agaknya kurang seimbang, hingga nyaris tidak ada penggambaran masyarakat yang melatarbelakangi komunitas anak jalanan yang mengarah pada masyarakat marginal. Bahkan di sela kegiatan itu, sering ditemukan jenis kuliner yang dikonsumsi Queen dan teman-temannya bernama asing seperti big ice tea hingga coupe la braga. akan lebih sesuai bila sesekali mereka nongkrong di warung bakso dan minum es teh warung pojok misalnya. Namun tak mengapa, karena mungkin fokus utama dan misi dari cerita novel Queen bukan ke arah sana.

Novel ini terbilang menarik dengan meskipun sedikit datar dan ending-nya mudah ditebak. Barangkali tidak jarang kita temui mereka atau mungkin termasuk juga kita yang pernah melarikan patah hati ke hal-hal positif seperti kegiatan sosial, sibuk bekerja siang malam, melanjutkan pendidikan, travelling, atau memulai bisnis. Tapi jarang yang menuliskannya menjadi novel sehingga dapat dijadikan insiprasi pembaca. Menurut saya novel ini tetap mempunyai muatan positif dan menceritakan dengan cara menarik tentang cara lain keluar dari keadaan terpuruk. Dengan gaya bahasa ringan dan mudah dimengerti, novel ini cocok untuk dibaca oleh remaja.

Sekilas tentang Keroncong dan Kenangan dari “Setangkai Anggrek”

Sejak dulu saya menyukai jenis musik keroncong. Alunan musik dan gaya bernyanyi yang khas, seperti melemparkan saya pada nuansa vintage sekaligus suasana bebas dari terburu-buru. Keroncong memang memiliki arti tersendiri bagi masing-masing penggemarnya. Di zaman sekarang sudah banyak pula yang mengkolaborasikan musik keroncong ke dalam musik modern. Tapi menurut saya, hasilnya tak seoriginal musik yang memang dikonsepkan untuk keroncong. Tidak semua lagu tentunya dapat dikeroncongkan. Ya memang selera kan juga beda-beda.  Kecuali lagu Anggrek Bulan, yang menurut batas pengetahuan saya soal keroncong, lagu lama ini selalu enak didengarkan di zaman apa pun. Bahkan di Negeri Belanda sana, kata seorang seniman, lagu ini populer, juga lagu-lagu keroncong lainnya.

Musik keroncong itu sendiri berasal dari Portugis yang semula dikenal dengan nama Fado, dibawa oleh para pelaut dan budak kapal perdagangan Portugis sejak mereka memasuki nusantara di abad ke-16. Sejarah musik keroncong bisa dibilang cukup panjang dan dapat dikatakan kehadirannya senantiasa mengiringi perjalanan bangsa. Bahkan lagu keroncong Di Bawah Sinar Bulan Purnama kala itu menjadi musik populer pascakemerdekaan Indonesia, dan sengaja liriknya dibuat kiasan untuk menghidari pencekalan.

Barangkali, yang pernah nonton film Soegija, nggak asing lagi dengan lagu ini: Als de Orchideen Bloeien (Bunga Anggrek Mulai Tumbuh) yang dilantunkan oleh seorang wanita yang memetik ukulele dalam salah satu adegannya, dengan sebagian syairnya dinyayikan oleh pemain bule. Apalagi pas hujan-hujan seperti ini, rasanya menyenangkan beristirahat sambil mendengarkan lagu-lagu keroncong.

Bunga anggrek mulai timbul
aku ingat padamu
di waktu kita bertemu
kau duduk di sampingku

Als de orchideen bloein, (jika bunga anggrek mekar)
ween ik haast van liefdes smart (angatkan aku akan pedihnya cinta)
Want ik kan niet bij je wezen (karena kamu tak bisa bersamaku)
g’lijk weleer, mijn lieve schat (sama halnya seperti dahulu, cintaku)

Reff

Kini kau cari yang lain
*Maar nu been je van een ander (tapi kini kamu milik yang lain)
ingkar dengan janjimu
*Voorbij is de romantiek (usailah cerita cinta itu)
Teringat masa yang lalu
*Kom terug toch bij mij weder (kembalilah padaku)
Aku cinta padamu
*Jou vergeten kan ik niet (ku tak bisa melupakanmu)

Gubahan Belanda

Als de Orchideen Bloeien

Als de orchideen bloeien,
kom dan toch terug bij mij.
Nogmaals wil ik met je wezen,
zoveel leed is dan voorbij.
Als de orchideen bloein,
ween ik haast van liefdes smart.
Want ik kan niet bij je wezen,
g’lijk weleer, mijn lieve schat.

Reff :
Maar nu been je van een ander.
Voorbij is de romantiek.
Kom terug toch bij mij weder.
Jou wergeten kan ik niet.
Als de orchideen bloeien,
dan denk ik terug aan jou.
Denk toen aan die zoete tijden,
toen je zei: Ik hou van jou.

Syair-syair di atas memang sedikit berbeda dengan “Bunga Anggrek” yang diciptakan Ismail Marzuki pada tahun 1939.

versi Ismail Marzuki

Bunga Anggrek mulai timbul
Aku cinta padamu
Sewaktu kita berkumpul
Kau duduk disampingku

Engkau cinta kepadaku
Bulan menjadi saksi
Dan engkau telah berjanji
Sehidup dan semati

[Reff:]
Kini kau cari yang lain
Lupa dengan janjimu
Sudah ada gantinya
Kau lupa kepadaku

Oh sungguh malang nasibku
kini kau telah jauh
Engkau mengingkari janji
Kau pergi tak kembali

Lagu ini konon lebih familiar di telinga kakek nenek yang pernah hidup di tahun ’30-an, di mana perpisahan jadi tema umum, dan banyak pacaran nggak sampe ke pernikahan, karena memang kondisinya sedang konflik. Tapi lepas dari kenapa lagu ini populer di zamannya dan masih nyaman didengar di masa sekarang, lagu Bunga Anggrek ini adalah jenis keroncong legendaris terindah bagi saya untuk saat ini 🙂

Resensi Novel: Violetta, Yang Melupakan Kenangan

Novel Violetta

Judul: Violetta, Yang Melupakan Kenangan
Penulis: Rosgadini
Penerbit: PING!!!
Editor: Vita Brevis
Tahun Terbit: 2014
ISBN: 139786022556879
Jumlah halaman 223

Blurb

“Bia! Bia juga jangan lupa, ya, kalo Bia besar nanti, harus punya toko es krim sendiri. Jadi, Vio bisa makan semua es krimnya. Janji?”

Bia. Laki-laki yang tak suka makan es krim ini mendirikan First Scoop, demi memenuhi janji masa kecilnya pada sang cinta pertama, Vio.
Bia yang tak bisa lepas dari sosok cinta pertamanya seakan menemukan sosok Vio dalam diri Etta.
Namun Etta tak mau hidup dalam bayang-bayang Vio.

Pilihan. Di dalam hidup setiap manusia pasti akan dihadapkan pada pilihan, termasuk untuk terus mencintai atau justru melupakannya…

Di masa kecil Bia, ia sudah kehilangan Vio, sahabat sekaligus cinta pertamanya karena kecalakaan telah merenggutnya. Hal itu yang membuat Bia terpukul dan tak dapat melupakan Vio. Kenangan Vio rupanya begitu membekas. Hingga ketika dewasa, ia memutuskan keluar dari pekerjaan tetapnya dan membangun toko es krim, tidak lain adalah demi janjinya kepada Vio, meskipun Bia sendiri tak suka makan es krim. Toko es krim itu pun diberi nama First Scoop.

Dibantu sepupunya, Addin, ia berhasil membangun First Scoop dari nol. Baru sebentar kedai itu berdiri, Bia bertemu Maira. Maira adalah gadis cantik yang merupakan mantan Bia yang pernah berselingkuh dengan Addin. Melihat kenyataan bahwa Maira datang kembali ke kehidupan Bia, Addin sangat sedih, pasalnya sejak dulu ia menyukai Maira dengan serius. Namun demi menjaga perasaan Bia, ia pun menjaga jarak dengan Maira. Dan lebih kacau lagi, Maira ikut-ikutan melamar pekerjaan di kedai es krim Bia demi dekat kembali dengan Bia.

Sementara itu, pertemuan dengan Etta berawal dari Addin yang merekomendasikan Etta, sahabatnya sejak SMA untuk melamar kerja di kedai es krim Bia. Perkenalan Etta dan Bia tak berlangsung baik. Konyolnya Etta datang terlambat di sesi interview dan itu membuat Bia tak suka.

Interaksi Bia dan Etta yang kadang manis kadang saling menjauh karena saling sebal rupanya memunculkan benih cinta. Etta yang tersentuh karena sisi Bia yang baik dan romantis, dan Bia yang menyukainya karena menemukan banyak hal yang mirip Vio. Kepolosan, kesukaannya pada es krim di musim apa pun, hingga caranya menangis mengingatkannya pada cinta pertamanya itu. Namun Etta yang tahu hal itu tidak dapat menerima kenyaaan, meskipun ia juga diam-diam menyukai Bia. Etta ingin disayangi sebagaimana ia, bukan Vio atau gadis lain. Tapi sulit bagi Bia melakukannnya. Etta memberi syarat bahwa Bia harus melupakan Vio bila tetap ingin bersamanya.

Hingga suatu peristiwa terjadi dan satu per satu rahasia terpendam Etta terbongkar dan menjadikan segalanya tak lagi sama.

Berbicara penokohan, Bia dan Addin memiliki kelebihan yang menguatkan cerita dalam novel. Bia yang romantis dan setia pada masa lalunya, juga kesabaran Addin ketika harus sekantor dengan orang yang dicintai namun sulit tergapai.

Kelebihan novel teenlit ini juga ada pada keseimbangan dialog antartokoh dan narasi, dan alur yang mengalir dan kadang dramatis. Sesuai dengan temanya, pengetahuan tentang es krim pun dijabarkan dengan cukup baik. Nyaris tidak dilengkapi dengan proses bagaimana kedai es krim itu berkembang, membuat saya paham barangkali fokus utama cerita ini memang bukan pada usaha kedai es krim. Tapi lebih banyak berceria tentang hubungan Bia-Vio, Bia-Maira, Addin Maira, hingga Bia dan Etta yang dianalogikan oleh penulis mirip dengan es krim.

Namun perihal penokohan ini, rasanya hanya tokoh Addin yang terbangun lumayan kuat. Entah kenapa karakter Etta dan Maira masih bisa bisa bertukar satu sama lain. Terlebih Maira yang sejak awal hingga akhir cerita digambarkan sebagai tokoh yang labil. Yang semula terobsesi dengan Bia malah bertoleransi dengan kedekatannya dengan Etta. Menurutku sama labilnya dengan Bia ketika dihadapkan oleh Etta maupun Maira. Belum lagi persoalan dialog dan interaksi antartokoh. Bisanya saya iseng membuat penggalan dialog ketika mencari segi keberhasilan suasana. Meski Addin dan Etta bersahabat, tapi banyak bagian obrolan yang mungkin lebih mirip adegan pacaran. Entah itu sentuhan tangan, pelukan, hingga ketika Addin menunggui Etta di kontrakannya ketika ia sakit hingga pagi harinya, padahal Etta tinggal sendirian. Baiklah, katakanlah saya memang tergolong agak kolot ketika memandang pola hubungan laki-laki dan perempuan, tapi berhubung settingnya di Indonesia, mungkin lebih baik dikondisikan dengan nilai masyarakat setempat. Menurut saya ada banyak cara kok mendeskripsikan suasana persahabatan antartokoh. Terlebih adegan ciuman Bia dan Maira, atau Addin dan Maira, atau Bia dan Maira yang bisa dikatakan terlalu sering dan kurang pas untuk jenis novel remaja.

Sisi logika dalam cerita juga penting dalam Belum lagi banyak sisi kebetulan yang terlalu dipaksakan membuatku merasa seperti ada hal-hal yang aneh yang bertebaran di sana. Namun tidak mengapa karena barangkali serba kebetulan yang sering ditemukan di novel ini sengaja dipertahankan demi keterjalinan cerita.

Kelebihan lain novel ini pada sisi penampilan adalah cover yang sesuai tema meski terlalu remaja untuk tokoh-tokohnya yang dewasa, juga penataan layout yang tidak membosankan, juga ukuran font yang cukup nyaman untuk dibaca.

Baiklah, meski saya tidak terlalu terkesan dengan novel ini, setidaknya novel lumayan cocok dijadikan bacaan ringan di kala senggang. Mungkin kalau remaja yang baca perlu didampingi orang dewasa kali ya 😁.

Resensi Novel: Immortality of Shadow

immortality of shadow

Judul Buku: Immortality of Shadow
Penulis: E. Rows
Tebal : 264 halaman
Penerbit: Divapress
Genre: Horor
Terbit: September 2014
ISBN: 978-602-255-683-1
Harga: Rp 40.000,00

Blurb

An Hammer. Sebuah rumah bergaya Victoria klasik. Atapnya menjulang tinggi dengan jendela-jendela transparan di setiap sisi rumah. Rumah itu juga memiliki balkon serta beranda. Dan, ada danau kecil di belakangnya.
Sebuah rumah yang indah.
An Hammer seharusnya menjadi hunian yang nyaman bagi Corey dan keluarganya. Sayang, Corey justru dihadapkan pada kenyataan aneh dan mengerikan di rumah barunya itu.
Janet, anak bungsu Corey, mengaku berteman dengan anak laki-laki bernama Dalal. Teman yang tidak bisa dilihat siapa pun, kecuali Janet.
Barry, kembaran Rose, anak kedua Corey, dapat melihat kejadian di masa depan dalam mimpinya. Dan, ia selalu memimpikan hal buruk menimpa Rose.
Kisah-kisah masa lalu tentang An Hammer pun pelan-pelan terkuak.
An Hammer memang menyimpan sesuatu…

Berawal dari keputusan Corey membeli rumah diam-diam sebagai wujud keinginan memperbaiki hidup, masalah justru semakin pelik. James, sebagai suaminya tidak setuju mereka meninggalkan rumah keluarga besar yang penuh dengan penghuni itu, lebih-lebih ia baru saja kehilangan pekerjaan. Namun, keempat anak mereka justru menyambut dengan bahagia ide pindah rumah baru, hingga membuat ia pun terpaksa menerima. Rumah yang dibeli Corey melalui sepupu sahabatnya terletak di Boonville. Kawasan yang cukup nyaman meski jauh dari pusat keramaian.

Rumah itu rupanya memang menyimpan sesuatu hingga membuatnya berharga murah, belum lagi ekspresi aneh orang-orang di sekitar sana ketika mendengar An Hammer. Seorang cenayang bahkan sempat memiliki firasat yang aneh tentang rumah tersebut. Belum lagi letaknya yang terpencil dan lama tak ditinggali, An Hammer seolah menyimpan banyak misteri. Namun semua itu tak menghentikan niat Corey memboyong semua keluarganya ke sana. Terlebih rumah itu rupanya sangat indah dengan gaya Victoria dan ada sebuah danau di belakangnya.  Hanya James yang tak terlalu suka tinggal di sana. Ia pun mencari pekerjaan jauh dari tempat itu dan jarang berada di rumah. Sementara itu, Corey menghadapi segalanya sendiri.

Konon anak kembar selalu punya bahasa sendiri yang hanya mereka yang mengerti. Selain menghadapi Janet yang sering kambuh penyakit, ia juga harus mengatasi Rose yang berperilaku semakin aneh dari hari ke hari pascakecelakaan dan dibully teman-temannya. Terutama Barry masih bermimpi hal-hal buruk tentang Rose, saudara kembarnya yang membuat semua orang jadi khawatir. Tidak ketinggalah, Eliana, yang sejak berkenalan dengan Dave, penduduk sekitar Hammer yang mengetahui sedikit rahasia rumah tersebut, sering dibayangi kekhawatiran dan kejadian aneh.

“Apa benar yang dikatakan oleh Dave tentang semua itu? Anaknya yang meninggal di sana, lalu….”

Dug.

Eliana menoleh. Terdengar suara yang berasal dari balik pintu kamarnya. Seperti barang terjatuh….

Belum lagi peristiwa ganjil lain yang muncul satu dan mereka seperti tinggal bersama di rumah tua tersebut. Janet yang memiliki teman yang tak terlihat dan tampak seperti berbicara sendiri. Sejak Janet berbicara pada Dalal, teman tak terlihatnya, Eliana menyemangati si kembar Barry dan Rose memanggil arwah dengan papan ouija. Keadaan Rose justru semakin parah sejak papan ouija itu dimainkan. Hingga akhirnya konflik meruncing dengan pertengkaran Corey dan James di samping terungkapnya sebagian rahasia masa lalu.

seorang wanita muda yang bunuh diri di danau

seorang istri yang dipanggang oleh suaminya ketika terjadi pertengkaran hebat

anak kecil yang dibunuh dengan dibakar oleh sang ayah

Sebagai seorang ayah, James memang tipe yang akan melalukan apa pun untuk keluarganya, bahkan bila harus melakukan pembunuhan terhadap Rose untuk menyelamatkannya dari lingkaran penderitaan.

Akankah keluarga Golik mengalami peristiwa yang sama yang terjadi pada penghuni sebelumnya?

Novel ini menggunakan POV 3. Dibuka dengan perkenalan tokoh-tokoh dalam novel yang memudahkan pembaca. Kelebihan novel horor ini adalah penjabaran setting yang detail, suasana yang berhasil membuat bulu kuduk merinding dengan twist-twist tak terduga membuat kita jadi mencurigai apa pun dan menebak-nebak apa yang barangkali menunggu di balik pintu kamar. Membaca bagian mengerikan dalam novel ini membuat antara ingin pindah bacaan atau terus mengikuti rasa penasaran terhadap alur cerita.

Baca buku horor satu ini membuat saya ingat kata seorang teman, “Bila galau, nontonlah film horor”. Efek adegan horor yang sering bikin kaget itulah yang mengalihkan sejenak kepenatan dan masalah hidup sehari-hari. Tapi baca buku ini apalagi sendirian, galaunya jadi berganti :D. Selain itu, ada beberapa adegan yang membuat saya ingat film horor populer Conjuring, The Exorcism of Emily, dan Insidious. Seperti agak mirip situasinya.

Tapi ada beberapa poin yang sepertinya agak mengganjal. Pertama, seperti kejadian-kejadian aneh di rumah pertama yang tak terjelaskan hingga akhir cerita. Kedua cenayang yang hanya muncul sekali dan sebetulnya tak terlalu perlu ditambahkan dalam cerita. Ketiga, masa lalu penghuni rumah an Hammer yang hanya muncul bagian proses pembunuhannya. Keempat, James yang mengigaukan nama seorang wanita yang berhubungan dengan masa lalu yang tidak terlalu dieksplore apa korelasinya. Di samping itu, novel ini terasa agak berjalan lambat dan membosankan di bagian tengah dan seperti hanya fokus pada kesibukan keluarga sehari-hari ketika menyambut musim panas, juga ada pula prolog yang rupanya tidak ditemukan di tengah cerita. Tapi tak mengapa, visi misi novel ini sudah cukup tersampaikan dengan baik.

Sudah lama sekali saya tidak membaca buku bergenre horor. Terakhir mungkin SMA. Waktu masih anak-anak,  juga rutin baca rubrik Jagading Lelembut di majalah Djoko Lodang langganan simbah tanpa kapok, haha. Berlanjut setelah remaja buku apa pun cerita petualangan dan misteri selalu bikin penasaran. Termasuk yang berjenis horor. dari karya-karyanya RL Stine hingga yang berasal dari negeri Jepang. Kini semuanya tidak lagi sama. Mungkin saja semakin dewasa, orang semakin penakut. Bila nonton film horor Suzana saja sendirian ketika masih SD pun nggak jarang dilakukan, sekarang bila memang harus nonton film horor, itu pun mesti banyak orang, banyak temen, dan efek teriak bareng orang-orang itu lebih menyehatkan bagi fisik dan kejiawaan daripada nonton sendirian di kamar.

Kembali ke topik. Meskipun endingnya tidak terlalu “rame”, novel ini layak mengalihkan perasaan galau Anda sejenak berpindah ke perasaan parno. Sebagai novel bergenre horor pertama E.Rows, Immortality of Shadow menurut saya sudah dituliskan dengan baik dan cukup berkesan. Novel ini cocok untuk young adult.

 Tapi disarankan untuk tidak membacanya sendirian:)