Merapi

 

 

barangkali ada taman keabadian
tumbuh di pucuk-pucuk edelweiss,
dawainya menuruni perbukitan,
bercakap pada lusinan musim
membuka batas cakrawala pagi
membingkai ingatanku,
di masa lalu…..

 

 

 

jogja-pada waktu yang tak lagi kembali-

musim

baru saja kita bertatapan
di ambang pintu sebuah gedung tua
engkau yang sempat bertandang di mimpiku
engkau yang menjadi puisi itu
engkau yang membingkai hari-hariku yang ungu

dan malam-malam kini adalah seribu jam penantian
kala engkau mengirim pesanku bahwa di rumahmu
musim gugur baru saja dimulai
kau duduk di salah satu halte,
menunggu bus di selepas dini hari
mengirim ulang pesanmu padaku yang tertunda

di tempatku berada
gerimis tengah menghanyutkan rinduku
yang bisu
orang-orang ramai berjalan membawa payung
berjalan seraya mendengar rinainya
sebagiannya mendiamkan diri di bawah atap tanah liat

seuntai waktu ini tiba menjemput kata-kata mu
setahun dari musim yang lalu, waktu bahkan menitipkannya kembali

bersediakah bila suatu saat aku pergi sejenak
untuk memastikan engkaulah itu
atau hanya sekedar ambisi mimpi
yang telah terlanjur kubawa berlari?

bersediakah engkau mencintaiku meski
zaman tak lagi berujar mengenai perasaan ini?
atau usia telah menua bersama rambut kita yang beruban?
bersediakah engkau, bahwa demi aku,
engkau mau
mempertaruhakan
ribuan kehidupan yang renta mengasingkan kita sebab kita
tak lagi muda?

namun engkau memang bayangan
di sela sepi yang hiruk pikuk bersama angin pagi
juga raga-raga yang selalu menentang waktu
kita mendamba keabadian di mimpi-mimpi kita
tapi kita pun absurd

engkaupun hilang
aku tlah tiada
aksara aksara kian purba
dan bahasa kita tak lagi saling menggapai
lalu kita mencoba menandai celah
karena di sanalah hati kecil itu bersembunyi
sebab di sana lah nurani itu menerjemahkan tanda

engkau pada musim semi yang ambigu
aku pada hujanku yang bertahun
dan berdiri di ambang jendela putih memandangi mekar kemuning,

bertanya-tanya,

abadikah kelak perasaan kita?