Sebuah cerpen
Dear Nur.
Saat surat ini kubuat, aku sedang mencari kesibukan untuk melupakan segalanya tentang dia. Peristiwa putus memang bukan hal besar karena setiap orang barangkali pernah mengalaminya. Tapi aku sadar, pacaran memang membuatku melupakan banyak hal.
Hubunganku yang kesekian kalinya ini cukup membuatku lelah. Rasanya hanya kertas dan imaji yang selalu setia menemani hari-hariku belakangan ini. Musim hujan belum habis. Pekerjaanku yang freelance alias tidak mapan, membuatku sering kali menemui sosok-sosok aneh di sekitarku. Mereka mengajakku ngobrol. Mengusik lamunanku. Hei, percayalah bahwa mereka ini benar-benar nyata. Aku juga heran sendiri kenapa bisa demikian. Aku selalu dianggap tak waras tatkala ini kuceritakan pada teman-temanku. Mereka mengiraku stres ala perempuan lajang yang tidak juga nikah.
Mereka yang kumaksud itu adalah tokoh-tokoh dalam cerpenku.
Yeah. Sudah kali kedua ‘sesosok tokoh’ mengganggu aktivitas tidur pagiku. Ia seorang perempuan. Usianya sekitar 23 tahun. Berwajah manis, tapi juga tidak bisa disebut cantik. Wajahnya oriental. Dia masih muda memang. Ceritanya dia ini buruk rupa—bagi orang Indonesia. Atau barangkali hanya salah pasar saja, sebab tipikal kulit cokelat rambut hitam, pendek, dan pesek itu bagi para bule sungguh eksotis.
Seperti halnya pagi tadi, ia berteriak-teriak tak jelas dari jendela rumahnya yang letaknya persis di depan kamarku. Tak peduli bahwa aku belum siap bangun. Tak peduli dengan tampang kelelahanku yang sering begadang malam hari ini, yang jelas perempuan ini sedang memperjuangkan sesuatu. Kau tahu untuk apa ia berteriak pagi buta sambil melempari kaca jendelaku dengan potongan genting? (untung nggak sampai pecah) Cuma minta nasibnya diselesaikan. Dasar tokoh cerpen!
“Please, aku tersiksa bila kau biarkan aku begini menggantung.” Begitu ia mengatakan. Tokoh yang waktu itu kunamai Reyna.
Saat itu, aku dan dia sempat berdebat panjang. Sebab aku memilihkan namanya dengan asal. Dan aku juga tak tahu apa artinya selain hanya kelihatan wanita. Dia minta dinamai Zazkia, tapi aku tak suka nama itu. Lalu dia ingin dinamai Sekar agar secantik bunga. Tapi aku tak menyetujuinya. Dia ngambek meskipun sebentar. Sungguh Reyna tokoh cerpen paling bawel yang pernah kukenal.
Tapi aku pun mengerti, jahat bila aku tak menyelesaikan mereka karena kesibukan kerja dan sibuk melupakan masa laluku. Yeah, aku memang penulis yang kurang menggarap mereka dengan baik. Akhirnya sore ini, usai hujan reda, sambil kulantunkan puisi musik Sapardi Djoko Damono yang amat mix dengan dingin sore hari, akhirnya kuhidupkan komputer tuaku. Mencari file yang ia maksud. Astaga. Benar.
Sudah 3 bulan Reyna dan kawan-kawannya kubiarkan menggantung.
Oke. Baiklah. Sembari kubaca ulang, kucari ide untuk menyelesaikan sepenggal cerpen ini.
Reyna, dalam cerpenku, adalah seorang gadis muda yang bekerja di toko peralatan melukis. Ia tinggal di sebuah kota dengan orang-orang yang berbeda padangan soal hidup dan waktu. Kota tua yang sibuk dan plural. Sebagai penjaga toko lukisan, ia sering kali kedatangan pelanggan yang macam-macam. Kadang mereka datang dengan pakaian amburadul, kurang tidur, dan tak jarang juga yang rapi-rapi. Mungkin yang rapi-rapi ini sedang mencari barang-barang untuk dihadiahkan kepada orang-orang terkasih.
Reyna menyukai pekerjaannya, karena disamping ia suka mengamati orang-orang, lukisan dan warna-warna, ia juga dapat melihat
“matahari” terbit di sana. Oke, istilah matahari merujuk pada perihal yang tidak sebenarnya. Nanti juga engkau akan tahu.
Hidup perempuan ini seperti diatur oleh refleksitas hidup. Bangun tepat jam 5, kemudian sarapan jam 6 pagi, menunggu bus jam 7 pagi hingga sampai kantor jam 8 pagi. Ritme rutinitas sesungguhnya membuatnya bosan. Tapi kali ini tidak. Sebab Reyna jatuh cinta dengan teman sekantornya. Namanya Bayu. Untung Bayu tidak protes dengan namanya sendiri.
Jalaran tresno amargo kulina memang benar adanya bagi Reyna, nggak ada cinta yang datang dari pandangan pertama. Bayu memang ganteng, tapi tipe wanita seperti Reyna butuh proses untuk menilai kegantengan. Ganteng hanya kesadaran lapis lanjutan ketika sudah mengenal kepribadian atau hal-hal yang immaterial. Berbeda dengah lelaki yang cenderung melihat cantik dulu baru kepribadian.
Reyna baru merasa ada getar indah ketika menyadari Bayu rajin salat, menghormati orang tua, jujur dengan hal kecil sekalipun dalam pekerjaannya, sederhana, dan tidak mata kranjang. Malah cenderung dingin dengan perempuan yang bukan temannya.
Sikap dingin itulah yang membuat Reyna terpesona. Terlebih ketika menyadari Bayu-lah satu-satunya yang baik kepadanya tanpa peduli SARA, satu-satunya pria yang tidak bertanya kenapa hidupnya begitu pesek misalnya.Ia berwajah ganteng, pintar, juga pekerja keras.
Sungguh sialan, pikir si Reyna. Tapi bagaimana kau bisa mencegah diri sendiri untuk tidak jatuh cinta setelah setiap hari berjumpa? Sekalipun, yeah, percakapan yang terjadi hanya maksimal “selamat pagi”. Apalagi Bayu tipe yang hemat bicara, termasuk terhadap perempuan berkulit cokelat dan tidak mancung ini. Reyna bahkan mengaku, sebelum aku menggiringnya untuk jatuh cinta pada Bayu, tokoh ini sudah jatuh cinta duluan.
Aku jadi bingung.
Bayu telah menjadi matahari bagi Reyna. Tapi Reyna tak tahu bahwa diam-diam aku merencanakan perjodohan mereka, haha. Sebab Reyna berharap andai ia tak jadi dengan Bayu, ia ingin dijodohkan dengan tokoh yang mirip Andrew Garfield. Huft, maunya. “Atau bikin saja aku jadi kupu-kupu dan melupakan perasaanku,” begitu katanya. Tapi kalau sudah begitu naskahku ini nggak akan jadi cerpen, tapi novel.
Namun yang jelas, Reyna sedang jatuh cinta dan ngarep sejuta umat dengan ending ceritanya sendiri. Baiklah…
Dear Nur.
Tiga hari setelah itu, aku kembali menggarap cerpen itu lagi. Reyna sudah bertopang dagu di belakang meja kasirnya. Di kejauhan sana Bayu sibuk dengan orderan dan telepon yang setiap menit berbunyi.
Tapi… Reyna di dalam cerita ini adalah orang yang cukup tahu diri. Maka ia tak perlu melakukan usaha apa pun untuk sekedar dekat, atau ngajak ngopi, atau ngajak nonton, atau ngajak jadian. Bisa-bisa menyesal tujuh turunan karena ditolak.
Cukup ia menyukai si pria dari jauh. Maka si pria ini menjelma semacam wewangian yang selalu membuatnya memiliki semangat hidup dan kesehatan jiwa raga yang baik dalam keseharian. Mirip aromaterapi. Tak perlu ia meminum. Cukup membaui aromanya dari kejauhan.
Sungguh pria ini memiliki feromon yang kuat yang selalu membuatnya rindu. Tentunya diam-diam.
Singkat kata, Reyna tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia membaca novel di kala senggang, meminum kopi instan dengan merek yang sama setiap jam 3 sore, menyetel musik-musik aliran Melayu di playlist-nya (atau bisa saja jenis pop, atau lebih baik musik bertema nasionalisme, entahlah), lalu pulang pada jam 8 sore. Dan terjadilah apa yang dinamakan suspens cerita.
Aku mengubah cerita, yang semula perempuan ini berakhir tertabrak kereta dalam keadaan sendiri dan nelangsa, kuubah jadi ending bahagia… Reyna sudah menangis duluan sebelum ending tragis itu kucoretkan di draft. Aku tak tega. Tentu saja, aku hanya bercanda soal tertabrak kereta itu.
Rupanya Bayu ini sakit mata. Sebab sejak ia bekerja di toko itu, pria ini juga diam-diam mengagumi Reyna. Ia bahkan membaca apa yang dia baca, meminum kopi yang sama di rumahnya, menghafal rutinitasnya juga, seperti bus apa saja yang Reyna pakai setiap hari. Lebih sinting lagi, dia mengumpulkan foto-foto hasil jepretannya diam-diam, isinya tak lain tak bukan adalah sosok si Reyna. Bedanya, Bayu tak seceroboh Reyna. Nah, nanti kau juga akan tahu seceroboh apa Reyna itu.
Sungguh Bayu jadi mirip pengagum yang agak psikopat. Tapi dia pria normal dengan latar belakang keluarga yang bahagia. Hanya
mengalami delusi akibat mencintai diam-diam. Begitulah orang yang diam-diam mencintai namun tak memiliki cara untuk memulai mengatakan, terlebih mendekati.
Beberapa kali mata mereka berpapasan. Cara Reyna menatapnya saat berpapasan itu pun tertebak juga. Bayu meresa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Bahwa pada suatu sore kupertemukan mereka pada sebuah moment konyol, di mana Reyna menyimpan foto Bayu di komputer kantor, dan lupa menghapusnya ketika Bayu memperbaiki internetnya yang error. Haha, sengaja kubikin komputer Reyna error dan tak ada seorang pun di ruangan itu kecuali Bayu.
Reyna terkejut dan salah tingkah begitu menyadari bahwa ia menyimpan foto-foto lelaki ini di sebuah folder file kantor. Apalagi
dalam folder yang sama, ia juga menyimpan artikel yang ia buru dari internet “Menjadi Istri Solehah.”, “Cara Mendekati Pria Pendiam”, dan masih banyak lagi.
Itu membuat Bayu ngakak. Mereka pun ngobrol. Tapi tidak tentang mengapa fotonya ada di folder itu. Meskipun pada hari itu,
peningkatan hubungan mereka telah memasuki level lanjutan, di mana Reyna menanyakan Bayu asli dari kota mana, dan Bayu menanyakan kapan terakhir komputer diinstal.
Di akhir cerita, di suatu hari menjelang musim kemarau tiba, Bayu meletakkan sebuah cincin di laci meja si perempuan, dengan
taruhan harga dirinya sendiri, bersama sepucuk surat berisi hal yang membuat Reyna melompat. Ia mengajaknya menikah. Dan si perempuan pun pingsan atau mungkin sakit jantung, atau sederhana saja: bahagia tapi hanya bisa menangis sesenggukan—entah mana fokus yang harus dinarasikan… Aaarrggh…
Sebenarnya sampai di sini aku masih bingung bagaimana mengatur ending-nya. Rasanya malah seperti cerita biasa saja tapi berlebihan. Tapi kalau happy ending sebiasa film drama, kalau sad ending kasihan pembaca.
Nur, aku masih memilin-milin rambutku sambil mengamati kebun di luar jendela kamarku, memikirkan ending dari cerpenku.
Yeah, kini aku melihat Reyna dan Bayu adalah sepasang kekasih yang takkan terpisahkan oleh proses editing apa pun. Mereka saling menggegam tangan dan berpesan padaku, “Kelak bila editor mau mengedit konten cerita kami, jangan ditambahi orang ketiga ya. Aku sungguh nggak tahan dengan kondisi cemburu.” Bayu berujar. Reyna sepakat dengan itu.
Kini selesai kurampungkan mereka, kumatikan komputer, dan kurebahkan tubuhku memandang langit-langit kamar. Reyna dan Bayu adalah salah satu dari sekian banyak tokoh yang berhasil kuselesaikan dengan ending bahagia.
Tapi Nur, kapankah akhir bahagiaku sendiri datang?
Hidup itu sendiri, ilusikah?
Ah, Nur, kau pun hanya teman imajiku…
*Cerpen ini ditulis tahun 2013 awal dan telah direvisi. Cerpen ini juga yang sempat membawa saya lolos sebagai peserta sebuah event kampus penulisan di salah satu penerbit di Yogyakarta untuk tahun depan. Tapi sepertinya saya nggak janji bisa datang 🙂