Tulisanku kali ini hanya sekadar opini.
Sepertinya sudah sekitar 50 persen adikku dan calonnya menggarap persiapan pernikahanan, kemarin hari mereka mengurusi undangan. Dan, yeah, aku memang lebih suka mengamati obrolan calon pasangan yang akan menikah daripada obrolan mereka yang cuma pacaran. Ada perbedaan bobot konten di dalamnya.
Awal mulanya dari sini. Seperti biasa, calon iparku ini akan lama bila berdiskusi dengan adikku, dan tatkala ia sedang salat di masjid, berhamburlah ibu-ibu (tetangga sekitar rumah) ini mengajak bicara adikku, nggak penting sih isinya. Tapi membuatku jadi ingin menuliskan ini sebagai bahan perenunganku juga. Sebab ibu-ibu ini kuanggap miniatur dari masyarakat kita.
Ibu-ibu pertama menanyakan, kok kamu mau sih dilamar dia padahal belum lama kenal? Kalau aku dulu pacaran 4 tahun. Kemudian ibu-ibu lainnya menambahi tentang betapa lamanya mereka pacaran sebelum menikah. Dan barangkali heran dengan adikku yang selama ini tak pernah pacaran tapi tiba-tiba langsung mau married. Dan tentu saja talk show mereka berlanjut dengan memberi opini tentang aku—sebagai kakak yang malah santai-santai saja, yang tidak terprediksi apakah bakal akan menikah atau tidak, atau entah kapan bakal menikah kalaupun iya. Nyatanya, sampai dilangkahi adik sendiri.
Aku sih nggak komen apa-apa. Kalau aku sedang berada di depan mereka, paling aku hanya senyum sambil nyiramin tanaman. Barangkali karena wilayah hidupku tidak lagi mengurusi masalah privasi orang lain tanpa izin. Dan maklum sih kenapa ibu-ibu ini heboh soal tetangga dan urusan orang lain, sebab ketika mereka menikah dan terlepas dari ranah publik, dunia mereka pun otomatis menyempit. Perempuan punya kodrat hidup yang multitasking daripada pria. Kalau bukan rumahnya, apa lagi kalau bukan tetangga lain yang jadi bahan pengamatan sampingan? Masa ya mau mengamati kondisi politik di Afrika misalnya? Sering kali aku berpikir, ibu-ibu yang sering bergosip ini bakal akan jadi pihak yang memunahkan budaya gosip, andai para suami mereka dan adat istiadat memberi ruang selebar mungkin untuk menempuh studi sampai tuntas dan ikut organisasi nasional dan internasional (misalnya). Perhatian mereka bakal cuma ke pendidikan anak, keluarganya sendiri, dan kesibukan sampingnya adalah permasalahan negara [hal-hal bersifat publik]. Bayangkan bahwa bila demikian, negara ini akan maju karena mereka punya penduduk wanita yang cerdas-cerdas yang mendidik anak-anaknya dengan terbaik juga. Haha. Tapi kan itu memang hanya khayalanku semata. Sebab sekali lagi, aku mesti melihat kondisi.
Kembali pada persoalan awal, pemikiranku berkait adat istiadat ini kutarik garis lurus:
Pertama, apa pun yang terjadi, aku bahagia dengan pernikahan adikku, tahu kenapa? Sebab untuk menemukan pasangan terbaik, orang tidak harus memilih prosedur pacaran lama. Dan untuk memutuskan menikah, orang tak perlu tergantung pada penilaian orang lain. Secara logika, menikahlah yang riil daripada pacaran itu sendiri. Seingatku juga, ibu-ibu muda yang barusan mengomentari adikku ini, pernah mengalami rentetan galau bertahun-tahun deh sebelum akhirnya menikah. Aku memang kelihatan cuek, tapi kan mengamati. Bisa-bisanya menganjurkan hal yang sama.
Kurasa belum pernah menemukan orang yang pacaran bahagia dengan statusnya yang menggantung. Ada berapa banyak orang di laur sana yang menderita karena sudah telanjur milih pacaran tapi nggak nikah juga? Mengingat Indonesia begitu rekat dengan adat dan religi.
Kalau orang sudah mau pacaran, berarti ia sudah berdamai dengan status yang lebih pasti dan malah menunggu kepastian. Kalau tidak ingin menikah, ya jangan suruh-suruh orang untuk pacaran. Bukankah dalam pacaran, orang tidak (boleh) bisa loyal dengan hubungannya karena terbentur status dan kondisi? Orang pacaran di Indonesia kan tidak boleh serumah seperti di negara liberal. Kalau cuma buat alasan mengenal calon pasangan, pacaran itu nggak cukup. Sebab apa? Sering kali kebiasaan buruk ketika pacaran baru kelihatan setelah menikah. Malah dalam soal ini, aku setuju dengan para ustadz, bahwa pacaran (yang nggak didasari niat dan proses akan menikah) malah justru serupa pintu gerbang menuju maksiat. Sebaliknya, pernikahan adalah gerbangnya menuju ibadah. Kecuali mereka yang nikahnya karena dorongan hormon, material, atau tuntutan sosial. Bukan karena dorongan spiritual. Jika kita sepakat pernikahan itu institusi yang sakral, sebaiknya jangan pernah mencampurinya dengan niat busuk.
Dalam hal ini adat kalah dengan agama.
Kedua. Yeah, memang aku sering tidak mau meng-agama-kan sesuatu yang bukan agama. Masalah melompati kakak adalah masalah adat, maka aku akan ambil pembanding yang lebih kuat daripada adat, yaitu agama. Bila permasalahan terbentur karena agama, maka pembandingnya langsung pada kajian kitab suci sedunia. Nah, dalam agama sendiri tidak ada larangan adik melangkahi kakaknya untuk soal menikah. Larangan itu hanya ada pada adat yang masih berlangsung di beberapa tempat di Indonesia. Kalau sudah begitu, jangan ajak bicara aku soal adat. Aku tidak berkarib dengan itu. Yeah, memang sih, aku tetap menghargai adat lama yang memperahankan nilai-nilai bahwa “adik haram melompati kakaknya.” kalau bisa malah ngorbanin pacar yang sudah lama nunggu daripada mengalahkan adat. Begitulah kata mereka yang menjadikan adat sebagai alibi untuk tidak (berani) menikah. Di zaman sekarang please deh, jangan bersikap udik soal begituan. Nikah itu bukan persoalan adat saja. Tapi kemanusiaan dan ketaatan terhadap agama.
Bukan berarti aku menolak nilai-nilai yang ada di dalam adat. Sebab di sana banyak pelajaran moral yang baik untuk menusia. Meskipun, nggak semuanya mematuhi.
Menurutku ada sisi adat yang cuma bersifat prosedural.
Misal, masalah sopan santun aja, kalau sudah terbentur adat, jadinya tidak terjadi hubungan yang murni antarmanusia. Bagiku sopan terhadap yang lebih tua bukan lagi persoalan adat, tapi filsafat. Sikap sopan adalah tanda bahwa manusia sudah menyadari dan memahami kemanusiaan dalam dirinya juga kemanusiaan orang lain. Sedangkan sopan dalam adat istiadat adalah kewajiban semata.
Selama ini, orang Jawa yang dikenal suka basa-basi karena mereka menjadikan adat sebagai prosedur wajib untuk mengatur bentuk hubungan. Menantu yang menghormati mertua (misalnya) bukan lagi karena tulus menghormati dan menyayangi, tapi karena prosedural adat itu tadi. Akhrnya malah terjadi ketidakcocokan di segala aspek kehidupan. Bukankah lebih tulus alasan kemanusiaan daripada prosedural? Bukankah lebih indah saling menghormati dan mencintai yang didasari dorongan hati dan moralitas daripada adat?
Dalam hal ini, adat kalah dengan hati.
Ketiga. Menikah itu sendiri adalah pilihan. Dalam agama disebut sunah. Boleh dijalankan, boleh tidak. Aku agak risih dengan masyarakat tertentu yang notabene paham agama, menyebut menikah adalah kodrat, dan terlebih malah ditekankan pada wanita seolah itu kewajiban dan beban yang ditanggung kaum wanita itu sendiri. Yeah, memang melahirkan dan menyusui adalah kodrat wanita. Tapi menikah adalah pilihan. Ada beda antara kodrat dengan konstruksi sosial bernama pernikahan. Dalam pernikahan, wanita yang sedang hamil dan menyusui pun merupakan tanggung jawab suami dan keluarga besarnya juga, sebab itu semua dilakukan karena pilihan.
Kalau si anak lahir, bukankah pendidikan awal adalah orang tua dan keluarga besarnya?
Sekarang sudah nggak zaman berpatriakhat ria. Yang ada adalah kesetaraan dan tanggung jawab yang dijalani bersama.
Tatkala mereka menganggap pemikiranku nyeleneh ya toh biar saja, aku yang menjalani. Dan aku memang mempersilakan adikku menikah lebih dulu karena tidak mungkin kan menyuruh mereka (adik dan calon iparku) yang sudah matang soal niat, malah jadi nunggu aku yang belum didatangi nasib yang sama…?
Aku nggak mau kejam dong sama adik sendiri. Aku juga nggak mau egois terhadap orang tuaku.
Dalam hal ini, adat pun kalah dengan kemanusiaaan.
Sekian.
*Hasil pemikiran sepanjang jalan sambil hujan-hujan tadi pagi.